Mohon tunggu...
Meliza DewiSafitri
Meliza DewiSafitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ingin belajar menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Prosesi Nyongkolan sebagai Tradisi Adat Khas Suku Sasak Lombok

31 Oktober 2023   12:39 Diperbarui: 31 Oktober 2023   12:47 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nyongkolan berasal dari kata songkol atau sondol yang berarti mendorong dari belakang atau bisa diartikan secara kasar berarti menggiring (mengiring -pen) dalam bahasa sasak dialek Petung Bayan. 

Nyongkolan adalah prosesi adat yang dijalankan apabila adanya proses pernikahan antara Laki-Laki (Terune) dan Perempuan (Dedare) di dalam suku Sasak. 

Biasanya nyongkolan akan dilaksanakan setelah proses akad nikah, untuk waktu bisa ditentukan oleh kedua belah pihak. Ada yang meringkas dalam satu waktu ada pula yang akan melakukan nyongkolan seminggu setelah proses akad nikah dilaksanakan.

Adat nyongkolan sudah dikenal semenjak zaman kerajaan masih ada di Pulau Lombok. Nyongkol merupakan bagian dari rangkaian adat perkawinan khas Suku Sasak. 

Sedangkan Nyongkolan adalah iring -- iringan rombongan keluarga besar dari pihak pengantin pria yang mengiringi kedua pengantin menuju kediaman pihak mempelai wanita, dengan memakai baju adat, serta rombongan musik seperti gamelan atau kelompok penabuh rebana, atau disertai Gendang Beleq (alat musik tradisional Suku Sasak) yang bertujuan untuk memperkenalkan kedua pasangan mempelai kepada masyarakat sekitar. 

Dalam pelaksanaan nyongkolan, peserta dari rombongan mempelai pria membawa berbagai macam benda hasil perkebunan dan pertanian seperti buah-buahan maupun sayur-sayuran yang nantinya akan dibagikan kepada keluarga, kerabat, dan tetangga dari mempelai wanitanya. 

Saat pelaksanaan nyongkolan, pasangan pengantin didampingi oleh para dedare dan terune sasak, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuka adat dan sanak saudara dari mempelai pria.

 Lalu pihak keluarga pria akan datang dalam bentuk arak-arakan yang susunan barisannya yaitu; paling depan pembawa Karas, sebuah kotak anyaman segi empat berisi pinang sirih yang dibawa oleh dua orang gadis berpakaian Lambung (pakaian tradisional Suku Sasak). 

Barisan selanjutnya disusul oleh pembawa lekok atau sirih yang ditata sebagai penghias buah-buahan yang seluruhnya dibawa beberapa gadis sebagai lambang penghormatan. 

Barisan ketiga diikuti dengan pengiring pengantin wanita yang mengenakan pakaian pengantin khas Sasak beserta atribut lengkapnya dari atas kepala hingga kaki. 

Pengantin di payungi payung agung sebagai simbol penghormatan, dan diapit oleh dua orang wanita sebagai pendamping pengantin(inang). Barisan terakhir rombongan pengantin wanita, diiringi oleh para keluarga dan pengiring pengantin yang semuanya wanita memakai pakaian khas Sasak yaitu Lambung. 

Barisan rombongan pria, diawali dengan pengantin pria yang mengenakan pakaian pengantin khas Sasak dengan atribut lengkapnya dan diapit oleh dua orang pria sebagai pendamping pengantin. Seperti pengantin wanita, pengantin pria juga di payungi, diikuti dengan pengiring lainnya yang semuanya laki-laki. 

Untuk diketahui, pengantin pria dan wanita tidak boleh berjalan sejajar tetapi beriringan. Artinya laki-laki sebagai suami harus menjadi pengawal dan pelindung istrinya. 

Barisan kedua pada pengiring pria ialah barisan para pembawa atau pemikul kebon odek dua buah. Kebon odek adalah miniatur kebun, sebagai lambang kesejahteraan sekaligus berarti pelestarian lingkungan hidup manusia. Di belakang kebon odek, baru lah barisan terakhir yang biasanya diisi para penabuh kesenian Gendang Beleq. 

Sebelum iring-iringan pengantin tiba di kediaman mempelai wanita, rombongan kecil yang terdiri dari pemuka adat, pemuka masyarakat, pemuka agama serta sejumlah pendamping akan mendahului untuk melakukan Sorong Serah Aji Krama, yaitu prosesi serah terima secara adat antara pihak keluarga mempelai pria dan wanita. Prosesi ini dapat dikatakan sebagai suatu proses pengesahan pernikahan secara hukum adat. 

Uniknya, ada mitos dan kepercayaan yang masih dipegang oleh warga Suku Sasak terkait dengan nyongkolan ini. Menurut kepercayaan lama yang masih berkembang dan turun temurun, jika tradisi nyongkolan tidak digelar setelah prosesi akad nikah, maka rumah tangga sang pengantin tersebut biasanya tidak akan bisa bertahan lama atau keturunan dari pasangan pengantin ini biasanya akan terlahir dalam kondisi cacat fisik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun