Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Makan Malam Ala Mahasiswa Kantong Kering

26 Juli 2020   08:20 Diperbarui: 26 Juli 2020   13:31 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu jam kemudian, ketiganya sudah berada di depan rumah pak Yamin.  Rumah itu begitu besar dan megah. Di halaman rumahnya terlihat dua buah mobil. Satu Nissan Terrano King's Road dan satunya lagi Honda CRV. Juga beberapa buah motor.

Setelah beberapa kali mengucapkan salam, seorang ibu-ibu tua keluar menemui mereka. "Cari siapa, Dik?" Tanyanya ramah.

"Pak Yamin, ada Bu?" Tanya Sudin agak canggung. Biarpun dia mahasiswa tingkat tiga, tetapi berada di depan rumah yang begini megah dan mewah, membuatnya sedikit grogi juga.

"Oh, ada. Silakan masuk dulu..." Sapanya ramah. Dengan saling dorong ketiganya masuk. Dari luar mereka sudah terkagum-kagum dengan rumah pak Yamin. "Duduk dulu ya, Nak. Saya panggilkan pak Yamin."

Setelah sampai di dalam, ketiganya jadi terpana. Ruang tamunya saja mungkin berukuran 12 x 20 meter. Ada empat set kursi jati berukir mengisi ruang tamunya. Di salah satu sudut ruangan terletak sebuah TV LCD ukuran 60 inci. Dinding dan deknya di tata dengan warna etnik yang khas.

"Ada apa, adik-adik?" tiba-tiba sebuah suara berat menyapa mereka. Sudin dan kawan-kawannya yang tadi sedang menoleh ke arah lain jadi terkejut. "Oh, Pak Yamin." Seru ketiganya serentak berdiri sambil mengulurkan tangan menyalami pak Yamin. "Silakan duduk...!" Sapa pak Yamin ramah. "Apa yang bisa saya bantu?"

Ketiga mahasiswa itu saling pandang. Akhirnya Sudin memberanikan diri. "Anu, Pak...Begini..!" Jelas Sudin terpatah-patah. "Maksud kami bertiga ini, mau pinjam uang. Karena kiriman dari kampung belum datang. Kalau kiriman untuk kami bulanan ini sudah ada, kami segera membayarnya. Ini kamera akan kami tinggalkan sebagai jaminan." Desah Sudin lega seolah baru melepaskan beban seribu kilogram, karena bisa menyampaikan maksud kedatangan mereka. Meskipun dia tahu apalah artinya sebuah kamera analog bagi orang sekaliber pak Yamin.

Soparong dan Bahtok tidak bersuara, keduanya hanya mempermainkan kancing baju mereka untuk menghilangkan rasa malu. Sementara Sudin dengan hati berdebar menunggu jawaban pak Yamin.  Orang tua itu menarik nafas panjang. "Bukannya saya tidak mau membantu. Tapi saat ini saya betul-betul lagi kosong. Mohon maaf, ya dik!" Jelas pak Yamin.

Sudin dan ketiga kawannya seperti disambar petir. Karena harapan terakhir dan satu-satunya inipun kandas. "Saya betul-betul minta maaf, nih adik-adik. Bukannya tidak mau membantu. Coba adik bertiga cari ke lain saja." Jelasnya lagi sambil melirik ke arah jam tangan Rolex nya. Sudin mengerti, lirikan jam tangan itu adalah usiran secara halus.

"Tapi..." Seru Sudin ragu. Memelas. "Apakah sedikit pun tak bisa, Pak? Sungguh...! Kami bertiga memang perlu..."

"Saat ini saya betul-betul tak bisa membantu, Dik. Maaf...!" Katanya seraya kembali melirik ke arah jam Rolex berlapis emasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun