Mohon tunggu...
Nusa Bunga
Nusa Bunga Mohon Tunggu... Guru - Flores

Berita & Opini

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kita yang Amnesia, Budaya yang Menua

19 Desember 2024   21:57 Diperbarui: 19 Desember 2024   22:26 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Vinsensius Jeradu

Di tengah hiruk pembangunan, kota menua tanpa wajah,

Tangan-tangan saling menjauh, lupa eratnya genggaman yang pernah indah.

Gotong-royong hanya cerita, sekadar kata di papan pelajaran,

Di saat tetangga berteriak, kita sibuk menutup telinga dalam kesendirian.

Pembangunan dianggap tugas para penguasa,

Di bawah langit mendung, kita berdiam, berpangku rasa.

Jalan rusak, air menggenang sedang got mengaggur, sampah berserakan di sudut kota,

Namun bibir kita hanya sibuk mengutuk, menunggu tangan pemerintah menyeka.

Air tergenang di mana-mana, hujan turun bagai derita,

Namun siapa peduli? Kita lebih suka mengeluh di layar kaca.

Genangan mengundang penyakit, membangkitkan duka yang berulang,

Sayangnya, mata kita hanya memandang, tak tergerak meski tangan tak bersilang.

Di jalan raya, kecelakaan menyapa, nyawa beradu dengan nasib,

Namun apa yang kita lakukan? Sibuk merekam, menyebarkan tanpa sebab.

Postingan viral mengisi ruang maya, jempol berlomba jadi pengamat,

Namun di dunia nyata, tak banyak yang datang memberi uluran tangan erat.

Kita hidup di dua dunia yang tak seimbang,

Peduli di layar, namun hati sering kosong tak berbilang.

Komentar pedas menghiasi linimasa tentang nasib sesama,

Tapi langkah kaki kita seolah terkunci, beku oleh rasa lupa.

Oh, di mana semangat kita dulu?

Gotong-royong, tenggang rasa yang selalu menyatu.

Kini kota adalah panggung sandiwara: sibuk menyalahkan, lupa bersikap,

Budaya tergeser, rasa kemanusiaan perlahan meratap.

Mari kita lihat ke dalam diri,

Menyadari pembangunan bukan sekadar milik pemimpin negeri.

Sampah itu tanggung jawab kita, genangan air adalah cermin kelalaian,

Bersama kita mampu bergerak, menjadikan hidup penuh kesadaran.

Berhenti hanya peduli di dunia maya,

Hadirkan uluran nyata, bukan sekadar kata.

Mari genggam kembali makna gotong-royong yang dulu kita banggakan,

Agar di balik pembangunan, jiwa dan budaya tetap kita pertahankan.

Ayo kembali sadar!

Pembangunan bukan sekadar gedung yang megah,

Tetapi manusia yang peduli, yang bergerak, yang merawat tanahnya dengan indah.

Jangan biarkan hati kita jadi asing di rumah sendiri,

Bangkitlah, bergeraklah---sebelum semuanya menjadi sunyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun