Hal ini bisa saya simpulkan dari beberapa komunikasi dengan mereka dan juga ketika melihat sangat sedikit dari manusia yang saya jumpai itu yang memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Begitu juga halnya yang terjadi di ibukota provinsi ini di mana orang-orang rada tidak perduli dan menganggapnya biasa saja.
Hanya saya lihat para dosen saja yang aktif membawa sanitiser dan selalu menyemprotkan tangan mereka sesudah memegang suatu benda, dan sebelum memegang makanan dan memperbaiki masker di wajahnya, juga sebelum menyentuh mata, hidung, mulut, dan telinga. Memang orang yang terdidik itu lain dari orang yang wawasannya kurang bin ngeyel bin bebal bin dungu bin goblok.
Singkat kata, hasil dari tes itu ternyata anak saya tidak lulus. Setelah diperhatikan penyebabnya dari nilai yang tertera, ternyata nilai bahasa Inggrisnya memang 100, tetapi nilai matematikanya sangat tidak memenuhi standar. Saya hanya bisa menghibur dan menguatkan dia, bahwa tahun depan bisa ikut lagi, itu hanya kesuksesan yang tertunda.
Sementara itu saya agak menyesali juga sistem penilaiannya yang tidak bertumpu pada bahasanya, tetapi masih juga memasukan nilai matematika di dalam komponen penentu kelulusannya. Tetapi karena memang itu kebijakan LTMPT, yah mau bagaimana lagi meskipun menurut saya itu sangat tidak bijak. Kita toh harus ikut aturan mereka karena orang-orang yang berada di sana itu tentulah sudah sangat berkompeten, meskipun menurut saya itu tidak terlalu spesifik karena tidak mengakomodir bakat dan minat anak yang pasti berbeda setiap individunya. Karena menurut hemat saya, justru banyak orang yang memilih jurusan bahasa itu karena tidak berminat dengan matematika.
Sesungguhnya sudah sejak dini saya juga sering memotivasi anak-anak saya, bahwa kemampuan bahasa dan matematika itu sebenarnya berada pada sisi otak yang sama, yaitu pada bagian otak sebelah kiri. Artinya jika dia bisa begitu mudah menguasai bahasa, maka seharusnya demikian juga halnya dengan matematika.
Tetapi dia sama sekali tidak suka dengan matematika, mungkin dulu berawal dari sikap guru matematikanya yang tidak dia sukai, katanya. Yah, mau bilang apalagi, toh semuanya sudah terjadi. Katanya gurunya galak, culun dan kepo serta killer.
Semoga saja jika ada diantara pembaca tulisan ini adalah seorang guru matematika, janganlah selalu berperilaku bak malaikat maut terhadap para muridnya. Bagi anak saya, semoga saja dengan tidak lulus dikarenakan matematika ini, berikutnya dia mau belajar matematika sehingga tahun depan lagi dia bisa lulus.
Untuk satu tahun ini saya akan memotivasinya agar mau juga belajar matematika, sehingga harapannya nilainya bisa terdongkrak. Terlepas itu akan digunakan atau tidak, itu terserah yang penting bisa lulus. Karena pendidikan itu sangat penting, jangan karena merasa kita bisa mencari uang tanpa mengandalkan pendidikan, karena pasti akibatnya ke depannya bangsa kita akan semakin bodoh dan hanya menjadi kantong sampah teknologi saja bagi bangsa lain.
Karena menurut saya kemampuan matematika itu sangat penting juga, sebab tidak ada ilmu yang akan sia-sia. Paling tidak untuk kebutuhan yang dasarnya saja, seperti misalnya mengepaskan pantat kita di atas kloset, itu sebenarnya tanpa sadar membutuhkan ilmu (perkiraan) matematika juga. Hehehehe.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H