Ada pertanyaan, kenapa para sahabat yang lain mempunyai dorongan untuk menuliskan Al-Qur'an tanpa diperintah oleh Nabi? diantara beberapa faktor yang mendorong mereka ialah: 1) Memback-up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, 2) Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan saja para sahabat tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau Sebagian dari mereka sudah wafat, karean sahabat juga manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kelupaan. Adapun tulisan ayat-ayat tersebut akan tetap terjaga walaupun pada masa Nabi al-Qur'an tidak ditulis ditempat tertentu. Mulai sejak itu, muncul adanya tradisi penulisan AL-Qur'an di kalangan sahabat, karena praktik tradisi ini menyebabkan Nabi Muhammad SAW melarang orang-orang menulis Al-Quran dengan kertas yang sama agar tidak tercampur aduk serta kekeliruan.
Bahkan demi menjaga kemurnian Al-Quran agar tidak bercampur dengan syair arab, hadist atau lainya, Nabi SAW melarang para sahabat menulis sesuatu selain AL-Quran. Larangan tersebut berbunyi:
Diceritakan dari Abu Sa'id al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda "Jangan kalian menulis (selain Al-Qur'an) dariku. Barang siapa yang menulis dariku selain Al-Qur'an hendaknya ia menghapusnya" (HR Muslim). Menurut Imam An-Nawawi, larangan ini berlaku ketika dikhawatirkan tulisan yang bukan Al-Quran tercampur menjadi satu dengan Al-Quran, sehingga seseorang tidak bisa membedakan mana yang Al-Quran dan mana yang bukan. Sedangkan jika tidak ada kekhawatiran tersebut maka diperbolehkan. Lebih tegas lagi, Imam Ibn Hajar al-'Asqalani menandaskan bahwa larangan tersebut berlaku pada masa turunnya wahyu (Waqt nusul al-Quran) karena khawatir Al-Quran bercampur dengan yang lainnya. (Ahmad Mubarak, dkk. 2022). Ditambahkan lagi oleh Muhammad Talhah AlFayyad mengutip dari  Al- Hafidz as-Sakhawi mengatakan, "Larangan menulis hadits maksudnya adalah larangan menulis hadits bersama Al-Qur'an dalam halaman yang sama. Hal ini dikarenakan para sahabat mendengarkan takwil mengenai ayat yang diturunkan dan terkadang mereka menuliskan takwil tersebut bersamaan dengan penulisan ayat Al-Qur'an. Maka Rasulullah melarang para sahabat melakukan hal tersebut karena khawatir tercampur diantara penulisan Al-Qur'an dan hadits (Arifin, 2018).
Jika disimpulkan terkait hadist yang menyatakan adanya larangan penulisan Hadist itu ada beberapa sebab: 1) Khawatir adanya campur aduk antara ayat al-Qur'an, hadist, dan lainnya, 2) Larangan penulisan tersebut ketika pada halaman yang sama, 3) Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri itu berderajat mauquf 'alaih yang artinya disandarkan kepada sahabat, maka dari itu hadis ini tidak boleh digunakan sebagai dalil larangan menulis hadist, 4) Sebagian ulama mengatakan larangan menulis hadist ditunjukan kepada orang yang kuat hafalannya, sedangkan kebolehan menulis hadist ditunjukkan kepada orang yang lemaj hafalannya, 5) Larangan menulis hadis itu bersifat umum, sedangkan kebolehan dalam menulis hadis diperuntukkan kepada orang yang mempunyai keahlian, ketelitian dalam menulis. Dari sebab-sebab ini bisa dijadikan rujukan terhadap orang-orang yang hendak menulis hadist, karena larangan tersebut memiliki spesifikasi tersendiri.
Meskipun Nabi Muhammad telah mengeluarkan segala kemampuannya untuk memelihara Al-Qur'an, namun beliau tidak merangkum semua surat dalam satu jilid. Seperti apa yang dinyatakan oleh Zaid bin Tsabit "Kami menyusun Al-Qur'an di hadapan Rasulullah SAW pada kulit binatang atau riqa." Sebenarnya ayat-ayat Al-Qur'an telah ditulis semuanya pada zaman Nabi, hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun. Boleh jadi, alasan kenapa belum adanya penyusunan Al-Qur'an dalam satu jilid karena adanya satu tantangan yaitu masih adanya nasikh dan mansukh yang muncul kemudian dan banyaknya perubahan hukum mengiringi zaman, waktu dan tempat, hal ini justru sangat memerlukan penyertaan ayat-ayat yang baru serta surahnya karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat sebelum Nabi Muhammad Saw wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW berarti wahyu berakhir untuk selamanya dan tidak akan ada ayat lain, perubahan hukum, serta penyususnan ulang (Irpina et al., 2022).
Lalu bagaimana cara pengumpulan ayat-ayat dan surah-surah yang turun setelah ditulis pada beberapa lembaran-lembaran dan bagaimana Nabi mengarahkan kepada para sahabat saat itu? Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa ayat ditulis setelah dihafal dan difahami kemudian Nabi menyuruh kepada para juru tulis untuk menulisnya dihadapan Nabi. Terkait susunan ayat dalam surat, Imam as-Suyuti menjelaskan dalam kitab al-Itqan "Tidak hanya seorang saja yang telah menukil tentang persepakatan 'Ulama mengenai susunan ayat dalam surat itu tauqify". Terkait penjelasan tersebut, maka dapat difahami bahwa telah adanya persepakatan 'ulama atau ijma' terhadap susunan ayat itu tauqify dan yang menukilkan persepakatan tersebut itu bukan dari perkataan satu orang melainkan banyak orang. Adapun Imam Az-Zarkasyi menerangkan dalam kitab Al-Burhan bahwa susunan ayat-ayat dalam tiap-tiap surat serta meletakkan basmallah pada permulaan surat adalah berdasar kepada petunjuk-petunjuk Nabi tanpa ragu-ragu, dan dalam hal ini tidak ada khilaf, karena itu tidak boleh membolak-balikkan susunan ayat". Dari keterangan ini dapat diketahui bahwa susunan ayat-ayat dalam surat itu tauqify yang artinya berdasarkan tuntunan dari nabi langsung (Zainuri AS, 1976)
Jika susunan ayat-ayat dalam surat itu berasal dari Nabi atau tauqify, apakah susunan surat-surat dalam Al-Qur'an juga tauqify atau ijtihadi yang berarti berdasarkan ijtihad dan usaha para sahabat Nabi? Ada beberapa pendapat terkait hal ini, pertama, urutan surat dalam Al-Qur'an bersifat ijtihadi, pendapat ini dinisbatkan oleh jumhur ulama yang artinya mayoritas ulama menyatakan tersebut, seperti Imam malik dan al-qadhi Abu Bakar. Alasannya: Pertama, mushaf yang dimiliki para Sahabat berbeda-beda urutannya sebelum masa kepemimpinan Sayyidina Utsman radliyallahu 'anh, meskipun mereka mengurutkan surat-surat di dalamnya berdasarkan apa yang mereka dapatkan dari Nabi. Dengan dalil yaitu riwayat dari Ibnu Asytah dari jalur Ismail bin 'Abbas, dari Hibban bin Yahya, dari Abu Muhammad al-Qurasyi:
"Utsman memerintahkan para sahabat untuk mengikuti surat Sab'u at-Thiwal (tujuh surat yang panjang), kemudian Utsman menjadikan surat al-Anfal dan at-Taubah pada urutan ketujuh dengan tanpa memisahkan keduanya dengan basmalah. Kemudian Al-Qurasyi berkata:
{ }
"Aku mengatakan pada Utsman, apa yang membawamu untuk menyatukan surat al-Anfal yang mana ia tergolong surat al-Matsni dengan surat al-Bar`ah (at-Taubah) sedangkan ia dari golongan surat al-Mi`un, kemudian engkau meletakan keduanya dalam Sab'u ath-Thiwal."Â
Kemudian Sayyidina Utsman menjawab: "Pernah turun beberapa surat Al-Qur'an kepada Rasulullah, dan Beliau, apabila turun ayat kepadanya, memanggil sebagian sahabat yang menulis Al-Qur'an dan mengatakan, "Letakanlah ayat-ayat ini dalam surah yang disebutkan di dalamnya ayat ini dan itu."Â