Mohon tunggu...
Amelia Mentari Damayanti
Amelia Mentari Damayanti Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa

لولا المرب ماعرفت ربي | Studying in UIN Walisongo Semarang | Studied in PPM Darunnajat Bumiayu | Longlast learner, part time fan-girl | Going to be someone in someday |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Garis Wajah Kecewa Lelakiku

31 Mei 2021   01:03 Diperbarui: 31 Mei 2021   01:10 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

A

Sudah berapa tahun sejak kepergianku? Agaknya kamu tetap menjadi pribadi keras yang sulit diruntuhkan. Garis wajahmu masih menyiratkan marah yang bahkan kamu tak pernah tahu kebenaran sesungguhnya. Aku tidak pergi, tidak benar-benar pergi. Hanya berusaha mengistirahatkan hati yang aku harap kamu pun begitu, kemudian datang untuk membujuk aku yang sedang merapuh. Namun tidak, gengsimu yang cukup tinggi tak mau kau redamkan terlebih dahulu demi aku, perempuanmu waktu itu.

            Meski berada di lingkungan yang sama dan hampir setiap hari bisa saling melihat, kita tak pernah mau mencoba menyapa. Barang melempar senyum untuk mengobati rindu yang rasanya makin hari makin menyiksa, sesak. Sesekali, teman-temanku tertawa menyaksikan tingkah konyolku yang memalukan karena ditatap begitu dalam olehmu namun tak mau membalas. Bukan pura-pura tak tahu, namun aku sadar betul, ada peraturan pesantren yang tak bisa kita tembus.

            Entah bagaimana caranya, tiga tahun dapat kita lalui tanpa komunikasi meskipun teman-teman yang lain sudah mencoba jalan pintas yang berakhir di kantor Ria'ayah dan beberapa dipulangkan ke rumah. Aku bukan santriwati yang patut, kamu apalagi. Tetapi bagimu, tidak menyeretku ke dalam perbuatan yang memalukan adalah pilihan, sehingga memilih untuk membuatku uring-uringan karena selalu merasa jatuh cinta sendirian.

            Sudah tahun ke tujuh sejak haflah akhirussanah, kita tak pernah benar-benar bertemu setelah itu. Kecuali, ketika sama-sama menangisi takdir yang seolah tak memihak, menyalahkan semua orang yang memberi benteng penghalang begitu tinggi dan secara terang-terangan menolak. Namun sekarang, setelah berhasil lari bertahun-tahun lamanya, tanpa pernah terpikirkan sebelumnya, aku bertemu denganmu lagi, di tempat yang bahkan luput dari dugaanku.

                                                                      ***

Oktober, 2013

            Selesai ta'alum kitab Maroqil Ubudiyyah bersama Abah Kyai, dengan masih mengenakan "kostum masjid", aku bergegas melangkahkan kaki ke kamar. Rasa kantuk yang dari tadi telah menyerang, tak bisa lagi ku tahan. Masih menunjukun pukul 21.30 yang seharusnya masih ramai oleh hiruk-pikuk adik-adik MTs yang sedang belajar di kelas masing-masing, dan biasanya ada beberapa dari mereka yang belajar di teras masjid atau sekedar rawa-riwi beralasan ke kamar mandi padahal ke kantin pondok untuk membeli cemilan pengusir kantuk. Namun, udara malam ini terasa lebih menusuk, membuat anak-anak MTs lebih memilih berdiam di kelas sambil membiarkan mata mereka terpejam dengan kitab sebagai penutup wajah.

            Aku berjalan dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, meski begitu, aku bisa melihat dengan jelas ada yang mengamatiku dari kejauhan dengan pandangan yang lebih dari sekedar kalimat manis, pandangan yang selalu berusaha ia sembunyikan, pandangan yang meski samar-samar mampu membuat darahku seolah berhenti mengalir dan jantungku berdetak sangat hebat. Dalam waktu seperkian detik, kami berpapasan. Dia berjalan dengan dua temannya dan tak lagi memandangku, sedangkan aku sekuat tenaga menahan kitab kuning, tasbih dan alat tulis yang ada di genggamanku supaya tak jatuh. Aku sama sekali tak berani memandangnya, meski beberapa temanku sudah meluncurkan aksi menggoda dengan menyenggol tubuhku atau meneriaki kalimat yang mungkin hanya kami yang mengerti.

          Pulang dari ta'alum kitab tadi, aku langsung merebahkan diriku di atas lantai. Iya lantai, karena setiap kamar di pondok ini diisi oleh sekitar 30-40 orang dan tidur menggunakan kasur lantai atau karpet permadani yang setiap setelah selesai digunakan harus ditumpuk menjadi satu di tengah-tengah ruangan dan tak boleh ada yang menggunakan kecuali ketika jam tidur telah tiba atau untuk maridhoh saja. Karena rasa kantuk yang sudah menyerang sejak jamaah isya tadi, aku langsung terlelap, padahal masih ada satu kegiatan yang tak boleh ditinggalkan, Namun, aku memilih ghoib demi nafsu tidurku yang tak dapat diredam. Dan rupanya, sudah pukul 22.15 ketika ada salah satu teman yang membangunkanku.

            "Ukhti Afifah, anti takunina harisatan fii hadzal lael (Ka Afifah, kamu jaga malem ya)," Oh ternyata Ni'mah, salah satu teman yang akrab denganku,

            "Ma'a man? (Sama siapa?)," Sahutku sambil sekuat tenaga membuka mata.

            "Ma'iy (Sama aku)," Ucapnya sambil tersenyum girang.

            Jadilah aku disini, tengah malam berjaga di asrama ketika yang lain sudah bergulat dengan guling masing-masing. Ada dua asrama untuk santri putri, dan setiap asrama dijaga oleh 3 orang dari pukul 23.00 hingga 03.00. Meskipun harus menahan kantuk di waktu tidur, namun menjadi bulish lael (sebutan untuk orang yang  berjaga malam di pondok) adalah kegiatan paling menyenangkan dan disukai oleh hampir semua pengurus, karena kami bisa mengerjakan tugas sekolah dan organisasi sampai pagi tanpa perlu izin kepada ri'ayah, memutar sendiri lagu kesukaan di studio informasi dan memanfaatkan keadaan untuk bertemu dengan sang pujaan. Namun, tidak denganku. Sebagai seorang perempuan yang dianugerahi masa puber seperti remaja pada umumnya, tentu aku sangat ingin bertemu dengan dia, lelaki yang berpapasan denganku ketika pulang ta'alum tadi, sekedar mengobrol dengan kalimat sederhana yang menyejukan. Namun agaknya, aku dan dia sama-sama memiliki rasa takut untuk menembus dinding peraturan yang sudah dijunjung begitu tinggi dan jika dilanggar, akan mendapatkan sanksi yang tak sepele.

            "Ukhti Afifah, ahadun yad'uki (Ada yang manggil tuh)," Kepala Ni'mah tiba-tiba muncul dari kegelapan yang sontak mengagetkanku.

            "Man? (Siapa)," Tanyaku tak tertarik.

            "Mang Darman," Jawabnya penuh antusias.

            "Hah? Mang Darman? Maa Yuriidu? (Mau apa dia?)," Jawabku terheran.

            "Laa a'rif (Tidak tahu)," Namun Nikmah menjawabnya dengan menyelipkan senyuman nakal. Aku tetap duduk di teras kamar dan melanjutkan hafalan Alfiyah yang tertunda tanpa berniat mencari keberadaan Mang Darman, seorang lelaki kepala empat yang merupakan orang kepercayaan pondok untuk mengurus infrastruktur dan pengairan. Tiba-tiba, ada suara berat yang memanggilku dari balik gerbang; Mang Darman.

            "Afifah.. Faah,"

            "Iya Mang," Sebelum aku berdiri, Mang Darman sudah terlebih dahulu masuk dan berada tepat di hadapaku.

            "Kamu yang kemaren nyari saya, bukan? Katanya mau minta papan tulis baru?" Tanyanya pura-pura serius.

            "Oh iya Mang, betul,"

            "Sini ikut saya sebentar," Ajaknya, kemudian ia berjalan mendahuluiku menuju gerbang dan aku sudah berpakaian rapi menggunakan jas almameter lengkap dengan khimar segi empat. Karena, meskipun berjaga malam, bulish tetap diwajibkan menggunakan pakaian rsesmi.

            Ketika Mang Darman sudah menghilang di balik gerbang, aku buru-buru menyusul karena tak mau tertinggal. Aku membuka gerbang, namun yang ku temui bukanlah Mang Darman, melainkan Fahri. Aku hanya terpaku di tempat dan lidahku mendadak kelu, kami sama-sama diam dan hanya menatap dengan pandangan canggung. Seketika tersadar, aku buru-buru menundukan kepala.

            "Bulish lael?" Tanyanya basa-basi, karena aku yakin dia sudah tahu jawabannya.

            "Na'am (Iya). Antum kok bisa di sini?" Aku balik bertanya.

            "Tadi masih ngelembur di asrama, terus Mang Darman ngajak kesini, katanya butuh bantuan," Jawabnya datar.

            "Oh, terus sekarang Mang Darman mana?"

            "Laa a'rif (engga tau)," Jawabnya acuh sambil mengangkat bahu.

            "Eh?" Aku heran campur kesal, bisa-bisanya dia bersikap sesantai itu sedangkan aku sedang menaruh was-was karena takut ada mata-mata yang melihat dan melaporkan kami ke ri'ayah.

            "Ini," Ucapnya sambil menyodorkan sebuah kantong plastik berwarna putih.

            "Apa?"  Tanyaku sambil mengernyitkan dahi.

            "Cemilan sama kopi, barangkali anti ngantuk,"

            "Engga mau, nanti ketahuan,"

            "Tinggal diambil, sih. Ana udah jauh-jauh ke sini, masa engga mau nerima? Lagian engga ada yang tau," Sedikit memaksa dengan suara seraknya yang jarang sekali ku dengar.

            "Wallahu 'aliimun bashiir, (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Melihat)," Ujarku dilematis.

            "Oh, ya sudah. Ana balik dulu ke asrama," Ucapnya dengan nada kecewa sambil berbalik badan.

            "Akhi Fahri," Sebelum langkahnya semakin jauh, aku memanggilnya dan ia menoleh.

            "Kali ini saja ya, besok-besok jangan. Ana engga mau setan terus mempermainkan kita," Dengan sumringah ia kembali berjalan ke arahku dan menyerahkan plastik tersebut.

            "Syukron sudah diterima," Senyumannya berhasil membuat pertahananku runtuh, ya ampun.

            "Afwan, ana masuk dulu. Antum hati-hati, ya," Aku buru-buru masuk ke dalam asrama sebelum jantungku benar-benar loncat dari tempatnya.

                                                                      ***

            Juli, 2014

            Kamu memandang jauh ke depan dengan tatapan kosong, air mukamu mengeras dan bisa ku lihat jelas, ada buliran bening yang kamu tahan di kelopak mata. Buku-buku tanganmu mengepal, menandakan ada amarah yang sedang kamu tekan supaya tak keluar begitu saja. Agaknya, senja yan menenangkan di hadapan kita tak mampu menyiram gejolak hatimu. Suara riuh orang-orang yang sedang berlalu lalang sambil sesekali berswa foto tak cukup membuatmu terusik, karena ada yang jauh lebih mengusik, hatimu. Aku yang sedari tadi sudah menangis, tidak berani melihat ke arahmu yang duduk di sebelahku dengan raut wajah terluka. Aku hanya menunduk, melihat kedua kakiku yang sudah gemetar sejak awal mengucapkan kalimat yang sudah ku duga, akan menyakitimu.

            "Besok ana ke rumah anti," Ucapmu setelah satu tarikan nafas yang berat.

            "Terakhir antum ke rumah, antum sudah ditolak sama Ummi dan kedua kakak ana, Fahri," Jawabku ragu.

            "Apa itu artinya anti juga minta ana mundur?" Kamu menoleh dan memandangku dalam.

            "Tidak Fahri, tapi ana tidak mau antum mempermalukan diri antum lagi,"

            "Apa yang salah dari seseorang yang terlahir dari keluarga yang tidak sempurna, Afifah? Ana tidak pernah menyangka ibu ana bakal meninggal di usia muda dan meninggalkan ana dengan dua adik, sedangkan Bapak orang tua ana satu-satunya yang masih ada, yang seharusnya merawat kami malah menikah lagi dan sibuk dengan rumah tangga barunya. Bertahun-tahun ana menghidupi diri sendiri dan adik-adik ana dengan jerih payah ana, Fah, dengan keringat ana. Beberapa keluarga memang membantu, tetapi mereka juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Itu alasan kenapa ana di pondok sering pulang dan dihukum, ana di kampung kerja, Fah, bantu Bibi. Dan, salah satu alasan ana kenapa masih mau kembali ke pondok karena anti, karena ada orang lain yang masih peduli sama ana di saat Bapak ana sendiri ninggalin ana. Bertahun-tahun kita menahan diri, Fah. Mematuhi norma, berharap setelah lulus, ana dapat menyegerakan diri untuk menjadikan anti sepenuhnya milik ana. Tapi, di saat yang sama, ana dipukul mundur hanya karena orang tua ana tidak lengkap. Bagaimana bisa ana harus menjalani hidup tanpa orang yang sudah membuat beban ana terasa lebih mudah?" Lelakiku terisak, air mata membanjiri pipimu. Dan itu kali pertama aku melihatmu menangis, Fahri.

            "Afwan Fahri, afwan," Jawabku singkat dengan bahu yang terguncang hebat.

            "Besok, ana tetep ke rumah anti, ya Fah," Ucapmu lagi sambil mengusap puncak kepalaku sekilas.

            Bukan karena kamu terlahir dari keluarga yang tidak sempurna, sayang. Bukan. Namun, apa yang Ummi putuskan adalah karena rasa trauma terhadap Abi. Ummi memiliki sifat yang tak jauh berbeda denganku, lembut dan penuh kasih. Itu mengapa, orang sekeras Abi dapat takluk dan jatuh ke pelukan Umi. Namun, sayangnya Abi memilki karakter dan kisah hidup yang nyaris mirip denganmu. Ia terlahir di tengah-tengah keluarga yang menganut poligami dan ibunya meninggal karena tak kuat mendengar gunjingan tetangga, akhirnya ia memilih pergi dari rumah karena kecewa dengan ayahnya yang rela membagi cinta kepada perempuan lain di saat istri pertamanya membutuhkan dukungan untuk sembuh. Sedangkan empat adiknya dirawat oleh kakek-nenek yang selang berapa tahun juga meninggal dunia. Keadaanlah yang membuatnya mandiri dan terbiasa dengan kerasnya kehidupan sehingga mampu membentuk mentalnya yang sekuat baja. Namun, karena kegigihannya itu, Abi sering bersikap kasar pada Umi dan kedua kakakku. Keadaan memaksanya untuk menjadi pribadi yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan orang lain, termasuk Umi. Rasa sakit Abi di masa lalu dilampiaskan di masa kini dengan sering bersikap kasar pada Umi. Meski sekarang Umi dan Abi masih bersama, namun Umi tak ingin aku bernasib sama dengannya karena ia tahu, hatiku lebih peka dan perasa.

                                                                                  ***

            "Pagi, Bunda" Sapanya dari balik pintu sambil mendekat kemudian mencium keningku.

            "Pagi," Jawabku tersenyum dan memakaikan dasi yang akan ia pakai ke kantor hari ini.

            "Ayah, sarapannya udah siap di meja makan, ya. Bunda masih beres-beres, Ayah mau makan duluan atau ditemenin?" Sambungku.

            "Makan sendiri saja, Bun. Bunda beres-beres dulu, tidak apa-apa,"

            "Oh iya, hari ini Bunda mau ajak Rahmania main ke pantai, boleh, Yah?"

            "Iya boleh, tapi hati-hati ya. Maaf Ayah belum bisa nemenin," Ucapnya hangat sambil mengelus pipiku, aku pun tersenyum dan mengangguk.

            Setelah suamiku pergi ke kantor, aku bersiap-siap pergi dan mengajak Rahmania main ke pantai dengan ditemani Asisten Rumah Tangga ku. Setelah sampai di pantai, Rahmania langsung meminta turun dan buru-buru bermain pasir, ia berlarian kesana-kemari mengejar ombak diawasi oleh ARTku, sedangkan aku masih diparkiran untuk membereskan beberapa barang dan makanan yang akan dibawa ke tepi pantai.

            "Afifah?" Suara familiar yang tiba-tiba menyapaku dari balik punggung, spontan aku menoleh.

            "Fahri?" Ucapku kaget.

            Akhirnya, setelah hampir 7 tahun tidak bertemu dan hilang kabar. Kita dipertemukan lagi di sini dengan jalan hidup yang tak sama. Aku berusaha mengusir rasa canggung dan mengajakmu mengobrol di salah satu rumah makan dekat pantai. Sejauh obrolan ini, yang aku tahu kamu melanjutkan pendidikan ke Mesir setelah hubungan kita diusaikan secara sepihak. Tahun lalu kamu baru saja menamatkan pendidikanmu dan sekarang menjadi salah satu tenaga pendidik di pondok pesantren yang sangat besar dan terkenal elit. Ternyata, kamu belum tahu bahwa aku sudah menikah sehingga dengan gamblang mengatakan bahwa melanjutkan pendidikan ke luar negeri adalah salah satu cara untuk mengubur paksa perasaan bersama kenangan yang tak bisa kamu miliki. Namun nihil, usahamu tak berhasil. Hingga sekarang pun, perasaanmu masih tetap sama, bahkan kian dalam.

            Jika memang benar demikian, mengapa setelah sekian penolakan dari Ummi, kamu malah pergi dan menghilang begitu saja? Seolah perjuangan yang kamu janjikan adalah fatamorgana yang sulit ku raih. Aku harap-harap cemas menanti kedatanganmu kembali dengan segudang keberanian untuk membawaku ke pelaminan. Namun ternyata, nyalimu ciut. Hingga beberapa minggu setelahnya, kamu tak lagi memberi kabar dan aku sama sekali tak tahu dimana keberadaanmu saat itu. Berapa bulan setelahnya, aku dinikahkan oleh lelaki pilihan Ummi, dia adalah salah satu teman dekat kakak sulungku yang sudah kenal baik dengan keluarga. Aku yang masih dirundung kesedihan tak bisa menolak karena tidak ada dalih untuk mempertahankanmu yang seolah tertelan bumi.

            "Bundaaa," Aku dan kamu sama-sama menoleh ke sumber suara, ternyata Rahmania yang memanggil sambil mengahampiriku dan langsung bergelayut manja di pangkuan. Kamu melihatku dengan tatapan tidak mengerti, namun sekali lagi, ada raut kecewa yang jelas terbaca.

            "Maaf Fahri, ini anakku," Aku menjawab pertanyaan yang berkumpul di pikiranmu tanpa kamu lontarkan. Dan ternyata, itu benar-benar pertemuan terakhir kita.

                                                                      ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun