Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengikuti Tes Masuk PTN di Masa Covid-19

16 Mei 2021   09:15 Diperbarui: 16 Mei 2021   09:18 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://mamikos.com/

Mengikuti Tes masuk ke PTN di masa Covid-19 pada tahun 2020 bukanlah sesuatu hal yang menggembirakan, karena kekhawatiran bisa terjangkit virus itu membuat perasaan kita menjadi penuh was-was. Tetapi memang apa mau dikata, jikalau sudah jadwalnya tes ya terpaksa harus ikutlah. Apalagi lagi pihak LTMPT tidak menyediakan opsi untuk bisa tes online dari daerah masing-masing. Semoga saja kedepannya hal ini bisa menjadi pertimbangan, karena banyak hal yang bisa di hemat, misalnya dari segi waktu dan biaya.

Tulisan saya kali ini adalah tentang bagaimana pengalaman saya mengantarkan dan mengawal anak gadis saya untuk mengiktui tes tersebut di bukota provinsi yang lumayan jauh dari daerah kami. Karena anak saya ini memasuki tahun keduanya setelah tamat SMA tahun lalu, sebab tahun pertamanya gagal oleh kecerobohannya sendiri.

Hal ini terjadi karena dua sebab utama, yaitu yang pertama karena kekurang telitiannya ketika memilih antara SOSUM dan SAINTEK pada tahun dia tamat. Karena merasa berasal dari jurusan IPA ketika di SMA, maka dia dengan PEDE-nya memilih SAINTEK, padahal dia mau memilih jurusan bahasa Inggris untuk pilihan pertama dan Hubungan Internasional untuk pilihan kedua, namun karena kesalahan tadi, maka ujung-ujungnya tidak bisa ikut tes.

Melihat begitu, akhirnya dia memilih untuk mengikuti tes Mandiri dan pilihannya tetap bahasa Inggris dan ternyata lulus untuk kuliah malam. Tetapi dengan berat hati saya dan Mamanya melarangnya untuk mendaftar ulang. Alasan pertama, karena dia menderita penyakit Asma akut karena kemana mana selalu membawa inhaler, jadi kuliah malam itu tidak baik baginya. Alasan yang kedua, menurut perhitungan kami, karena rata-rata yang kuliah malam itu adalah para laki-laki yang sudah bekerja yang tentunya rata-rata sudah punya keluarga sehingga sangat rawan bagi dirinya.

Akhirnya di tahun kedua kelulusannya dari SMA, dia ikut tes lagi di PTN yang ada di Provinsi kami. Kali ini pilihan pertama dan keduanya semuanya bahasa Inggris. Saya yakin dia bisa lulus, karena selama ini banyak kawan-kawannya baik yang sudah kuliah sering meminta bantuannya via WhattsApp untuk mengerjakan tugas-tugas bahasa Inggris mereka dan ternyata selalu mendapat nilai sempurna 100.

Selain itu juga banyak kawan daripada kawan-kawannya itu yang bersekolah di SMA-SMA top di ibukota provinsi juga sering meminta bantuannya dalam mengerjakan tugas Mata Pelajaran bahasa Inggris, ternyata mereka selalu mendapatkan nilai sempurna 100. Sehingga sering ditanya oleh gurunya siapa yang membantu, lalu mereka menceritakannya tentang dia.

Berdasarkan hal itu, saya yakin jika anak saya ini nantinya pasti lulus, karena menurut penuturan kawan-kawannya yang sudah kuliah yang juga sering dia bantu itu, para dosen mereka mengatakan bahwa orang yang bisa menyelesaikan soal yang mereka berikan itu standar penguasaan bahasa Inggrisnya sudah dosen. Karena sering out of the context, seperti tentang bahasa Inggris Scotland Gaelic yang jarang ada orang yang tahu.

Selain itu juga, anak saya ini selain menguasai bahasa Inggris nyaris sempurna dalam grammar dan speaking terutama dialek Amerika dan Inggris, dia juga menguasai pronounciationnya secara baik. Bahkan dia tahu betul perbedaan pelafalan konsonan 'F' dan 'V', sesuatu yang sering salah kaprah oleh orang Indonesia. Karena sangat sedikit orang Indonesia yang tahu beda pengucapan kedua konsonan itu, sebab di Indonesia kedua konsonan itu pada umumnya semua diucapkan sebagai 'F', padahal nyatanya keduanya sangat berbeda.

Untuk bahasa Inggris, boleh dikatakan dia sudah menguasai empat komponennya yaitu Reading, listening, speaking, dan writing. Sehingga kalau kuliah maka dia hanya perlu memperdalamnya saja dan tambahan ilmu dan materi lainnya sesuai kurikulum serta tentu saja ijasahnya sebagai bukti hitam diatas putih atas kualifikasinya yang bisa digunakan untuk mencari kerja.

 Selain itu juga secara umum dia sudah menguasai bahasa Perancis, Portugis, Scotland Gaelic, sedikit bahasa Arab dan sekarang sedang belajar bahasa Jerman. Cuma yang agak mengherankan, dia untuk saat ini sama sekali tidak mau belajar bahasa Mandarin dan Korea Selatan. Malahan dalam waktu dekat ini dia mau memperdalam bahasa Latin dan mempelajari bahasa Rusia, katanya.

Selain menguasai bahasa internasional, dia juga menguasai belasan bahasa lokal atau bahasa daerah, sehingga bolehlah dikatakan sekarang dia adalah seorang poliglot. Bahkan cita-citanya ingin menguasai minimal 32 bahasa internasional dan seratusan bahasa daerah di Indonesia. Tetapi menurut saya itu adalah perjuangan yang berat. Meskipun tidak berat-berat amat sih, karena ternyata bahasa daerah di Indonesia ini sebenarnya hanya berbeda di dalam dialek saja, jika orang itu kuliah di jurusan bahasa maka dia bisa menarik titik-titik keterkaitannya sehingga saling berhubungan yang membuktikan jika bahasa itu berasal dari sumber yang sama atau paling tidak satu kekerabatan yang sama.

Misalnya untuk kata air, di berbagai bahasa diucapkan dengan dialek; arai, aik, ale, aiak, aek, aeng dan seterusnya. Oleh seorang jurusan bahasa, dia bisa melihat bahwasanya semuanya itu sebenarnya sama, hanya berbeda di dialeknya saja. Hanya sedikit bahasa saja yang mempunyai kosa kata yang benar-benar berbeda, seperti banyu dalam bahasa Jawa, danum dalam bahasa Dohoi dan Apo Kayaan untuk mengatakan air.

Selain itu juga, anak saya ini sudah mampu mengarang novel sampai ratusan ribu kata di dalam bahasa Inggris yang banyak di sukai di luar negeri, terutama yang di postingnya di flatform Wattpad. Saya sering memintanya untuk mengarang dalam bahasa Indonesia, nanti di posting di platform yang berbahasa Indonesia. Tetapi sampai saat ini dia tidak mau, entah apa juga alasan pastinya, karena dia hanya bilang malas saja.

Singkat cerita, akhirnya kami turun ke ibukota provinsi dalam rangka mengikuti tes pada tahun kedua ini. Saya terus terang tidak berani membiarkannya turun sendiri, karena dia anak perempuan saya satu-satunya, meskipun dia protes dan menyatakan bahwa dia bisa sendiri. Memang dari kemampuannya berkomunikasi dan berinteraksi selama ini, dia memang cekatan dibandingkan rata-rata anak seusianya.

Tetapi sebagai orang tua yang hanya mempunyai satu saja anak perempuan, kami dua Mamanya terus terang saja tidak berani membiarkan dia turun sendirian mengurusi dirinya, apalagi jarak kabupaten kami dengan ibukota provinsi itu hampir 400-an kilometer dengan jalan yang banyak lobangnya dan sering banjir, sehingga jarak sejauh itu biasanya ditempuh selama kurang lebih rata-rata 9 jam menggunakan bus umum.

Jauh hari saya sudah membooking tiket sebuah bus yang cukup terkenal di Indonesia. Namun saya kecewa ketika kami sudah memasuki bus. Seharusnya sebagai salah satu perusahaan bus terbesar di Indonesia itu, mereka wajib hukumnya antisipasi segala sesuatunya terhadap penyebaran Virus Corona. Paling tidak jarak penumpang di bus itu dibatasi, ini semua kursi di isi penuh tanpa ada pembatasan sama sekali.

Mereka juga seharusnya menyiapkan hand sanitizer di dalam bus dan setiap penumpang harus mencuci tangan terlebih dahulu dan juga seharusnya di terminal ada sanitiser atau sabun cair yang disiapkan oleh pihak terminal. Para petugasnya juga tidak semua menggunakan masker dan menjaga jarak, malahan mereka berbagi rokok dengan sambil tertawa-tawa seperti keadaan biasa saja.

Selain itu juga seharusnya mereka menyiapkan termometer inframerah digital bagi setiap penumpang yang masuk ataupun di terminal, ini keduanya sama sekali tidak ada menyediakannya baik pihak terminal maupun pihak bus. Untunglah saya selalu membawa sanitizer buatan sendiri, yaitu air rebusan daun sirih hijau. Saya bawa cukup banyak, karena menurut pengalaman selama ini, tebusan daun sirih ini bisa bertahan selama tiga hari, setelah itu mulai bau (maaf) kotoran manusia. Untuk amannya, saya mengingatkan anak saya untuk selalu menjaga jarak dengan orang lainnya.

Saya bawa sebanyak satu liter air sanitizer darai daun sirih hijau, satu di wadah yang besar sementara dua di wadah bekas parfum dengan metode semprot manual yang masing-masing kami pegang sendiri-sendiri. Sebelum duduk, kursi-kursi dan seluruh bagiannya termasuk sandaran belakang dan tempat meletakan tangan, saya semprot terlebih dulu.

Selain memakai masker, anak saya juga saya minta menggunakan face shield. Sebab perputaran udara oleh AC di dalam bus saya khawatirkan bisa membawa virus dari orang lain yang OTG. Begitu juga ketika kami makan, baik di dalam bus mau pun ketika singgah makan dipersinggahan bus, semua makanan saya semprot terlebih dahulu dengan sanitiser daun sirih itu.

Selama perjalanan itu kami memakai masker selama sembilan jam di dalam bus, hanya sekali-kali saja dilepaskan untuk mencari udara yang lebih banyak jika kepala sudah terasa pusing karena kekurangan oksigen. Itu pun terlebih dahulu kami pastikan tidak ada orang yang kebetulan berjalan-jalan dan berada sekitar satu meter dari kami (pada waktu itu belum ada ketentuan dua meter seperti sekarang).

Rasa kecewa saya semakin berlipat ketika melihat kenyataan akan sikap masyarakat di ibukota provinsi dalam menghadapi pandemi ini, menurut saya pada umumnya masyarakat tidak terlalu perduli. Bahkan ada yang sama sekali tidak percaya, pada waktu itu santer juga informasi yang beredar luas yang mengatakan jika virus ini (maaf) adalah tentara Allah, kemudian di pihak lain ada juga yang begitu yakin bahwa Tuhan akan menolong dia dalam mengatasi virus ini.

Hal ini bisa saya simpulkan dari beberapa komunikasi dengan mereka dan juga ketika melihat sangat sedikit dari manusia yang saya jumpai itu yang memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Begitu juga halnya yang terjadi di ibukota provinsi ini di mana orang-orang rada tidak perduli dan menganggapnya biasa saja.

Hanya saya lihat para dosen saja yang aktif membawa sanitiser dan selalu menyemprotkan tangan mereka sesudah memegang suatu benda, dan sebelum memegang makanan dan memperbaiki masker di wajahnya, juga sebelum menyentuh mata, hidung, mulut, dan telinga. Memang orang yang terdidik itu lain dari orang yang wawasannya kurang bin ngeyel bin bebal bin dungu bin goblok.

Singkat kata, hasil dari tes itu ternyata anak saya tidak lulus. Setelah diperhatikan penyebabnya dari nilai yang tertera, ternyata nilai bahasa Inggrisnya memang 100, tetapi nilai matematikanya sangat tidak memenuhi standar. Saya hanya bisa menghibur dan menguatkan dia, bahwa tahun depan bisa ikut lagi, itu hanya kesuksesan yang tertunda.

Sementara itu saya agak menyesali juga sistem penilaiannya yang tidak bertumpu pada bahasanya, tetapi masih juga memasukan nilai matematika di dalam komponen penentu kelulusannya. Tetapi karena memang itu kebijakan LTMPT, yah mau bagaimana lagi meskipun menurut saya itu sangat tidak bijak. Kita toh harus ikut aturan mereka karena orang-orang yang berada di sana itu tentulah sudah sangat berkompeten, meskipun menurut saya itu tidak terlalu spesifik karena tidak mengakomodir bakat dan minat anak yang pasti berbeda setiap individunya. Karena menurut hemat saya, justru banyak orang yang memilih jurusan bahasa itu karena tidak berminat dengan matematika.

Sesungguhnya sudah sejak dini saya juga sering memotivasi anak-anak saya, bahwa kemampuan bahasa dan matematika itu sebenarnya berada pada sisi otak yang sama, yaitu pada bagian otak sebelah kiri. Artinya jika dia bisa begitu mudah menguasai bahasa, maka seharusnya demikian juga halnya dengan matematika.

Tetapi dia sama sekali tidak suka dengan matematika, mungkin dulu berawal dari sikap guru matematikanya yang tidak dia sukai, katanya. Yah, mau bilang apalagi, toh semuanya sudah terjadi. Katanya gurunya galak, culun dan kepo serta killer.

Semoga saja jika ada diantara pembaca tulisan ini adalah seorang guru matematika, janganlah selalu berperilaku bak malaikat maut terhadap para muridnya. Bagi anak saya, semoga saja dengan tidak lulus dikarenakan matematika ini, berikutnya dia mau belajar matematika sehingga tahun depan lagi dia bisa lulus.

Untuk satu tahun ini saya akan memotivasinya agar mau juga belajar matematika, sehingga harapannya nilainya bisa terdongkrak. Terlepas itu akan digunakan atau tidak, itu terserah yang penting bisa lulus. Karena pendidikan itu sangat penting, jangan karena merasa kita bisa mencari uang tanpa mengandalkan pendidikan, karena pasti akibatnya ke depannya bangsa kita akan semakin bodoh dan hanya menjadi kantong sampah teknologi saja bagi bangsa lain.

Karena menurut saya kemampuan matematika itu sangat penting juga, sebab tidak ada ilmu yang akan sia-sia. Paling tidak untuk kebutuhan yang dasarnya saja, seperti misalnya mengepaskan pantat kita di atas kloset, itu sebenarnya tanpa sadar membutuhkan ilmu (perkiraan) matematika juga. Hehehehe.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun