Walau lemas, ketiganya segera keluar. Â Dugaan mereka ternyata benar. "Surat untuk Sudin. Apa orangnya ada?" Tanya pak pos sambil mengeluarkan setumpuk surat dan memilih satu diantaranya.
"Saya, pak Pos. " Jawab Sudin seraya menuju lebih dekat ke arah pak Pos. ternyata Kilat Khusus. "Tanda tangani dulu!" Kata pak Pos sambil menyerahkan sebuah resi penerimaan kepada Sudin. "Di sini!"
"Saya pikir wesel untuk saya." Gerutu Bahtok. Pak Pos hanya tersenyum. Setelah Sudin menanda tangani resi penerimaan surat, ketiganya lalu kembali ke kamar. Sudin langsung membuka surat itu, membacanya. Beberapa saat, surat itu dikembalikan kedalam amplopnya. Wajahnya lesu.
"Surat dari siapa sih, Din?" Tanya Soparong. Bahtok pun menatap Sudin menunggu jawaban. Mereka yakin, pasti sesuatu berita yang kurang mengenakan. "Dari Adik saya di kota Terentang." Jawab Sudin singkat. "Ooooohhh. " Kata kedua kawannya dengan wajah lugu.
Sudin tahu pasti, jika kedua kawannya sebenarnya ingin mengetahui berita dalam surat itu. Hal ini tampak dari roman muka keduanya yang mimiknya penasaran. "Adik saya mengatakan, uang jatah saya bulan ini masih dipakainya. Untuk dia berobat. " Jelas Sudin sambil menarik nafas panjang.
"Aahhh..." Desah Bahtok dan Soparong bersamaan. "Jadi bakalan empat bulan kamu tidak dapat kiriman." Seru keduanya lagi perlahan.
Sudin terdiam. Dia yakin sebenarnya, bahwa adiknya tidak menggunakan uang itu untuk berobat. Tapi untuk berfoya-foya. Karena dia tahu betul perangai adik laki-lakinya itu. Tapi selama ini Sudin tak berani melaporkannya kepada ayah mereka. Lebih-lebih setelah kematian ibu mereka tercinta. Karena ayahnya lebih berpihak kepada adiknya.
Dari orang-orang di kampung Sudin tahu, bahwa ayahnya sangat menyayangi adiknya dengan alasan adiknya sangat tampan. Sudin memang tidak banyak menuntut, sudah diijinkan kuliah saja merupakan berkah yang luar biasa baginya.
Cuma terkadang bathinnya menjerit, siapa sih yang mau dilahirkan dalam keadaan jelek ke dunia ini? Pasti semua lelaki mau dilahirkan tampan. Tapi dia tidak berani menceritakannya kepada kawan-kawanya, karena selain tidak mau membuka aib keluarga sendiri juga hal demikian tak akan merubah keadaan.
"Jadi bagaimana upaya kita bertiga, dong?" Tanya Soparong memecah lamunan Sudin. "Rasa lapar ku sudah tak mampu di tahan lagi, nih..."
Sudin menarik nafas panjang, dadanya terasa nyeri. "Ibu asrama tidak mau lagi mengutangkan kita makan, karena sudah tiga bulan kita tidak membayar. Kawan-kawan juga tidak ada yang bisa meminjamkan kita uang. Di Pontianak ini kita tak punya keluarga yang bisa membantu kita." Desisnya seperti berbicara pada diri sendiri.