"Kalau begitu, kami mohon diri dulu, Pak. Terima kasih atas waktunya dan maaf karena kami mengganggu Bapak." Â Kata Sudin sambil mengulurkan tangan menyalami pak Yamin dan diikkuti oleh kedua rekannya."Permisi, Pak." Seru Sudin lagi sambil mengganggukkan kepala.
Mereka bertiga lalu meninggalkan rumah pak Yamin tanpa menoleh ke belakang lagi. Tak terasa air mata Sudin menetes, air mata seorang mahasiswa miskin kantong kering. Untung gelapnya malam membuatnya tak terlihat menangis. Ketiganya diam membisu, berjalan lurus pulang.
"Siapa tadi, Pa?" Tanya isteri pak Yamin yang barusan keluar dari kamar sambil menyisir rambutnya. Dia baru saja selesai mandi. "Anak-anak mahasiswa mau pinjam uang." Jelasnya.
 "Bapak berikan?" Tanya isterinya lagi ingin tahu. "Tidak. Mereka itu pandai berbohong. Bilang uangnya habis, padahal digunakan untuk hal-hal yang tak berguna. " Tambah pak Yamin pula. "Oooohhhh." Desis iserinya dan langsung menuju ke ruang dapur, mengawasi para pembantu yang sedang menyiapkan makan malam untuk mereka.
Sudin dan ketiga kawannya berjalan laksana tentara kalah perang. Mereka tak banyak bicara. Letih, lapar dan kecewa bertumpuk jadi satu. Mereka tidak percaya pak yamin tidak punya uang sedikitpun. Jadi khotbahnya yang begitu menginsopirasi selama ini itu hanya kiasan kata-kata saja?
Setelah empat kilometer, ketiganya kembali melewati resepsi pernikahan. Tiba-tiba wajah Sudin cerah. Kedua kawannya tidak memperhatikannya. "Sebentar..." Kata Sudin sambil menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" Tanya Bahtok dan Soparong keheranan melihat tingkah Sudin. Wajahnya serius sekali. Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting.
"Kalian berdua ada yang punya uang seribu rupiah, ndak? Tanyanya kepada keduanya. "Uang? Seribu rupiah? Untuk apa?" Tanya Bahtok dan Soparong semakin keheranan. "Ada, ndak?" Tanya Sudin lagi.
Bahtok dan Soparong segera merogoh saku mereka. Dalam dompet Bahtok hanya ada empat ratus rupiah, itupun recehan. Sementara dalam dompet Soparong ada delapan ratus rupiah, separuh uang kertas separuhnya lagi recehan. "Sini, berikan saya seribu rupiah..." Pinta Sudin. Soparong menyerahkan semua delapan ratus rupiahnya dan ditambah dengan dua ratus rupiah milik Bahtok.
"Kalian berdua tunggu di sini sebentar, ya..." Katanya. "Saya tak lama..." Sudin menerima uang seribu rupiah itu. Dia lalu menuju ke arah kios kecil di pinggir jalan.
Sudin lalu membeli tiga buah amplop ukuran sedang. Kemudian dia meminjam ballpoint dengan pemilik kios, meminta selembar kertas. Lalu menulis "Selamat menempuh hidup baru, semoga panjang umur dan banyak rezeki. Terima kasih atas makan malamnya. Tuhan memberkati." Setiap amplop dimasukan tulisan yang sama, lalu kemudian amplopnya di lem.