PENDAHULUAN
Al-Qur'an sebagai sumber rujukan utama menempati posisi sentral bagi seluruh disiplin ilmu agama Islam. Kitab suci ini diturunkan dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun lamanya dan menjadi Al-Huda (petunjuk), Al-Bayyinat (penjelas) serta menjadi Al-Furqan (pemisah antara yang haq dan yang bathil). Adanya pengumpulan dan penyusunan Al-Qur'an dalam bentuk seperti masa kini, tidak terjadi dalam satu masa, akan tetapi berlangsung beberapa tahun atas upaya beberapa orang dan berbagai kelompok (Muhammad Imam Asy Syakir & Sandi Pujiansyah, 2006). Cara paling sempurna dalam menjaga Al-Qur'an pada masa Nabi dan sahabat adalah dengan hafalan. Selain dikarenakan masih banyak sahabat yang buta huruf, hafalan orang Arab juga terkenal sangat kuat.
Pemeliharaan Al-Qur'an pada masa Nabi dan sahabat berkembang dengan adanya pencatatan ayat Al-Qur'an yang masih tergolong sangat tradisional, dikarenkan belum tersedianya alat pendukung yang handal. Bahkan, dinilai dari segi teknis alat-alat tulis yang digunakan dalam pencatatan Al-Qur'an pada masa tersebut masih sangat sederhana dan rawan terhadap kerusakan. Tempat menulis tersebut dapat berasal dari pelepah kurma dan tulang-belulang yang gampang lapuk dan patah, tinta yang mudah luntur, dan alat tulis menulis yang masih sangat sederhana (Zainuri AS, 1976).
Seiring perjalanan waktu dalam sejarah, mulai diturunkannya Al-Qur'an hingga wafatnya Rasulullah saw sampai kepada periode Khulafa Al-Rasyidin, masing-masing periode memiliki cara dan metode yang beragam dalam memelihara dan mengumpulkan Al-Qur'an. Dari penggalan di atas, maka pembahasan ini menjadi menarik untuk dikaji, khususnya dalam segi pembahasan aspek Sejarah proses pengumpulan Al-Qur'an pada masa Rasulullah SAW hingga pada masa sahabat.
PEMBAHASAN
- Pengertian Jam'ul Qur'an
  Pengertian Al-Jam'u secara etimologi berasal dari kata dasar - yang memuat arti "mengumpulkan". Kata jam'u juga memuat arti lain "menggabungkan suatu bagian ke bagian yang lain" (damma ba'duh ila ba'dih). Sedangkan, Al-Qur'an secara etimologi merupakan bentuk masdar 'qaraa' dan secara terminologi dipahami sebagai kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW, melalui perantara Jibril, disampaikan secara mutawatir dan sebagai ibadah bagi seseorang yang membacanya (Muhammad, 2020)
  Adapun definisi Jam'ul Qur'an secara terminologi mempunyai berbagai perbedaan  pendapat yang dikemukakan oleh para ulama. Menurut Az-Zarqani, pengertian Jam'ul Qur'an mempunyai dua pemahaman: pertama, memuat makna menghafal Al-Qur'an dalam hati manusia. Kedua, menuliskan huruf demi huruf ayat Al-Qur'an yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagian besar literatur yang membahas Ulumul Qur'an menggunakan istilah Jam'ul Qur'an untuk merujuk pada arti pengkodifikasian Al-Qur'an.
Istilah pengumpulan Al-Quran mempunyai dua pengertian yang merujuk pada kandungan makna jam'u  Al-Quran (pengumpulan Al-Quran), diantaranya: kata pengumpulan dalam arti penghafalannya di dalam dada atau hati, sehingga orang-orang yang hafal Al-Quran dapat disebut disebut jumma'u Al-Quran atau huffadz Al-Quran. Adapun kata pengumpulan dalam arti penulisannya, yakni perhimpunan seluruh Al-Quran dalam bentuk tulisan, yang memisahkan masing-masing ayat serta surah, atau hanya mengatur susunan ayat Al-Quran dan mengatur susunan semua ayat dan surah dalam beberapa shahifah yang kemudian disatukan sehingga menjadi suatu koleksi yang merangkum surah-surah yang telah disusun sebelumnya.
- Jam'ul Qur'an Masa Nabi Muhammad SAW Â Wahyu Al-Qur'an yang diterima Nabi Muhammad SAW dipelihara dari kemusnahan dengan dua cara, yaitu: pertama, menyimpannya ke dalam dada manusia dengan cara menghafalkannya. Kedua, merekam ayat Al-Qur'an secara tertulis di atas berbagai bahan untuk menulis, diantaranya: pelepah kurma, tulang belulang, dan lain-lain. (Al-Qattan, t.th.) Sehingga, ketika para ulama membahas terkait jam'u Al-Qur'an masa Nabi Muhammad SAW, maka yang dimaksudkan pada ungkapan tersebut adalah pengumpulan wahyu ayat Al-Qur'an yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW melalui cara pengumpulan dalam dada (hafalan) maupun dalam bentuk tulisan, baik bersifat sebagian atau seluruhnya (Irpina et al., 2022).
- Pengumpulan Al-Qur'an dalam Dada (Hafalan) Â Dalam catatan sejarah, semula Al-Qur'an dipelihara dan dikumpulkan dalam ingatan Rasulullah SAW dan para sahabat dengan cara menghafalnya. Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang bersifat ummi (tidak bisa membaca dan menulis), sekaligus sebagai utusan bagi kaumnya yang juga ummi. Hal ini sekaligus menjadi bukti nyata atas kemukjizatan dan keautentikan Al-Qur'an. Latar belakang tradisi masyarakat Arab yang terkenal mempunyai hafalan kuat sangat memungkinkan adanya pemeliharaan Al-Qur'an yang berupa hafalan atau pemeliharaan Al-Qur'an dalam dada manusia. Keadaan mayoritas masyarakat Arab yang mempunyai hafalan kuat mereka manfaatkan untuk menulis berbagai syair, berita dan berbagai karya tulis lainnya. Dalam penerimaan suatu wahyu ayat Al-Qur'an, pengumpulan Al-Qur'an dalam hafalan tersebut diawali dengan cara Rasulullah SAW melafadzkan ayat Al-Qur'an di hadapan para sahabat, kemudian para sahabat diperintahkan untuk mengulangi dan menghafal ayat tersebut. Dalam kondisi tersebut, Nabi Muhammad SAW memegang peran utama sebagai Sayyid Al-uffaz. Para sahabat berlomba-lomba secara antusias untuk menghafal wahyu ayat Al-Qur'an yang diajarkan oleh Nabi Muhammalld SAW. Suatu riwayat telah mengindikasikan bahwa kegiatan para sahabat menghafal dan mempelajari Al-Qur'an setiap pertemuannya sebanyak lima ayat. Sedangkan, terdapat pula riwayat lain yang mengatakan bahwa para sahabat menghafal dan mempelajari Al-Qur'an sebanyak sepuluh ayat setiap pertemuannya.
-    Para sahabat berupaya untuk merenungi ayat Al-Qur'an dan melakukan implementasi terhadap setiap ajaran yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut tercermin dengan cara para sahabat meneruskan pengajaran Nabi Muhammad SAW tersebut kepada istri, anak, keluarga serta keturunan mereka. Hal ini melatarbelakangi awal mula tradisi hifdz (menghafal) hingga berlangsung pada masa sekarang. Banyak hadis telah memuat informasi tentang para sahabat yang terlibat dalam pengumpulan ayat Al-Qur'an dalam dada atau hafalan, diantaranya  Ubay bin Ka'ab (w. 642), Mu'az bin Jabal (w. 639), Zaid bin Sabit, dan Abu Zaid Al-Ansari (w. 15 H.). Selain itu, terdapat pula nama sahabat lain yang juga sering disebut dalam riwayat, diantaranya: Usman bin Affan, Tamim Al-Dar, Abdullah bin Mas'ud, Salim bin Ma'qil, Ubadah bin amit, Abu Ayyub, dan Mu'jam Al-Jariyah. Bahkan, di dalam kitab Al-Itqan disebutkan bahwa lebih dari 20 sahabat  terkenal sebagai penghafal Al-Qur'an.
- Pengumpulan Al-Qur'an dalam Bentuk Tulisan
Al-Quran merupakan kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril selama bertahun-tahun. Atas dasar hal tersebut, ini merupakan suatu keistimewaan tersendiri bagi Nabi Muhammad SAW karena terpilih menjadi utusan Ilahi untuk menyampaikan kepada umatnya. Dengan kurun waktu yang cukup lama dalam penerimaan wahyu tersebut, Allah memelihara Al-Quran dengan memudahkan Nabi membaca, menghafal dan memahaminya setelah itu Nabi membacakan dan menerangkan kepada para sahabat, beliau juga menyuruh para juru tulis untuk menuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Nabi telah berusaha semaksimal mungkin dalam menjaga keontetikan Al-Qur'an, dengan  menjaganya sebagai wirid keseharian. Walaupun kondisi Nabi ummiy (tidak bisa membaca dan menulis) dan umumnya masyarakat zaman tersebut juga tidak bisa membaca dan manulis maka mereka menghafalnya di dada dengan sungguh-sungguh dan pada waktu itu juga, jarang sekali ditemukan alat-alat tulis-menulis, sehingga mereka menjaga kehormatan Al-Qur'an dengan menghafal dan memahaminya atau jika tidak mengetahui maknanya mereka bertanya langsung kepada Nabi Muhammad SAW (Az-Zanjani, 2016)
Tidak bisa dibayangkan jika ayat-ayat yang diturunkan dengan jumlah yang sangat banyak dan dalam jangka waktu yang cukup lama dibiarkan dengan dihafal dalam dada saja. Maka, inisiatif dari para sahabat untuk menuliskan apa yang mereka hafal dari Nabi di atas pelepah kurma, papan, potongan kulit binatang, batu, dan alat tulis lain seadanya. Hal ini dilakukan tanpa adanya perintah dari Nabi, adapun beberapa sahabat yang dipilih sebagai al-kuttab atau juru tulis yaitu; Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Bbin Khattab, Utsman bin 'Affan, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Mu'awiyah, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit . Mereka menulis ayat-ayat Al-Quran ketika turun, kemudian Nabi menunjukan surat dari ayat-ayat yang disampaikan kala itu. Ketika Nabi mendikte, beliau juga memastikan dalam kepenulisan, dan sangat berhati-hati  sampai terlihat tulisannya atas apa yang telah dihafalkan, sehingga masih terjaga keotentikan dari Al-Qur'an tersebut (Shabuni, 1981).
Sekitar kurang lebih enam puluh lima sahabat ditugaskan oleh Nabi
Muhammad saw bertindak sebagai penulis wahyu (al-wahyu al-jaliyy). Mereka adalah Abdullah bin al Arqam, Abban bin Sa'id, Abu Umama, Abu Ayyub al Anshary, Abu Bakar as Sidiq, Abu Hudzaifah, Abu Sufyan, Abu Salamah, Abu Abbas, Ubayy bin Ka'ab Usaid bin al Hudair, Aus, Buraida, Bashir, Tsabit bin Qais, Sa'ad bin Rabi' Hudzaifah, Husain Ja'far bin Abi Thalib, Jahm bin Sa'ad, Suhaim, Hatib, Hanzalah, Huwaiti, Khalid bin Sa'id, Khalid bin Walid, az Zubair bin al Awwam, Zubair bin Arqam, Zaid bin Tsabit, , Sa'ad bin Ubada, Sa'id bin Sa'id, Shurahbil bin Hasna, Thalhah, Amir bin Fuhaira, Abbas, Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin Zaid, Abdullah bin Sa'ad, Abdullah bin Abdullah, Abdullah bin Amr, Uqbah al A'la bin Uqbah, Mundhir, Muhajir, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Amr bin al Ash, Muhammad bin Maslamah, Mu'adz bin Jabal, Mu'awiyyah, Mu'aqib bin Mughirah, Yazid bin Abi Sufyan, dan Ma'an bin 'Adi.
Dari banyaknya nama-nama pencatat wahyu atau juru tulis  (kuttab al-wahy) yang terkenal yaitu Zaid bin Tsbit. Beliau adalah seorang yang dalam periode setelah Nabi Saw. wafat terpilih sebagai orang yang dipercayai untuk mengumpulkan Al-Quran. Menurut Ibn Hajar al-'Asqalni, penyebab Zaid dalam dunia penulisan wahyu berada di atas angin dibanding yang lainnya maksudnya dikarenakan beliau termasuk orang yang paling sering menulis wahyu. Zaid sendiri baru masuk Islam setelah Nabi Saw. hijrah ke Madinah. Sebelum Zaid masuk Islam, unit-unit wahyu yang diterima Nabi Saw. di Madinah ditulis oleh Ubay bin Ka'ab. Oleh karenanya, Ubay tercatat sebagai orang yang pertama kali menulis wahyu di Madinah. Sebenarnya Zaid bin Tsbit pun tidak selalu hadir di sisi Nabi Saw. karena terkadang ia bepergian. Karena itulah wahyu di Madinah terkadang dicatat oleh orang lain. Sementara al-Khulafa al Arba'ah (Abu Bakar, Umar, Utsmn dan 'Ali), al-Zubair bin al-Awwm, Khalid bin Sa'd bin al-'Ash bin Umayyah dan saudaranya, Abban bin Sa'd bin al-'Ash bin Umayyah, Hanzhalah bin al-Rabi' alUsayyidi, Mu'aiqib bin Abi Fathimah, Abdullah bin al-Arqm al-Zuhri, Syarhabil bin Hasanah dan Abdullah bin Rawahah tercatat sebagai orang-orang yang menulis Al-Quran secara global (Suparyanto dan Rosad, 2020).
Ada pertanyaan, kenapa para sahabat yang lain mempunyai dorongan untuk menuliskan Al-Qur'an tanpa diperintah oleh Nabi? diantara beberapa faktor yang mendorong mereka ialah: 1) Memback-up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, 2) Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan saja para sahabat tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau Sebagian dari mereka sudah wafat, karean sahabat juga manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kelupaan. Adapun tulisan ayat-ayat tersebut akan tetap terjaga walaupun pada masa Nabi al-Qur'an tidak ditulis ditempat tertentu. Mulai sejak itu, muncul adanya tradisi penulisan AL-Qur'an di kalangan sahabat, karena praktik tradisi ini menyebabkan Nabi Muhammad SAW melarang orang-orang menulis Al-Quran dengan kertas yang sama agar tidak tercampur aduk serta kekeliruan.
Bahkan demi menjaga kemurnian Al-Quran agar tidak bercampur dengan syair arab, hadist atau lainya, Nabi SAW melarang para sahabat menulis sesuatu selain AL-Quran. Larangan tersebut berbunyi:
Diceritakan dari Abu Sa'id al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda "Jangan kalian menulis (selain Al-Qur'an) dariku. Barang siapa yang menulis dariku selain Al-Qur'an hendaknya ia menghapusnya" (HR Muslim). Menurut Imam An-Nawawi, larangan ini berlaku ketika dikhawatirkan tulisan yang bukan Al-Quran tercampur menjadi satu dengan Al-Quran, sehingga seseorang tidak bisa membedakan mana yang Al-Quran dan mana yang bukan. Sedangkan jika tidak ada kekhawatiran tersebut maka diperbolehkan. Lebih tegas lagi, Imam Ibn Hajar al-'Asqalani menandaskan bahwa larangan tersebut berlaku pada masa turunnya wahyu (Waqt nusul al-Quran) karena khawatir Al-Quran bercampur dengan yang lainnya. (Ahmad Mubarak, dkk. 2022). Ditambahkan lagi oleh Muhammad Talhah AlFayyad mengutip dari  Al- Hafidz as-Sakhawi mengatakan, "Larangan menulis hadits maksudnya adalah larangan menulis hadits bersama Al-Qur'an dalam halaman yang sama. Hal ini dikarenakan para sahabat mendengarkan takwil mengenai ayat yang diturunkan dan terkadang mereka menuliskan takwil tersebut bersamaan dengan penulisan ayat Al-Qur'an. Maka Rasulullah melarang para sahabat melakukan hal tersebut karena khawatir tercampur diantara penulisan Al-Qur'an dan hadits (Arifin, 2018).
Jika disimpulkan terkait hadist yang menyatakan adanya larangan penulisan Hadist itu ada beberapa sebab: 1) Khawatir adanya campur aduk antara ayat al-Qur'an, hadist, dan lainnya, 2) Larangan penulisan tersebut ketika pada halaman yang sama, 3) Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri itu berderajat mauquf 'alaih yang artinya disandarkan kepada sahabat, maka dari itu hadis ini tidak boleh digunakan sebagai dalil larangan menulis hadist, 4) Sebagian ulama mengatakan larangan menulis hadist ditunjukan kepada orang yang kuat hafalannya, sedangkan kebolehan menulis hadist ditunjukkan kepada orang yang lemaj hafalannya, 5) Larangan menulis hadis itu bersifat umum, sedangkan kebolehan dalam menulis hadis diperuntukkan kepada orang yang mempunyai keahlian, ketelitian dalam menulis. Dari sebab-sebab ini bisa dijadikan rujukan terhadap orang-orang yang hendak menulis hadist, karena larangan tersebut memiliki spesifikasi tersendiri.
Meskipun Nabi Muhammad telah mengeluarkan segala kemampuannya untuk memelihara Al-Qur'an, namun beliau tidak merangkum semua surat dalam satu jilid. Seperti apa yang dinyatakan oleh Zaid bin Tsabit "Kami menyusun Al-Qur'an di hadapan Rasulullah SAW pada kulit binatang atau riqa." Sebenarnya ayat-ayat Al-Qur'an telah ditulis semuanya pada zaman Nabi, hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun. Boleh jadi, alasan kenapa belum adanya penyusunan Al-Qur'an dalam satu jilid karena adanya satu tantangan yaitu masih adanya nasikh dan mansukh yang muncul kemudian dan banyaknya perubahan hukum mengiringi zaman, waktu dan tempat, hal ini justru sangat memerlukan penyertaan ayat-ayat yang baru serta surahnya karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat sebelum Nabi Muhammad Saw wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW berarti wahyu berakhir untuk selamanya dan tidak akan ada ayat lain, perubahan hukum, serta penyususnan ulang (Irpina et al., 2022).
Lalu bagaimana cara pengumpulan ayat-ayat dan surah-surah yang turun setelah ditulis pada beberapa lembaran-lembaran dan bagaimana Nabi mengarahkan kepada para sahabat saat itu? Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa ayat ditulis setelah dihafal dan difahami kemudian Nabi menyuruh kepada para juru tulis untuk menulisnya dihadapan Nabi. Terkait susunan ayat dalam surat, Imam as-Suyuti menjelaskan dalam kitab al-Itqan "Tidak hanya seorang saja yang telah menukil tentang persepakatan 'Ulama mengenai susunan ayat dalam surat itu tauqify". Terkait penjelasan tersebut, maka dapat difahami bahwa telah adanya persepakatan 'ulama atau ijma' terhadap susunan ayat itu tauqify dan yang menukilkan persepakatan tersebut itu bukan dari perkataan satu orang melainkan banyak orang. Adapun Imam Az-Zarkasyi menerangkan dalam kitab Al-Burhan bahwa susunan ayat-ayat dalam tiap-tiap surat serta meletakkan basmallah pada permulaan surat adalah berdasar kepada petunjuk-petunjuk Nabi tanpa ragu-ragu, dan dalam hal ini tidak ada khilaf, karena itu tidak boleh membolak-balikkan susunan ayat". Dari keterangan ini dapat diketahui bahwa susunan ayat-ayat dalam surat itu tauqify yang artinya berdasarkan tuntunan dari nabi langsung (Zainuri AS, 1976)
Jika susunan ayat-ayat dalam surat itu berasal dari Nabi atau tauqify, apakah susunan surat-surat dalam Al-Qur'an juga tauqify atau ijtihadi yang berarti berdasarkan ijtihad dan usaha para sahabat Nabi? Ada beberapa pendapat terkait hal ini, pertama, urutan surat dalam Al-Qur'an bersifat ijtihadi, pendapat ini dinisbatkan oleh jumhur ulama yang artinya mayoritas ulama menyatakan tersebut, seperti Imam malik dan al-qadhi Abu Bakar. Alasannya: Pertama, mushaf yang dimiliki para Sahabat berbeda-beda urutannya sebelum masa kepemimpinan Sayyidina Utsman radliyallahu 'anh, meskipun mereka mengurutkan surat-surat di dalamnya berdasarkan apa yang mereka dapatkan dari Nabi. Dengan dalil yaitu riwayat dari Ibnu Asytah dari jalur Ismail bin 'Abbas, dari Hibban bin Yahya, dari Abu Muhammad al-Qurasyi:
"Utsman memerintahkan para sahabat untuk mengikuti surat Sab'u at-Thiwal (tujuh surat yang panjang), kemudian Utsman menjadikan surat al-Anfal dan at-Taubah pada urutan ketujuh dengan tanpa memisahkan keduanya dengan basmalah. Kemudian Al-Qurasyi berkata:
{ }
"Aku mengatakan pada Utsman, apa yang membawamu untuk menyatukan surat al-Anfal yang mana ia tergolong surat al-Matsni dengan surat al-Bar`ah (at-Taubah) sedangkan ia dari golongan surat al-Mi`un, kemudian engkau meletakan keduanya dalam Sab'u ath-Thiwal."Â
Kemudian Sayyidina Utsman menjawab: "Pernah turun beberapa surat Al-Qur'an kepada Rasulullah, dan Beliau, apabila turun ayat kepadanya, memanggil sebagian sahabat yang menulis Al-Qur'an dan mengatakan, "Letakanlah ayat-ayat ini dalam surah yang disebutkan di dalamnya ayat ini dan itu."Â
"Dan surat al-Anfal termasuk dari surat-surat awal yang turun di Madinah, adapun at-Taubah termasuk yang terakhir turunnya. Kisah yang terdapat dalam surat al-Anfal mirip dengan yang ada di at-Taubah, maka aku mengira surat al-Anfal bagian dari at-Taubah. Hingga Rasulullah wafat, dan belum menerangkan pada kami hal tadi, karena itulah aku gabung keduanya, dan tidak aku tuliskan Basmalah di antara keduanya, serta aku letakan keduanya dalam Sab'u ath-Thiwal."
Pendapat ini memilki beberapa sanggahan, diantaranya: pertama, bahwa perbedaan yang terdapat dalam mushaf para sahabat, itu terjadi sebelum mereka mengetahui bahwa surat-surat dalam Al-Qur'an urutannya secara tauqify. Kedua, urutan surat-surat dalam al-Qur'an itu bersifat tauqify. Dengan dalil yang dipegang yaitu para sahabat bersepakat terhadap mushaf pada masa Utsman, di mana ketika itu semua mushaf yang berbeda sudah dilenyapkan agar tak terjadi fitnah di kalangan muslim. Dan terdapat hadist yang menguatkan pendapat mereka:
: " " : : .
Rasulullah bersabda pada kami, "Telah turun kepadaku hizb (bagian) Al-Qur'an, sehingga aku tidak ingin keluar sampai selesai." (Aus bin Hudzaifah) berkata, "Kami bertanya kepada para sahabat Rasulullah , 'Bagaimana kalian membagi pengelompokan Al-Qur'an?' Mereka menjawab, 'Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan hizb Al-Mufashshal yaitu dari surat Qaf sampai akhir'." (HR Ahmad)
Riwayat ini menunjukan bahwa penerbitan surat-surat dalam Al-Quran pada zaman Nabi itu berasal dari Nabi juga. Namun, terdapat sanggahan, seperti Riwayat yang mereka gunkana terkait urutan surat tidak terjadi pada semua surat, namun hanya sebagiannya saja. Ketiga, Urutan surat-surat dalam Al-Qur'an itu ada sifatnya tauqify dan ada yang ijtihadi. Seperti yang dituturkan oleh Al-Qadhi Abu Muhammad bin 'Athiyyah, "Sesungguhnya kebanyakan surat-surat dalam Al-Qur'an sudah diketahui urutannya pada masa Nabi, seperti surat Sab'u Ath-Thiwal, dan Al-Mufasshal. Adapun selainnya, urutannya kemungkinan diserahkan kepada generasi selanjutnya." Di dalam kitab Manahil al-'Irfan yang dikarang oleh Imam az-Zarqani berpendapat bahwa pendapat ketiga ini lebih utama, karena beliau melihat dari dua pendapat sebelumnya, yakni dalil yang mereka gunakan bersifat tauqify, dan sebagiannya ijtihadi. Hanya saja di sini terjadi perbedaan pendapat terkait nama saja surat-surat yang tauqify dan nama saja yang ijtihadi.
Â
KESIMPULAN
  Berdasarkan pemafaran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
- Kemurnian atau autentifikasi Al-Qur'aN tetap terjaga dengan adanya usaha pengumpulan wahyu ayat Al-Qur'an atau yang dikenal dengan sebutan jam'ul Qur'an.
- Jam'ul Qur'an merupakan proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi ayat Al-Qur'an hingga menjadi mushaf Al-Qur'an yang utuh.
- Jam'ul Qur'an terdiri dari dua cara, yaitu menyimpannya ke dalam dada manusia dengan cara menghafalkannya dan merekam ayat Al-Qur'an secara tertulis di berbagai bahan untuk menulis, diantaranya: pelepah kurma, tulang belulang, dan lain-lain.
- Pengumpulan Al-Qur'an dalam hafalan diawali dengan cara Rasulullah SAW melafadzkan ayat Al-Qur'an di hadapan para sahabat, kemudian para sahabat diperintahkan untuk mengulangi dan menghafal ayat tersebut.
- Pengumpulan Al-Qur'an dengan metode penulisan pada zaman Nabi dilatarbelakangi oleh  para sahabat yang juga tak luput dari kesalahan atau lupa dan banyak sahabat penghafal Al-Quran telah wafat.
Â
Arifin, D. Z. (2018). Pengantar Ulumul Qur'an. In Jurnal Penelitian Pendidikan Guru Sekolah Dasar (Issue August). Penerbit Duta Azhar.
Az-Zanjani, A. A. (2016). Tarikh Al-Qur'an. Hindawi, 1, 1--14.
Irpina, I., Istiqamah, I., & Anisa, N. (2022). Jam'Ul Qur'an Masa Nabi Muhammad Saw. MUSHAF JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran Dan Hadis, 2(1), 93--100. https://doi.org/10.54443/mushaf.v2i1.22
Muhammad Imam Asy Syakir, & Sandi Pujiansyah. (2006). Jam'ul Qur'an (Pengumpulan Al Qur'an). 1--12.
Muhammad, M. (2020). Analisis Sejarah Jam'u Al-Qur'an. Jurnal Al-Mubarak: Jurnal Kajian Al-Qur'an Dan Tafsir, 5(1), 1--12. https://doi.org/10.47435/al-mubarak.v5i1.293
Shabuni, M. A. (1981). At-Tibyan fi Ulum Al-Qur'an. Maktabah Al-Ghazali.
Suparyanto dan Rosad. (2020). Ulumul Qur'an Untuk Pemula. In Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta (Vol. 5, Issue 3).
Zainuri AS. (1976). Pengumpulan Al-Qur'an (Jam'ul - Qur'an) pada Masa Nabi. Al-Jamiah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H