Rumah zaman sekarang ukurannya memang jauh lebih sempit dibandingkan zaman dahulu. Kalau zaman orang tuaku, rumah tipe tersempit pun, luas tanahnya masih diatas 100m2. Namun sekarang, pada umumnya rumah sederhana dijual dengan luas tanah 60m2 atau 72m2. Sedangkan luas bangunannya berkisar antara 36m2 atau 42m2.Â
Keterbatasan ruang ini harus disiasati. Memaksakan diri memilki rumah dengan luasan diatas 100m2 tak ada artinya, kalau harga yang masuk anggaran ada di lokasi yang makin jauh dari tempat kerja. Tubuh hanya akan kelelahan, waktu habis di jalan, waktu berkualitas dengan keluarga pun tak ada.Â
Persis seperti yang aku alami. Aku membeli rumah dengan ukuran yang mini. Aku menyebutnya mini karena luasnya tidak sampai seperlima luas rumah orang tuaku, yang aku tinggali bertahun-tahun. Dan hanya seperlimapuluh rumah Eyangku.Â
Aku membayangkan, jangan-jangan rumah pertama anakku nanti luasan tanahnya hanya 20m2 saja. Hmmm... tidak salah bila generasi di bawahku memilih tinggal di apartemen.
Memiliki rumah sempit berarti harus pandai-pandai menata ruang agar semua barang penting dapat masuk dengan rapi ke dalam rumah. Aku mulai selektif dan sangat ketat dalam menentukan barang apa saja yang bisa aku masuk dan aku simpan di rumah.Â
Tidak ada romantisasi pada barang-barang karena kenangan-kenangan atau sejarah. "Rumahku bukan Museum". Juga bukan "Gudang penyimpanan barang". Semua harus berarti, semua harus berguna dan semua harus rasional. Bagi kami, hidup minimalis sesungguhnya bukan lagi menjadi pilihan, tetapi telah menjadi tuntutan hidup.
Bukan hanya aku. Aku juga perlu "mencuci otak" pasanganku agar memiliki pemahaman yang sama. Ya, kami belajar minimalis bersama. Berproses bersama dalam memilih barang berkualitas, memilih barang multifungsi, belajar mengikhlaskan barang kurang bermanfaat dan membuang barang yang benar-benar tak lagi bermanfaat. Kami juga berpikir masak-masak sebelum memutuskan untuk membeli barang.Â
1. Merencanakan Layout Ruangan
Saat memutuskan membeli rumah, aku melayout sendiri seluruh isi ruangan, beserta barang-barangnya. Aku sudah tahu kebutuhan dan kebiasaan bersama pasangan dan menyesuaikan layout sesuai dengan kebutuhan.Â
Dari pihak pengembang memang sudah memberikan referensi pengaturan ruangan. Meski begitu, belum tentu sesuai dengan kebutuhan kami, jadi kami perlu menyesuaikan dari beberapa sisi. Kami memperhatikan ruang gerak dan efektivitas ruangan.Â
2. Mengukur Setiap Barang
Kami memastikan semua barang dapat masuk, tertata rapi dan enak dilihat. Beberapa barang, kami putuskan beli secara custom (dibuat sesuai pesanan), bila tidak menemukan ukuran yang tepat. Harganya ternyata tidak selalu lebih mahal, hanya saja perlu menunggu sedikit lebih lama. Meski begitu, kita bisa memilih sendiri, warna, bahan dan modelnya.Â
3. Memilih Furnitur Multifungsi
Kami membeli divan dengan rak laci dibawahnya, memilih storage yang bisa berfungsi sebagai tempat duduk, atau bangku teras yang sekaligus menjadi rak sepatu. Sehingga kami banyak menghemat ruangan.
Kami juga telah mempersiapkan laci khusus tempat menyimpan barang-barang yang besar, seperti koper, bed cover, ember, stok galon dan peralatan pertukangan. Sehingga barang tersebut tersimpan rapi ketika tidak digunakan.Â
4. Decluttering
Kami melakukan decluttering (menyortir barang untuk dibuang atau dihibahkan) secara berkala. Sehingga tidak menyimpang barang yang kurang bermanfaat dalam jangka waktu yang lama. Kami berusaha tegas dengan diri sendiri. Tidak memikirkan "Baju ini bisa dipakai lagi kalau kurus", "Barang ini masih bagus, bisa untuk anak kita", "Barang ini unik, suatu saat kalau langka harganya bisa mahal". Semua yang masih sangat bagus, kami jual kembali atau kami berikan orang lain.Â
5. Pertimbangan Membeli Barang
Kami menjadi jauh lebih hemat sekarang. Karena kami tidak mudah tergoda pada iklan atau referensi barang-barang di media sosial. Kami tidak akan membeli barang karena penasaran, karena ingin punya, karena orang lain punya, apa lagi karena "lucu aja".Â
Kami akan berpikir "seberapa penting barang tersebut untuk kita", "seberapa sering kita akan menggunakannya", "apakah ada opsi lain untuk dapat menggunakan fungsinya" dan "dimana kami akan menyimpannya".Â
6. Memperhatikan Kualitas
Dahulu aku berpikir bahwa dalam membeli barang yang penting adalah sesuai kondisi keuangan. Kalau bisa beli murah, maka beli opsi yang paling murah, yang penting adalah fungsinya.Â
Namun sejak belajar minimalis, aku jadi sangat peduli pada kualitas. Aku mempertimbangan seberapa lama aku akan menggunakan barang tersebut. Bila aku akan menggunakannya bertahun-tahun, maka kualitasnya perlu bagus dan modelnya juga harus timeless.Â
Harganya sedikit lebih mahal tidak masalah, asalkan sebanding dengan kualitasnya. Akhirnya barang di rumahku meski sedikit namun berkualitas.Â
7. Tidak Menyimpan Banyak Stok
Keluargaku dahulu terbiasa memiliki banyak stok barang. Kami juga memiliki gudang. Sehingga banyak sekali menyimpan barang yang pada akhirnya hampir tidak pernah terpakai bertahun-tahun. Bahkan terkadang hingga kondisi barang itu tak lagi prima. Karena tertumpuk, mengelupas, dimakan rayap, terkena jamur dan lain sebagainya.Â
Sekarang kami tidak menerapkan itu. Kami hanya memiliki stok sesuai kebutuhan. Atau akan membeli jika barang yang digunakan sudah menunjukkan tanda akan habis, akan rusak atau selesai masa pakainya.
Dari perubahan gaya hidup ini ternyata banyak manfaat yang telah kami rasakan. Ruangan menjadi lebih lega, tidak sulit mencari barang, tidak repot membersihkan barang serta lebih efektif dalam beraktivitas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H