EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata hukum berarti peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, undang-undang dan peraturan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan (kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa yang tertentu, keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim.Â
Hukum Islam baik dalam pengertian syariahmaupun dalam pengertian fikih, dapat dibagi dua, yaitu: (1) ibadah dan (2) muamalah. Ibadah adalah tata cara manusia berhubungan langsung dengan tuhan, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Tata hubungan itu tetap, tidak mungkin dan tidak boleh diubah-ubah. Ketentuannya telah pasti diatur oleh Allah swt sendiri dan dijelaskan secara rinci oleh Rasulnya. Dalam soal ibadah berlaku asas umum yakni semua perbuatan ibadah dilarang dilakukan kecuali perbuatan-perbuatan denga tegas disuruh untuk dilakukan.
ISLAM DALAM SISTEM PENCATATAN PERKAWINAN
Sebelum RUU Perkawinan Tahun 1973 dibahas di DPRRI, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, berlaku bagi umat Islam, yang diumumkan pada tanggal 21 Nopember 1946, dan ditetapkan di Linggarjati pada tanggal 26 Nopember 1946. Begitu pula Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang terdiri dari XIV bab dan 67 pasal, merupakan Undang-Undang yang mengatur perkawinan bagi warga Negara Republik Indonesia, yang berlaku secara nasional, baik yang beragama Islam maupun non Islam.
Dalam sistem pencatatan, tidak ada dalil secara tegas yang menjelaskan. Namun, apabila dikembangkan dan dianalisis secara mendalam, maka semua persoalan muamalah harus diketahui melalui pencatatan. Hal itu ditegaskan dalam surah al-Baqarah (02) ayat 282. Perintah pencatatan pada ayat tersebut mengenai muamalah, tidak menjelaskan secara secara rinci mengenai pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pihak KUA sekarang ini, hanya pada dasarnya apa yang telah dibicarakan dalam Q.S. al-Baqarah/2: 282 tersebut tidak secara tekstual menyangkut pencatatan perkawinan, akan tetapi jika dikaitkan dengan tujuan pencatatan pada suatu transaksi muamalah, maka pencatatan dalam perkawinan memiliki pertimbangan yang sama, yaitu kemaslahatan, ini suatu upaya yang dilakukan untuk melindungi martabat dan kesuciah perkawinan. Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil, karena berkaitan erat dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang menyangkut dengan anak (keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta.Tujuan utama pencatatan perkawinan adalah demi mewujudkan ketertiban administrasi perkawinan dalam masyarakat di samping untuk menjamin tegaknya hak dan kewajiban suami istri.Â
KONSEKUENSI HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK TERCATAT
Pencatatan terhadap suatu perkawinan merupakan hal yang sangat penting. Walaupun bersifat administratif, tetapi pencatatan mempunyai pengaruh besar secara yuridis tentang pengakuan hukum terhadap keberadaan perkawinan tersebut. Dengan adanya pencatatan terhadap perkawinan tersebut yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan (PPN), kemudian diterbitkan Buku Kutipan Akta Nikah, maka telah ada bukti otentik tentang telah dilangsungkannya suatu perkawinan yang sah, yang diakui secara agama dan diakui pula secara yuridis. Dampak hukum dan dampak lainnya dari perkawinan yang dilakukan di bawah tangan atau perkawinan yang tidak dicatatkan:
Terhalang mendapatkan harta kekayaan
Status hukum seseorang tidak jelas
Kemaslahatan Ummah Terganggu