*tulisan lama saya, belum sempat saya publish karena kelupaan dan saya publish kembali karena kemarin saya mendapatkan buku beliau. ekonom yang saya kagumi dan menjadi arah berpikir saya. Hayman Minsky
I. Minsky dan Stabilitas Sistem Keuangan
Hayman Minsky, nama yang tiba-tiba menyeruak setelah krisis subprime mortgage tahun 2008. Nama beliau kurang didengar sebelunya lantaran beliau memiliki pemikiran berbeda dengan ekonom lainnya selain ia lebih memilih pendekatan kata dari pada matematika. Namun pada tahun 2008, krisis keuangan di Amerika serikat menjadi bukti pemikiran beliau.
Minsky memiliki pendapat berbeda dengan para pemikir neoklasik yang menganggap penyebab ketidakstabilan sistem keuangan berasal dari faktor atau shock dari external (exogenous) seperti perang maupun bencana keaunagn. Namun, menurut minsky, faktor internal atau endogenous itulah yang menjadi penyebab ketidakstabilan sistem keuangan. Hal tersebut dapat dilihat dari tulisan beliau berjudul “Stability is destabilising”. Menurut Minsky (1986), pada saat kondisi stabil para agen ekonomi ( Bank, perusahaan, rumah tanggal dan lainnya) akan memiliki kepercayaan bahwa kondisi ekonomi yang baik akan terus berlangsung sehingga mereka mengambil resiko berlebih.
Pemikiran Minsky tersebut menjadi salah satu pandangan dalam makroprudensial yang dinamakan sebagai procyclicality yaitu suatu fenomena yang memperbesar “feedback” antar sistem keuangan maupun sistem keuangan dengan makroekonomi (BIS, 2012). Dimana fenomena tersebut dapat menyebabkan “unsustainable boom”. Saat periode “boom” menjadi “burst”, procyclicality memperbesar kekacauan dan menyebabkan resesi ekonomi mendalam. Pemikiran Minsky tersebut menggambarkan apa yang terjadi pada krisis keuangan di Amerika tahun 2008 maupun periode setelahnya.
Setelah krisis tahun 2008 barulah pemikiran Minsky tersebut medapat dukungan dari ekonom lainnya. Robbert shiller dan George Akerloff dalam The Animal Spirits menyatakan pada saat kondisi ekonomi baik (boom) masyarakat menjadi overconfidence sehingga masyarakat tidak menjadi rasional dalam megambil resiko yaitu mengambil resiko berlebih. Dalam perspektif pengukuran resiko sistemik, pemikiran Minsky didukung oleh Adrian dan Brunermeier (2011) menurut resio sistemik lahir bukan saat pada volatilitas itu tinggi akan tetapi sebaliknya yaitu terjadi pada saat volatilitas itu rendah hal ini disebut sebagai volatility paradox.
Sumbangan pemikiran beliau selanjutnya adalah Financial Instability Hypothesis (FIH) (minsky, 1992). Dalam FIH Minsky membagi tiga tahapan hubungan antara hutang dengan unit ekonomi. Yang pertama adalah tahap Hedge Finance dimana pada tahap ini unit ekonomi mampu memabayar cicilan maupun pokok dari hutangnya. Selanjutnya adalah speculative finance dimana pada tahap ini unit ekonomi hanya mampu membayar cicilan saja tetapi tidak dengan pokokonya.
Pada akhirnya unit ekonomi melakukan roll over hutang atau membayar hutang dengan hutang yang lain. Setalah itu adalah tahap Ponzi Finance, pada tahap tersebut unit ekonomi tidak mampu membayar cicilan maupun pokok dari hutang. Unit ekonomi berharap kepada kenaikan harga aset untuk membayar hutangnya tersebut. Akan tetapi, jika tidak terjadi kenaikan harga aset maka yang dilakukan oleh unit ekonomi adalah menjual aset tersebut dan saat unit-unit tersebut menjual asetnya maka terjadi penurunan nilai aset yang lebih mendalam.
Kedua teori diatas menggambarkan apa yang terjadi pada krisis tahun 2008 di amerika dan kondisi selanjutnya. Pada sebelum terjadi krisis 2008 ekonomi sedang mengalami boom. Pada saat tersebut unit ekonomi memiliki kepercayaan bahwa kondisi baik tersebut akan terjadi selamanya. Bank-bank berani mengambil resiko dengan memberikan kredit kepada masyarakat yang tidak seharusnya mendapatkan kredit. Sedangkan rumah tangga percaya kondisi tersebut akan terus berlangsung dan harga aset, seperti properti, akan terus naik sehingga mereka melakukan pembelian properti terus-menerus meski tak memiliki kemampuan.
Rumah tangga berasumisi akan membayarnya setelah mendapatkan uang dari hasil menjual aset tersebut lebih mahal dari yang harga yang dibeli sebelumnya dan mendapatkan keuntungan darinya. Keputusan bank yang berani mengambil resiko untuk terus memberi kredit tersebut menjadi “bahan bakar” bagi kondisi tersebut. Begitupula yang terjadi di pasar modal, para investor tak lagi rasional dalam mengambil keputusan dalam berinvestasi pada aset sekuritasasi mortgages. Para investor seperti rumah tangga melakukan peminjaman (margin loan) untuk membeli aset tersebut dan berasumsi kondisi baik akan terus berlangsung sehingga harga aset akan terus naik.
Padahal, kenaikan harga terjadi karena banyaknya pembelian (spekulasi) yang berasal dari pinjaman. Jadi saat terjadi koreksi, harga aset turun, maka banyak unit ekonomi yang tak mampu membayar hutangnya. Mereka-pun akhirnya melakukan penjualan aset tersebut sehingga terjadi “fire sales” yang membuat harga aset menjadi jatuh sangat dalam. Akhirnya, kondisi ini mempengaruhi neraca perbankan, aset mereka mengalami penyusutan besar-besaran sehingga jumlah pasiva mereka lebih besar (obligasi mereka terhadap masyarakat lebih besar). Hal inilah yang membuat bank-bank di Amerika menaglami kesulitan finansial pada tahun 2008 lalu.
Selain itu, Minsky meimiliki pendekatan yang berbeda dengan dengan para ekonom di era-nya. Seperti kita ketahui, banyak ekonom lebih memillih pendekatan matematis (kuantitatif) dari pada kata (kualitatif). Pendekatan ini membuat Minsky tak begitu populer dibandingkan ekonom lain di era-nya meski Adam smith, John Maynard Keyness, dan Frederick Hayek memilih metode serupa. Akan tetapi, Krisis tahun 2008 mengungkap kelemahan dari pada pendekatan matematis yang dianggap gagal dalam menggambarkan kondisi yang terjadi pada saat itu. Kelemahan tersebut tak lain karena metode matematis yang terlalu kompleks maupun penggunaan asumsi yang terlalu banyak dan jauh dari kenyataan sebenarnya. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Shiller (2008),
“Economist more respect for sophisticated methods rather than substantial evidence”
Pastinya, pendekatan matematis dalam ekonomi dikritik oleh Nassim Thaleb,
“a mathematical toolkit to detect anything that is bullshit in economic modeling (particularly macroeconomics), figure out which papers are flawed from a scientific standpoint, etc. When I mean flawed, it is on the basis that the math used impresses nonmathematicians but does not support the stated policy conclusions.”
Murray Rothbard mengkritik bahwa kita tidak dapat menyamakan ekonomi sebagai ilmu sosial dimana manusia sebagai objek memilki kemauan, kehendak, dan tujuan serta keinginan untuk mencapainya berbeda dengan ilmu fisika dimana objeknya adalah benda mati.
“At the heart of Mises and praxeology is the concept with which he appropriately begins Theory and History, methodological dualism, the crucial insight that human beings must be considered and analyzed in a way and with a methodology that differs radically from the analysis of stones, planets, atoms, or molecules.
Why? Because, quite simply, it is the essence of human beings that they act, that they have goals and purposes, and that they try to achieve those goals. Stones, atoms, planets, have no goals or preferences; hence, they do not choose among alternative courses of action. Atoms and planets move, or are moved; they cannot choose, select paths of action, or change their minds. Men and women can and do. Therefore, atoms and stones can be investigated, their courses charted, and their paths plotted and predicted, at least in principle, to the minutest quantitative detail. People cannot; every day, people learn, adopt new values and goals, and change their minds; people cannot be slotted and predicted as can objects without minds or without the capacity to learn and choose.”
Kesimpulan I:
Berdasarkan penjelasan pendekatan Misnky di atas maka kita mengetahui apa yang menjadi penyebab sebenarnya gangguan stabilitas system keuangan. Minsky menjelaskan bagaimana factor psikologi atau behavior seperti animal spirits, irrationality dan exuberance menjad factor sesungguhnya gangguan stabilitas sistem keuangan. Minsky-pun mengkritisi beberapa kebijakan sebelumnya yang tak menyentuh maslaah sebenarnya seperti kebijakan mikroprudensial di era-nya dan kritik tersebut masih berlaku dalam kebijakan yang makroprudensial. Kritik minsky-pun ternyata masih berlaku dalam kebijakan makroprudensial yang baru ditetapkan oleh Bank Indonesia seperti LTV (Loan-to-Value). Terbukti, kebijakan LTV mulai disiasati oleh developer maupun investor dengan menaikan harga rumah NJOP yang tak sesuai dengan harga pasar atau membangun rumah tumbuh. Hal tersebut akan mempengaruhi efektifitas dari kebijakan makroprudensial LTV. Oleh karena itu, dalam menjaga stabiltas system keuangan harus menggunakan pendekatan tersebut.
“the quest to get money and finance right may be a never ending struggle.”
Hayman Minsky
II. stabilitas sistem keuangan melaui Pendekatan Minsky
Berdasarkan teori “Stability is destabilizing dan “Financial Instability Hypothesis” Minsky sangat menitik beratkan kepada endogenous risk yaitu resiko pada sistem keuangan yang berasal dari interaksi antar unit ekonomi. Menurut minsky perilaku dari individu unit ekonomi-lah yang menjadi sumber dari ketidakstabilan sistem keuangan. Penulis membagi individu menjadi tiga yaitu individu rumah tangga, perbankan, dan perusahaan non-bank.
II.1 Unit Ekonomi Rumah Tangga
Pertama adalah peran individu rumah tangga (RT), pada sebelum saat terjadinya krisis terjadi, banyak RT di Amerika melakukan spekulasi property mereka melakukan pembelian rumah dengan tujuan untuk dijual lagi dengan harapan harga yang lebih tinggi. Keputusan masyarakat tersebut tentunya tidak rasional mereka menganggap kondisi baik akan berlangsung selamanya dan harga terus akan naik. Hal ini terjadi karena mereka melakukan extrapolative expectation, saat harga naik maka mereka memiliki ekspektasi harga akan naik juga di masa mendatang begitupula sebaliknya pada saat turun. Keputusan ini terjadi karena mereka memiliki keterbatasan informasi yaitu informasi apa yang terjadi pada masa lalu dan saat ini saja sebagai dasar keputusan.
Membangung Mindset Cash-flow Hasil Investasi.
Mindset akan mendapatkan capital gain inilah yang menjadi “jantung” bagi diri spekulan. Oleh karena itu masyarakat seharusnya tidak melihat capital gain dalam pembelian aset untuk investasi akan tetapi berapa cash flow yang dihasilkan. Misalkan harga rumah Rp 1 Miliar sedangkan cash flow dari penyewaan rumah tersebut hanya Rp 10 juta pertahun. Dengan kata lain, investasi tersebut membutuhkan waktu 100 tahun untuk balik modal. Tentu dengan kenyataan tersebut orang akan berpikir lagi untuk menjadikan rumah sebagai aset investasi. Dengan pola pikir cash flow masyarakat dapat berpikir lebih rasional dalam mengambil keputusan.
Edukasi Keuangan Maupun Resiko Bagi Masyarakat
Lalu untuk menjadikan masyarakat kita menjadi berorientasi cash flow daripada capital gain maka dibutuhkan sebuah edukasi keuangan. Financial planner dapat berfungsi sebagai educator keuangan masyarakat. Disinilah bank Indonesia dapat berkerja sama melakukan edukasi keuangan dengan para financial planner. Masyarakat dididik tentang resiko investasi seperti berharap dari capital gain merupakan hal yang beresiko karena memiliki ketidakpastiaan. Pendidikan keuangan juga mengajarkan perencanaan kredit bagi rumah tangga. Misalkan, mendidik agar cicilan kredit tidak sampai 30% dari total pendapatan agar tidak mengambil resiko lebih besar sehingga kemungkinan gagal bayarnya rendah. Yang terakhir adalah edukasi melalui punishment, harus ada contoh punsihment bagi masyarakat yang melakukan spekulasi maupun gagal bayar. Jikalau tidak ada punishment maka masyarakat lain akan mendorong masyarakat lain melakukan hal serupa.
Intervensi Otoritas
Selain itu, Bank Indonesia juga dapat melakukan intervensi dengan kebijakan LTV sehingga harga rumah tertahan. Hal tersebut akan menghilangkan asumsi untuk berspekulasi yaitu harga akan terus naik. Sehingga masyarakat akan menyadari bahwa mereka tidak rasional lagi untuk berinvestasi di sektor property.
II.2 Unit Ekonomi Bank
Unit ekonomi selanjutnya adalah bank. Pada sera sebelum terjadinya krisis tingkat suku bunga di AS sangat redah, pada juni 2003 fed rate hanya sebesar 1 % . Hal ini menyebabkan eforia pada dunia perbankan sehingga gencar memberikan kredit bahkan bank memberikan kredit kepada orang yang tak berhak mendapatkannya yaitu subprime mortgage. Hal ini diperparah dengan proses sekuritisasi mortgage bank sehingga bank tidak mengambil resiko jika kredit yang diberikan default. Hal tersebut menjadi principal agent problem bagi bank.
Tak pelak, bank pun lebih berani mengambil resiko yang tak wajar karena resiko tersebut tidak ditanggung oleh bank tetapi kepada investor di pasar modal. Hal tersebut mendorong pelanggaran pada dunia perbankan seperti Mortgage Fraud yaitu persekongkolan antara peminjam dan pemberi pinjaman untuk memeberikan informasi palsu dalam aplikasi kredit untuk mendapatkan pinjaman atau pinjaman yang lebih besar. Alhasil, menurut penulis, unit ekonomi bank adalah unit yang paling bertanggung jawab terhadap stabilitas sistem keuangan.
Membangun Budaya Yang Baik di Sektor Perbankan
Untuk mengatasi masalah diatas, menurut penulis memperbaiki budaya adalah hal yang paling tepat sehingga budaya perusahaan yang baik menjadi “jantung” bagi stabilitas sistem keuangan. Budaya adalah norma yang dijadikan paduan perilaku atau tindakan seseorang saat kondisi ketidakadaan peraturan. Budaya ada pada setiap perusahaan baik disadari ataupun tidak. Budaya merefleksikan sikap dan perilaku perusahaan. Budaya berhubungan dengan “apa yang seharusnya dilakukan” bukan “apa yang bisa dilakukan”.
Untuk membangun sebuah budaya yang baik maka harus dimulai dari atas struktur organisasi. Menurut James O’Toole and Warren Bennis masalah etika dalam organisasi terjadi karena budaya perusahaan. Sedangkan budaya perusahaan itu sendiri dibentuk oleh leadership pada perusahaan. Oleh karena itu memperbaiki budaya perusahan harus berawal dari pimpinan perusahaan.
Para pimpinan senior bank harus dapat menjadi contoh yang baik bagi bawahannya. Mereka harus menilai dan memeriksa sikap dan perilaku mereka lalu menilai secara kritis norma pada perusahaan mereka. Mereka juga harus dapat memikirkan solusi dan mengkomunasikan pentingnya budaya perusahaan.
Langkah selanjutnya adalah para pimpinan senior harus memperbaiki manajemen sumber daya manusia mereka. Dimulai dari rekruitmen, pengembangan karir, penilaian performa, dan promosi karyawan. Dalam proses rekrutimen perusahaan harus menekankan faktor integritas personal jangan hanya kemampuan indikator tertentu seperti salesmanship atau berkomunikasi saja. Perusahan juga dapat menumbuhkan budaya perusahaan yang sehat dalam proses training perusahaan seperti melakukan case study mengenai ethical dilemma dan decision making. Dalam promosi pegawai, misalnya tidak hanya menilai dari berapa target atau penjualan kredit yang dihasilkan tetapi juga kualitas dari penjualan kredit tersebut dan bagaimana mereka mencapainya.
Untuk menjamin terjadinya budaya yang sehat di bank, maka para pimpinan harus mengukur progress perubahan tersebut. Pengukuran yang terpenting adalah employee assessment tentang bagaimana budaya bank mereak berkerja. Hal tersebut bisa dilakukan dengan pengembangan cultural survey yang komprehensif. Survey tersebeut nantinya digunakan sebagai benchmarking progres perubahan budaya yang sehat.
Elemen terpenting dari pembentukan budaya organisasi yang sehat adalah penegasan untuk patuh kepada hukum dan regulasi yang ada. Menegakkan budaya tersebut maka pemimpin senior harus mempromosikan self-policing. Para senior leader perbankan harus proaktif melaporkan kegiatan illegal maupun tidak sesuai etika. Dengan begitu akan tersampaikan “pesan” kepada para karyawan dan regulator tentang kepatuhan bank terhadap hukum.
Selain, peran dari senior leader mekanisme insentif juga dapat digunakan untuk membangun budaya yang sehat. Pada perbankan di Amerika, mekanisme insentif menjadi akar dari perilaku buruk maupun tindakan tak seharusnya. Oleh karena itu meperbaiki insentif didunia perbankan dapat alat untuk membangun budaya yang sehat dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
Mekansime insentif ini dapat menjadi pendukung kebijakan makroprudensial dalam mengatasi “to-big-to-fail”. Mekanisme kompensasi akan menjadi alat yang sangat berguna untuk mengatasi pengambilan resiko berlebihan oleh bank. Mekanisme kompensasi juga berperan dalam meperbaiki budaya dan mengurangi tindakan tidak beretika dan penipuan.
Mekanisme kompensasi berkerja dengan melihat pengambilan keputsan seseorang untuk melakukan tindakan. Proses pengambilan keputusan diasumsikan dtentukan oleh dua faktor yaitu expected risk dan expected reward. Expected risk adalah fungsi dari kemungkinan seseorang tertangkap atau menerima konsekuensi perbauatannya seperti penipuan. Expected rewards adalah benefit financial maupun fisik hasil dari tindakan yang tak diketahui.
Memperbaiki budaya dapat mempengaruhi keseimbangan E(Risk) dengan E(Reward) sehingga seseorang cenderung untuk berperilaku baik. Memperbaiki budaya meningkatkan kemungkinan individu merasa berhutang untuk berperilaku baik dan pencegahan oleh individu lain dari perilaku buruk sehingga E(risk) meningkat. Selain itu, meperbaiki budaya mengurangi nilai E(rewards). Budaya yang kuat membuat seseorang yang melakukan tindakan illegal atau tidak beretika tidak mendapatkan kepuasan karena tidak mendapatkan apresiasi dari tindakan melawan atau melanggar hukum.
Dalam pengunaan kompensasi terdapat dua pertimbangan penting yaitu seberapa besar kompensasi dibayarkan sekarang jika dibandingkan dibayarkan dimasa mendatang. Kedua, bentuk dari kompesasi yang akan dibayarkan nanti apakah berbentuk tnuai, saham, atau obligasi. Struktur kompensasi haruslah sesuai dengan apa yang menjadi tujuan seperti mencegah tingakan illegal maupun tindakan pelanggaran hukum. Kalau kita melihat bahwa tindakan illegal atau pelanggaran hukum di dunia perbankan dampaknya dalam jangka panjang maka defered compensation yang diberikan juga dalam jangka panjang. Deffered compensation jangka panjang yang tepat adalah dalam bentuk obligasi (bond) bertolak belakang dengan saham.
Saat perbaikan budaya perusahaan memerlukan komitemen dari senior leader maka deffered compensation dapat berperan untuk mendapatkan komitmen dari senior leader. Salah satu caranya dalah deffered compesantion yang diberikan oleh senior leader digunakan untuk rekapitalisasi aset bank saat terjadinya insolvency. Dengan begitu para senior leader akan menghindari dan mencegah tindakan illegal atau pengambilan resiko berlebih yang menyebabkan bank tersebut menjadi insolvent. Dengan deffered compensation yang bersifat janka panjang maka para senior leader lebih mementingkan kepentingan jangka panjang perusahaan.
Selain itu, dengan deffered compesation yang mark to market maka akan terjadi sebuah mekanisme market dicipiline sehingga para senior leader lebih terdorong untuk memonitor bank lebih baik. Mekanisme ini juga dapat memperbaiki buadya perusahaan jiakalau denda pelanggaran atas tindakan illegal bank dibayarkan sebagian besar dari deffered compenastion. Hal tersebut akan mendorong orang yang memiliki posisi terbaik untuk indentifikasi dini aktivitas illegal sehingga orang tersebut terdorong untuk melakukan tindakan pecegahan. Deffered compensation juga menyadari bahwa benefit yang dimilikinya tak hanya bergantung pada dirinya akan tetapi juga orang lain. Karena saat orang lain melakukan pelanggaran maka beenefit dari orang itu berkurang. Oleh karena itu sistem ini nantinya akan mendorong munculnya “whistle blower” dari setiap tindakan illegal maupun pelanggaran.
III. Perusahaan non-keuangan
Sebelum terjadi krisis keuangan tahun 2008 di amerika, tingkat bunga sangat rendah pada saat itu dan likuiditas yang tinggi. Hal ini mendorong perusahaan untuk mendapatkan banyak cash flow dari kegiatan financing seperti penerbitan hutang maupun saham. Mereka beranggapan bahwa tingkat likuiditas yang tinggi dan tingkat suku bunga yang rendah akan terus berlangsung seperti saat itu sehingga banyak cash flow perusahaan yang bergantung dari kegiatan financing dan menyebabkan tingkat financial leverage mereka menjadi sangat tinggi.
Oleh karena itu untuk mengatasi fragility yang ada diatas seharusnya perusahaan mengutamakan cash flow dari operating activities sebagai pendapatan utama mereka bukan financing activities. Hal ini dapat terjadi saat para investor bersifat rasional dengan melihat kualitas dari cash flow tidak hanya terpaku oleh return on equity dari perusahaan. Investor akan bersifat rasional jikalau ada indicator yang mengidentifikasi apakah harga dari saham tersebut sudah terlalu mahal atau tidak melalui pendekatan cash flow dari operational acivities. Selain itu, nilai tersebut disesuaikan dengan kondisi cyclical kondisi ekonomi seperti commodity super cycle. Dengan begitu, masyarakat dapat gambaran nilai yang wajar sehingga akan ada market punishment bagi perusahaan yang terlalu bergantung pada cash flow financing activities maupun tingkat leverage yang terlalu tinggi.
Selain ketiga unit ekonomi tersebut, pendekatan minsky terhadap otoritas menjadi yang utama dalam menjaga stabilitas system keuangan. Karena menurut Minsky saat ekonomi berkembang maka otoritas yang meregulasi dan mensupervisi harus menyesuaikannya.
III. OTORITAS
Berbeda dengan ekonom mainstream pada era-nya, Minsky tidak setuju dengan self-adjusting equilibrium. Menurut Minsky dibutukan sebuah regulasi dalam sektor keuangan agar terjadi stabilitas sistem keuangan. Minsky mengungkap bahwa ketidaksesuai regulasi dengan kondisi praktek perbankan juga menjadi sumber krisis. Akan tetapi, Minsky juga mengingatkan bahwa regulasi dapat menjadi sumber ketidakstabilan sistem keuangan itu sendiri. Oleh karena itu, Minsky menekankan peran penting otoritas dalam menjaga stabilitas istem keuangan.
Dynamic macroprudential Policy
Teori Financial Instabilty Hypohtesis (FIH) menjadi dasar dari apa yang disebut kebijakan makroprudensial seakrang. Akantetapi, Minsky melihat kebijakan (macroprudensial) yang diambil harus mengikuti perubahan institusi bank tidak hanya kondisi ekonomi yang ada. Jikalau perubahan tersebut tidak akomodiasi maka kebijakan tersebtu tidak akan efektif. Minsky menyatakan,
The supervisory and regulating structure for banking and finance that is in place not only reflects institutional features of the economy stretching back over at least 150 years, it also reflects the understanding, i.e. the economic theory, of how our type of economy works that ruled at the time when the bits and pieces of this structure was first put in place. (Minsky 1994b, 6)
Oleh karena itu, Misnky menitik beratkan terhadap ideosyncretic risk berbeda dengan kebijakan makroprudensial pada umum-nya. Menurut Minksy penyebab dari terjadinya gangguan stabilitas sistem keuangan bukan dari faktor exogenous (eksternal) seperti perang atau bencana alam tapi berasal dari individu bank itu sendiri seperti perubahan praktek perbankan. Perubahan praktek tersebut ternyata belum bisa diantisipasi dampaknya dengan regulasi yang ada atau praktek yang baru tersebut memang digunakan untuk menghindari hukum yang ada. Tindakan seperti inilah yang menyebabkan ketidakstabilan sistem keuagan.
Dalam macroprudential examination, otoriats terkait harus dapat mendesain sebuan sistem pemeriksaan yang dibangun untuk prosedur pelaporan yang mampu membuat orotitas beradaptasi terhadap perubahan dalam praktek maupun institusi perbankan dan menyelidiki dampaknya terhadap gangguna stabilitas sistem keuangan. Sedangkan dalam kebijakan makroprudensial, minsky menekankan perlunya melihat peruabahan institusi dan praktek di dunia perbankan dalam mengambil kebijakan makroprudensial. Regulator harus melihat bagaimana dampak regulasi terhadap perubahan tersebut dan melihat dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan. Krisis tahun 2008 lalu menjadi bukti bahwa ketidaksigapan otoritas terhadap perubahan di dunia perbankan menjadi sumber masalah ketidakstabilan sistem keuangan. The Fed kurang menganalisa dampak mekanisme sekuritisasi subprime mortgage serta peran credit default swap dalam hubungan bank dengan institusi keuangannya lainnya seperti shadow banking. Minsky menyatakan,
explains why regulatory structures eventually become obsolete or perverse. The normal, profit-seeking activities of agents lead to innovation in order to create new sources of profits; innovations drives agents to avoid, evade and adapt to the structure of regulation and can be in products, processes or finance. The search for profits also intervention put in place to constrain incoherence. In time this undermines the effectiveness of a regime of intervention that “stabilizes the unstable system.” Therefore if regulation is to remain effective, it must be reassessed frequently and made consistent with evolving market and financial structures. (Minsky and Campbell 1988, 6).
Perubahan praktek perbankan didasari karena unit ekonomi akan selalu mencari cara untuk medapatkan keuntungan baik melalui inovasi ataupun mengakali regulasi atau hukum yang berlaku. Oleh karena itu otoritas perlu melakukan re-assessment secara berkala terhadap regulasi agar tetap efektif.
However, the perennial quest for the profits that successful innovators earn energizes entrepreneurs. New financial and banking institutions and new financing patterns for business, households and government units emerge and their users prosper. Over time the initially apt pattern of regulation and supervision becomes increasingly inept: the inherited structure of regulation and the supervision first becomes not quite right and later becomes perverse. A cumulative effect of the institutional and usage changes that occur is that the institutions which are supposed to contain the endogenous disequilibrating forces of our economy lose much of their power to do so. (4–5).
Kesimpulannya, Minsky melihat sifat dasar manusia yang yang selalu mencari keuntungan yang baru dan lebih besar oleh karena itu terjadilah inovasi yang berdampak dalam stabilitas sistem keuangan. Inovasi tersebut merubah praktek pada institusi perbankan maupun agen ekonomi lainnya. Oleh karena itu, untuk menjaga stabilitas sistem keungan otoritas harus menyesuaikan kebijakan regulasi maupun eksaminasi terhadadap peruabahan praktek maupun institusi yang ada.
Tanpa mengikuti perubahan maka kebijakan atau regulasi tidak akan menjadi efektif. Pada tahun 2008 inovasi di dunia perbankan membuat bank tersebut menjadi high leverage dari semestinya. Namun, regulasi maupun eksamnasi yang ada belum dapat mencapai perubahan praktek bank pada waktu itu. Alhasil, Bank-bank yang menurut regulasi dan eksminasi yang ada memiliki modal yang cukup ternyata kecakupan modalnya jauh dari yang ditentukan. Inilah yang disecut sebagai financial engineering permium oleh Jon Danielson.
Metode Minsky-pun sesuai dengan apa yang terjadi dengan kebijakan LTV. Terjadi perubahan praktek dalam dunia properti. Kini banyak investor mengakali kebijkana LTV dengan berbagai cara seperti menaikan harga NJOP dari harga sebenarnya sampai pemalsuan kuitansi. BI otoritas yang beratanggung jawab harus memberi perhatian serius akan perubahan tersebut dan menganalisa dampaknya.
Terakhir, dalam eksaminasi macroprudensial seperti pengukuran resiko sistemik minsky lebih memilih pendekatan sederhana daripada matematika kompleks.
Kesimpulan II
Untuk menjaga stabilitas system keuangan Unit ekonomi RT seharusnya lebih melihat berapa cashflow yang dihasilkan dari investasi bukan berharap capital-gain. Hak tersebut dibutuhkan pendidikan keuangan pada masyarakat seperti mengenal resiko investasi. Masyarakat juga diajak untuk menyadari pentingnya stabilitas system keuangan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Unit ekonomi perbankan perlu memperbaiki budaya dalam organiasai mereka. Dengan memperbaiki budaya organisasi maka akan mendorong para pegawai untuk bertindak benar dan menghindari tindakan illegal dan tidak beretika. Perbaikan budaya dimulai dari senior leader dan menggunakan dapat metode kompenasasi.
Sedangkan unit ekonomi perusahaan non-keuangan dapat menjaga stabilitas system keuangan dengan lebih melihat ke sisi cashflow operating activities dari pada financing activities. Perusahaan juga meperhatikan siklus seperti commodity cycle agar tidak terjebak kedalam hutang yang jauh lebih besar daripada seharusnya. Begitupula angaran lainnya agar dapat menyesuaikan denagn siklus ekonomi yang ada.
Terakhir adalah peran otoritas, Misnky menyarankan apa yang kini disebut kebijakan “macroprudential” akan tetapi misky lebih menekankan pada ideosyncretic risk daripada exogenous risk. Selain itu, Minsky juga menekankan perlunya re-assesment terhadap kebijakan maupun eksaminasi macroprudential. Kebijakan dan eksaminasi harus mengikuti perubahan praktek di Industri perbankan tapi penulis menambahkan perubahan unit ekonomi lainnya juga harus diperhatikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H