"Bisa saja mereka memang tidak mau membayar para guru honor. Uangnya mungkin mereka pakai." Timbrung Bahtok. "Lalu honormu memberi les privat di gang Sirsak itu, tidak kamu tanyakan?" Kata Bahtok lagi sambil melirik Sudin.
"Aku tak enak menanyakannya, aku kan berhenti tidak dengan hormat." Jelas Sudin. "Lagi pula aku tak respect dengan anak perempuan nya."
"Anak perempuannya yang kamu beri les privat itu dan katamu sering menggoda itu?"
"Ya." Angguk Sudin malu-malu.
"Allaaaa. Mana ada buaya menolak bangkai. Tak usah sok sucilah." Jengek Bahtok.
Sudin menatap kawannya dengan tajam. "Kamu boleh nggak percaya, tapi swear deh. Aku memang tak naksir. Lagi pula aku kan lagi mengejar Desy."
"Ngapain sok setia. Belum pasti juga Desy bisa kamu dapatkan. Kan lebih baik membuat cadangan banyak-banyak. Lepas satu kan yang lainnya siap." Ledek Soparong.
"Benar itu" celetuk Bahtok mendukung Soparong. "Bapak nya kan kaya, nanti kita-kita nggak bakalan kelaparan lagi kayak gini, hiyakan Rong?" Jengeknya sambil mengedipkan mata ke arah Soparong.
"Yah, sudahlah gurauannya." Tukas Sudin menghentikan ledekan kedua kawannya itu. "Lebih baik sekarang kita memikirkan, bagaimana kita harus makan malam ini."
Kedua kawannya terdiam. Masing-masing jadi teringat jika dua hari ini mereka belum makan. Seperti di komando saja "krrriuuuukkkk...!" perut mereka bertiga berbunyi laksana koor. Ketiganya saling pandang, tersenyum. Tapi sebuah senyum yang lemah.
Tiba-tiba terdengar klakson di luar kamar mereka. Sepertinya dari arah pintu masuk asrama. Kebetulan kamar mereka bertiga terletak di dekat pintu masuk utama asrama. "Pak Pos. saya kenal suara motornya...!" Seru Bahtok bersemangat. "Siapa tahu wesel saya datang..." Karena pada jaman itu pengiriman uang cara termudah dari kampung adalah via wesel pos.