Tergantung kami pilih yang mana. Dari bermacam les tersebut kami jadi tahu mana yang kami suka dan tidak. Mana yang kami ada bakat atau tidak. Orang tua pun tidak pernah memaksakan jika kami tidak menyukai atau tindak ingin melanjutkannya.
Bila kita mudah mempelajarinya, bisa memperoleh prestasi yang lebih unggul dari peserta lain, maka itulah bakat. Â
Selain mengikuti les, aku sendiri juga sering ikut ekstra kurikuler. Jika suka aku lanjut, jika tidak aku berhenti. Semudah itu.Â
Bukan berarti menyerah, tapi itu salah satu cara menyeleksi hal-hal yang penting dan menarik dalam hidup kita, dari situ kita memahami passion. (Baca juga: Investasi Tanpa Modal yang Wajib Dimulai Sejak Kuliah )
3. Mencoba Hal Baru
Selagi muda, maka manfaatkanlah waktu untuk mencoba banyak hal baru. Olah raga, kesenian, menulis, mengikuti teater, mengikuti komunitas yang sesuai dengan ketertarikan dan lainnya.
Saya sendiri menulis sejak SMP. Dulu saya sering membuat puisi. Jika dipasang di mading sekolah, senangnya bukan main. Ketika SMA saya mengikuti ekskul Majalah Sekolah. Tugas saya menulis artikel dan membuat review, serta terkadang saya membuat ilustrasi gambarnya.Â
Saya meneruskan kuliah di ilmu Komunikasi dan bekerja sebagai humas. Kalau ditanya apa passion saya. Saya jawabnya desain grafis. Lah, kok nggak nyambung!
Saya hobi menggambar dan membuat desain. Meski senang menulis, ternyata saya sempat kehilangan rasa suka saya pada menulis karena saya tidak pernah merasa bisa menuliskan apa yang saya inginkan. Karya saya banyak saya kunci rapat dalam diary karena saya kurang percaya diri.Â
Setelah bekerja saya lebih banyak menulis apa yang diperintahkan atau by order saja. Jadi saya menganggap menulis sebagai tugas.
Berbeda dengan desain grafis, dimana  saya bisa bebas berkreasi sesuka saya, yang penting materinya lengkap dan menarik. Saya merasa mudah mempertemukan antara selera saya dengan kebutuhan desain yang diminta. Makanya saya merasa itu passion saya.