Misalnya untuk kata air, di berbagai bahasa diucapkan dengan dialek; arai, aik, ale, aiak, aek, aeng dan seterusnya. Oleh seorang jurusan bahasa, dia bisa melihat bahwasanya semuanya itu sebenarnya sama, hanya berbeda di dialeknya saja. Hanya sedikit bahasa saja yang mempunyai kosa kata yang benar-benar berbeda, seperti banyu dalam bahasa Jawa, danum dalam bahasa Dohoi dan Apo Kayaan untuk mengatakan air.
Selain itu juga, anak saya ini sudah mampu mengarang novel sampai ratusan ribu kata di dalam bahasa Inggris yang banyak di sukai di luar negeri, terutama yang di postingnya di flatform Wattpad. Saya sering memintanya untuk mengarang dalam bahasa Indonesia, nanti di posting di platform yang berbahasa Indonesia. Tetapi sampai saat ini dia tidak mau, entah apa juga alasan pastinya, karena dia hanya bilang malas saja.
Singkat cerita, akhirnya kami turun ke ibukota provinsi dalam rangka mengikuti tes pada tahun kedua ini. Saya terus terang tidak berani membiarkannya turun sendiri, karena dia anak perempuan saya satu-satunya, meskipun dia protes dan menyatakan bahwa dia bisa sendiri. Memang dari kemampuannya berkomunikasi dan berinteraksi selama ini, dia memang cekatan dibandingkan rata-rata anak seusianya.
Tetapi sebagai orang tua yang hanya mempunyai satu saja anak perempuan, kami dua Mamanya terus terang saja tidak berani membiarkan dia turun sendirian mengurusi dirinya, apalagi jarak kabupaten kami dengan ibukota provinsi itu hampir 400-an kilometer dengan jalan yang banyak lobangnya dan sering banjir, sehingga jarak sejauh itu biasanya ditempuh selama kurang lebih rata-rata 9 jam menggunakan bus umum.
Jauh hari saya sudah membooking tiket sebuah bus yang cukup terkenal di Indonesia. Namun saya kecewa ketika kami sudah memasuki bus. Seharusnya sebagai salah satu perusahaan bus terbesar di Indonesia itu, mereka wajib hukumnya antisipasi segala sesuatunya terhadap penyebaran Virus Corona. Paling tidak jarak penumpang di bus itu dibatasi, ini semua kursi di isi penuh tanpa ada pembatasan sama sekali.
Mereka juga seharusnya menyiapkan hand sanitizer di dalam bus dan setiap penumpang harus mencuci tangan terlebih dahulu dan juga seharusnya di terminal ada sanitiser atau sabun cair yang disiapkan oleh pihak terminal. Para petugasnya juga tidak semua menggunakan masker dan menjaga jarak, malahan mereka berbagi rokok dengan sambil tertawa-tawa seperti keadaan biasa saja.
Selain itu juga seharusnya mereka menyiapkan termometer inframerah digital bagi setiap penumpang yang masuk ataupun di terminal, ini keduanya sama sekali tidak ada menyediakannya baik pihak terminal maupun pihak bus. Untunglah saya selalu membawa sanitizer buatan sendiri, yaitu air rebusan daun sirih hijau. Saya bawa cukup banyak, karena menurut pengalaman selama ini, tebusan daun sirih ini bisa bertahan selama tiga hari, setelah itu mulai bau (maaf) kotoran manusia. Untuk amannya, saya mengingatkan anak saya untuk selalu menjaga jarak dengan orang lainnya.
Saya bawa sebanyak satu liter air sanitizer darai daun sirih hijau, satu di wadah yang besar sementara dua di wadah bekas parfum dengan metode semprot manual yang masing-masing kami pegang sendiri-sendiri. Sebelum duduk, kursi-kursi dan seluruh bagiannya termasuk sandaran belakang dan tempat meletakan tangan, saya semprot terlebih dulu.
Selain memakai masker, anak saya juga saya minta menggunakan face shield. Sebab perputaran udara oleh AC di dalam bus saya khawatirkan bisa membawa virus dari orang lain yang OTG. Begitu juga ketika kami makan, baik di dalam bus mau pun ketika singgah makan dipersinggahan bus, semua makanan saya semprot terlebih dahulu dengan sanitiser daun sirih itu.
Selama perjalanan itu kami memakai masker selama sembilan jam di dalam bus, hanya sekali-kali saja dilepaskan untuk mencari udara yang lebih banyak jika kepala sudah terasa pusing karena kekurangan oksigen. Itu pun terlebih dahulu kami pastikan tidak ada orang yang kebetulan berjalan-jalan dan berada sekitar satu meter dari kami (pada waktu itu belum ada ketentuan dua meter seperti sekarang).
Rasa kecewa saya semakin berlipat ketika melihat kenyataan akan sikap masyarakat di ibukota provinsi dalam menghadapi pandemi ini, menurut saya pada umumnya masyarakat tidak terlalu perduli. Bahkan ada yang sama sekali tidak percaya, pada waktu itu santer juga informasi yang beredar luas yang mengatakan jika virus ini (maaf) adalah tentara Allah, kemudian di pihak lain ada juga yang begitu yakin bahwa Tuhan akan menolong dia dalam mengatasi virus ini.