Mendung telah lama menggantung di Bukit Desa. Sinar matahari terasa canggung saat menyapa. Udara lembab karena hujan hampir selalu turun dalam rentang dua senja. Tanah basah dengan genang air di sepanjang jalan.
“Palipap!” sebuah nama menggema di seantero bukit. Meninggalkan pantulan bunyi yang semakin lama semakin menghilang.
“Palipap!” gema suara itu lagi.
Seorang pria tinggi besar dengan perut gendut jatuh tersandung berkali-kali, berusaha keluar dan mencari tahu asal suara yang memanggil namanya. Palipap jatuh terjerembab untuk yang kesekian kalinya saat akhirnya berhasil menuju pintu. Kehabisan napas.
Pria itu berdiri dengan susah payah. Bajunya kotor. Tangannya yang besar berusaha membersihkan tanah yang menempel. Matanya memicing. Menangkap siluet berwarna ungu yang semakin lama terlihat semakin jelas. Matanya melotot ketika siluet itu akhirnya berubah menjadi sosok seseorang.
“Palip..!”
Bruk!
“Ya ampun, Tuc. Ternyata kau!” ujar Palipap saat dia berhasil menangkap seorang anak kecil bertubuh kurus berwajah pucat. Tuc tenggelam dalam pelukan di tubuh Palipap.
“Maafkan aku, Palipap. Apa kau sibuk?” tanya Tuc ketika dia berhasil keluar dari pelukan Palipap.
“Apakah ada sesuatu yang penting hingga membuatmu harus bergegas seperti tadi?” Palipap kembali bertanya.
“Benar! Putri Shya memanggilmu!” seru Tuc dengan suara keras hingga membuat Palipap menutup telinganya.