Mohon tunggu...
Memei Landak
Memei Landak Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tombol di Kepala

12 Oktober 2015   10:56 Diperbarui: 12 Oktober 2015   10:56 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dulu sewaktu kecil sebelum merantau, entah bagaimana Pakdhe juga kerap menjadi bulan-bulanan mungkin karena kondisinya yang tidak seperti orang-orang pada umumnya. Pakdhe terlalu baik, nerimo—menerima dan mengalah, lugu dan sangat penurut.

Pakdhe Marjo adalah anak Simbok yang pertama sekarang bermukim di Sulawesi. Entah lantaran tidak ada biaya atau ada alasan lain, setelah lulus SD, Pakdhe memutuskan menitipkan Mbak Ropi ke Simbok dan Ayah, adiknya.

Menurut penuturan para tetangga, walaupun darah dagingnya sendiri, Simbok tidak suka sama Pakdhe lantaran dianggap tidak pintar mencari uang, maklum hanya berprofesi sebagai petani, tidak cerdas seperti anak-anaknya yang lain, dan terlalu miskin.

Walaupun tidak secerdas dan disayang seperti saudara-saudaranya, Pakdhe adalah anak yang berbakti dan tumbuh menjadi sosok yang baik, sangat baik. Tak jarang keluguan dan kebaikannya yang teramat tulus banyak dimanfaatkan orang, tak terkecuali orangtuanya sendiri, Kakung dan Simbok.

Itulah sejarah ketidaksukaan Simbok pada Mbak Ropi. Aku sering kasihan melihat Mbak Ropi diperlakukan berbeda tapi mau bagaimanalagi itu sudah jadi nasibnya.

***

SETIAP cucunya lahir Simbok membelikan masing-masing emas dan mengirim sejumlah uang, ya, kecuali kelahiran anak Pakdhe Marjo, Mbak Ropi. Setiap lebaran, Aku dan cucu-cucu lainnya diberi pesangon masing-masing minimal lima puluh atau seratus ribu, ya, kecuali Mbak Ropi yang hanya diberi lima atau sepuluh ribu atau bahkan tidak sama sekali.

Perlakuan diskriminasi tidak berhenti disitu bahkan menjalar sampai keurusan perut. Entah bagaimana, Simbok bisa membuat satu masakan dengan variasi tingkat kelezatan.

Tingkat pertama sayur tumis penuh bumbu diambil langsung dari wajan, ini diberikan ke anak lanang kesayangan, Ayah. Tingkat kedua sisa sayur pertama yang masih ada di wajan diberi santan, ini untuk Simbok sendiri dan Kakung yang suka sayur santan. Tingkat ketiga sisa sayur santan yang masih di wajan dimasuki berbagaimacam dedaunan lalu ditambah air dan garam, sepertinya tidak perlu Aku jelaskan ini untuk siapa. Memang sulit dinalar tapi itulah yang terjadi.

Simbok juga kerap main kasar sama Mbak Ropi, seperti sengaja melempar arit ke gedek—dinding dari anyaman bambu—bilik Mbak Ropi, saat jalan sengaja menginjak dan menabraknya menganggap seolah disitu tidak ada siapa-siapa, melempar dan  menendang perabot di depan matanya adalah hal yang sangat lumrah.

Karena sifat pelupanya Mbak Ropi juga kerap mendapat  masalah, seperti lupa menyalakan dan mematikan lampu teras, lupa memberi minum sapi, lupa menambah stok kayu di dapur, lupa melakukan ini itu sesuai yang diperintahkan, akibatnya ? Tahu sendiri, bukan hanya jadi bulan-bulanan tapi tahun-tahunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun