Barisan rombongan pria, diawali dengan pengantin pria yang mengenakan pakaian pengantin khas Sasak dengan atribut lengkapnya dan diapit oleh dua orang pria sebagai pendamping pengantin. Seperti pengantin wanita, pengantin pria juga di payungi, diikuti dengan pengiring lainnya yang semuanya laki-laki.Â
Untuk diketahui, pengantin pria dan wanita tidak boleh berjalan sejajar tetapi beriringan. Artinya laki-laki sebagai suami harus menjadi pengawal dan pelindung istrinya.Â
Barisan kedua pada pengiring pria ialah barisan para pembawa atau pemikul kebon odek dua buah. Kebon odek adalah miniatur kebun, sebagai lambang kesejahteraan sekaligus berarti pelestarian lingkungan hidup manusia. Di belakang kebon odek, baru lah barisan terakhir yang biasanya diisi para penabuh kesenian Gendang Beleq.Â
Sebelum iring-iringan pengantin tiba di kediaman mempelai wanita, rombongan kecil yang terdiri dari pemuka adat, pemuka masyarakat, pemuka agama serta sejumlah pendamping akan mendahului untuk melakukan Sorong Serah Aji Krama, yaitu prosesi serah terima secara adat antara pihak keluarga mempelai pria dan wanita. Prosesi ini dapat dikatakan sebagai suatu proses pengesahan pernikahan secara hukum adat.Â
Uniknya, ada mitos dan kepercayaan yang masih dipegang oleh warga Suku Sasak terkait dengan nyongkolan ini. Menurut kepercayaan lama yang masih berkembang dan turun temurun, jika tradisi nyongkolan tidak digelar setelah prosesi akad nikah, maka rumah tangga sang pengantin tersebut biasanya tidak akan bisa bertahan lama atau keturunan dari pasangan pengantin ini biasanya akan terlahir dalam kondisi cacat fisik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H