Mohon tunggu...
Memei Landak
Memei Landak Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tombol di Kepala

12 Oktober 2015   10:56 Diperbarui: 12 Oktober 2015   10:56 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sejujurnya Aku tidak menyalahkan sifat pelupa akutnya itu. Menurutku itu semacam keadilan Tuhan. Tuhan seperti menginginkannya melupakan semuanya.

***

RUMAH gaduh, Mbak Ropi mendapat nilai ujian nasional tertinggi di sekolah. Seperti sengaja mencari gara-gara, ia tidak menurut perintah Ayah masuk sekolah kejuruan. Padahal dengan nilainya mudah saja masuk STM otomotif atau SMK akuntansi, agar setelah lulus lebih mudah dapat pekerjaan dan bisa segera membantu keluarga, kira-kira begitu pikiran Ayah. Dasar Mbak Ropi bengal, susah diatur, ia malah memilih masuk SMA.

Lagi-lagi kerabat, sanak keluarga dan para tetangga gaduh mempertanyakan tingkahnya.

Dasar anak tidak tahu diri, lupa siapa dan seperti apa orangtuanya malah memilih masuk SMA Satu, konon sekolah bonafit tempat sekolah anak orang kaya, yang biayanya beberapa kali lipat dari sekolah lain. Lagi, Mbak Ropi menjadi sasaran bulan-bulanan.

Namun kali ini tidak berlangsung lama. Entah apa sebabnya, tiba-tiba suara sumbang itu perlahan lindap. Sekarang pun masih sulit kupahami cara orang-orang berpikir bagaimana bisa hanya karena sebuah nama seketika semua berubah,  nama sebuah sekolah.

Mereka seakan lupa Mbak Ropi dulu dengan yang sekarang tidaklah berbeda, masih orang yang sama. Seolah ada semacam tombol pengatur di kepala yang bisa menyetel isi kepala—pikiran—sesuai kebutuhan dan keadaan.

Kakung sepertinya juga mulai terjangkit amnesia mulai sayang dan membangga-banggakan Mbak Ropi. Semua tahu Kakung menyukai anak pintar. Mau tidak mau harus diakui manuver Mbak Ropi memilih SMA Satu dan nyata berhasil membalikkan keadaan seperti sekarang adalah keputusannya yang sangat jitu. Telak membuktikan kepintarannya.

Lagi orang-orang mulai heboh,  tercengang lebih tepatnya, bagaimana bisa Mbak Ropi  jauh berbeda dari bapaknya, Pakdhe Marjo ? Mereka mulai mengatur tombol di kepala dan mengatakan mungkin itu adalah salah satu bentuk keadilan Tuhan.

Ya, Aku rasa kepala mereka benar-benar ada tombol pengaturnya, tahu kapan harus menghujat dan kapan harus memuja. Semacam yang terpasang di kepala Mbak Ropi, tahu kapan harus ingat dan kapan harus lupa. Anak cerdas yang pelupa, cukup unik bukan?

Semua berbalik mengelu-elukan seolah ia adalah manusia sempurna yang layak dijadikan teladan. Ayah, Ibu, Kakung, Simbok dan semuanya menyuruhku menjadi seperti Mbak Ropi. Sepertinya mereka lupa dulu pernah menyuruhku apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun