Pandemi COVID-19 juga memiliki dampak tidak langsung, yaitu potensi penurunan kualitas generasi yang akan datang (McKibbin & Fernando, 2020). Keluarga berpenghasilan rendah dengan tingkat pendidikan rendah relatif mengalami dampak yang lebih buruk dibandingkan keluarga berpenghasilan tinggi dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini karena layanan pendidikan selama masa pandemi terbilang sangat terbatas, apalagi bagi keluarga miskin. Selain pendidikan, keluarga dengan tingkat ekonomi rendah juga cenderung tidak mampu mengakses layanan kesehatan (Aeni:29, 2021). Kondisi tersebut memicu penurunan pada kualitas hidup masyarakat dan nantinya berdampak terhadap kualitas generasi mendatang.
Di bidang ekonomi, dampak pandemi Covid 19 adalah turunnya PMI Manufacturing Indonesia mencapai 45,3% pada Maret 2020, penurunan impor sebesar 3,7% pada triwulan I, dam terjadinya inflasi yang telah mencapai pada angka 2,96% year-on-year(yoy) yang telah disumbangkan dari harga emas dan komoditas pangan pada maret 2020 (Yamali, 2020). Mekanisme pasar juga turut terdampak, seperti penurunan ketersediaan dan permintaan akan barang dan jasa. Dalam hal ini, masyarakat yang paling rentan terkena dampaknya adalah masyarakat dengan pendapatan yang dihasilkan dari pendapatan harian (Iskandar et al, 2020).
Kesenjangan Sosial Akibat Covid 19
      Pandemi Covid 19 juga menciptakan salah satu permasalahan yang cukup berpengaruh pada pembangunan sosial di negeri ini, yaitu kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial adalah ketidakseimbangan, perbedaan, dan juga jurang pemisah yang hadir di dalam tatanan masyarakat.(KBBI, 2021). Adanya pandemi Covid 19 menambah beban perekonomian negara khususnya rakyat kecil karena segala aktivitas sangat dibatasi sudah hampir dua tahun belakangan ini (Irawan: 251, 2022). Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan orang kaya di Indonesia yang justru jumlah kekayaannya melonjak hingga 50 persen selama pandemi Covid 19, seperti bos Djarum Budi Hartono dan Michael Hartono, Prajogo Pangestu, Sri Prakash Lohia, Chairul Tanjung, dan sebagainya (Forbes, 2021). Dari sanalah terlihat jelas bahwa pandemi Covid 19 menyebabkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin menjadi sengsara.
      Kesenjangan sosial akibat pandemi Covid 19 ini bukan hanya terlihat dari segi pendapatan, akan tetapi juga terlihat dari segi pendidikan, kesehatan, bahkan hiburan. Dari segi pendidikan, digitalisasi pada sistem pembelajaran membuat kesenjangan sosial semakin terlihat karena adanya sistem belajar mengajar secara daring. Dalam hal ini terlihat bahwa anak sekolah dari keluarga miskin menjadi kesulitan untuk menuntut ilmu karena tidak memiliki perangkat yang mumpuni, dan pada akhirnya hal ini juga menyebabkan peningkatan angka putus sekolah. Kemudian dari segi kesehatan, kesenjangan sosial dapat terlihat dari tidak meratanya jumlah tenaga medis dan fasilitas kesehatan di setiap rumah sakit. Hal ini menyebabkan tingginya angka kematian bagi tenaga medis di Indonesia akibat Covid 19. Dan yang terakhir dari segi hiburan , kesenjangan sosial terlihat jelas di mana orang kaya bisa bebas pergi berwisata ke berbagai daerah bahkan negara dengan bebas karena mereka mampu untuk membayar swab PCR sebagai syarat bepergian, Sedangkan, yang miskin hanya bisa berdiam diri di rumah karena tidak memiliki modal untuk bepergian ke tempat wisata, apalagi tempat-tempat wisata murah di sekitar mereka pun banyak yang tutup sehingga mereka tidak punya pilihan hiburan lain.
      Kesenjangan sosial akibat pandemi Covid 19 ini bukan hanya disebabkan oleh kebijakan yang dibuat pemerintah, melainkan juga karena ketidaksiapan menerima perubahan, pengaruh globalisasi, bahkan ketidakmerataan pembangunan juga turut memperparah kesenjangan sosial. Oleh sebab itu, untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan sosial akibat pandemi Covid 19 ini, maka diperlukan suatu kebijakan yang dapat bermanfaat di masa kini hingga masa yang akan datang. Atau dengan kata lain, diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.
Penyelesaian Menggunakan Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan
      International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (1980) dalam World Conservation Strategy mendefinisikan untuk menjadi sebuah pembangunan berkelanjutan, pelaksanaan pembangunan harus mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial maupun ekonomi yang berbasis pada sumberdaya kehidupan dan mempertimbangkan keuntungan ataupun kerugian jangka panjang maupun jangka pendek dari sebuah tindakan alternatif. Pandemi Covid 19 ini sudah jelas sangat mengganggu agenda pembangunan di Indonesia. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara yang tergabung dalam SDGs yang merupakan program pembangunan berkelanjutan yang di dalamnya terdapat tujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial. Namun, karena adanya pandemi, kesenjangan sosial justru menjadi lebih parah dan mempengaruhi jalannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang dicanangkan oleh pemerintah.
      Sebagai upaya menyelesaikan kesenjangan sosial akibat Covid 19, maka diperlukan strategi baru yang lebih efektif dan efisien agar TPB juga dapat terlaksana. Strategi yang diperlukan seperti inovasi yang bersifat holistic-tematik, integratif dan spasial, dan perencanaan serta penganggaran yang tepat agar dapat menjamin keberlanjutan hingga masa mendatang. Selain itu, sejalan dengan SDGs, untuk mengatasi kesenjangan sosial juga dibutuhkan kerangka pembangunan baru yang berkaitan dengan situasi perubahan dunia (termasuk bencana non alam seperti pandemi), perlindungan sosial, perubahan iklim, dan keamanan sumber energi serta makanan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin. Dan langkah yang paling penting dalam pelaksanaan program pembangunan berkelanjutan adalah dengan kolaborasi dan menjalin kemitraan antara pemerintah dengan berbagai pihak, seperti NGO atau pihak swasta lainnya.
      Inovasi berbasis pembangunan berkelanjutan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kesenjangan sosial akibat Covid 19 adalah sebagai berikut:
- Melakukan pembangunan yang kolaboratif dan partisipatif
Tercapainya SDGs dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial dapat dilakukan dengan kolaborasi antar pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakatnya. Pendekatan kolaborasi model pentahelix dapat dipakai dengan efektif untuk menangani dampak sosial COVID-19 (Mulkhan, 2021). Model ini melibatkan lima pilar pemangku kepentingan yaitu pemerintah, akademisi, perusahaan swasta, masyarakat, dan media massa. Dengan pembangunan yang kolaboratif dan menjalin kemitraan dengan banyak pihak, maka diharapkan akan menghasilkan suatu kebijakan yang dapat mencakup berbagai sektor. Selain itu, partisipasi masyarakat juga sangat diperlukan dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Adanya partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dinilai dapat membantu jalannya pembangunan, sebab pembangunan yang partisipatif membuka peluang untuk perspektif masyarakat itu sendiri.
- Memberikan pelatihan dan pemberdayaan kepada masyarakat yang kehilangan pekerjaannya