Mohon tunggu...
Meliana Chasanah
Meliana Chasanah Mohon Tunggu... Penulis - Islamic Writer

Far Eastern Muslimah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konflik Rusia-Ukraina Mempengaruhi Krisis Pangan di Indonesia

9 Maret 2022   09:00 Diperbarui: 9 Maret 2022   09:09 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pict: isubogor.pikiran-rakyat.com

Oleh : Meliana Chasanah

Krisis Rusia-Ukraina yang memanas belakangan ini membuat negara-negara di dunia khawatir. Bukan hanya karena memicu terjadinya Perang Dunia Ketiga, tetapi juga distribusi ekspor gandum Ukraina akan terhambat. Pasalnya, Ukraina dan Rusia adalah salah satu negara pemasok gandum terbesar di dunia. Jika kedua negara tersebut terus dilanda perang maka hal itu akan memicu krisis pangan di negara-negara yang bergantung pada impor gandum. Salah satunya adalah Indonesia.

Krisis yang melanda Rusia-Ukraina menyebabkan harga gandum naik ke rekor tertinggi dalam 9 tahun. Mengutip situs tradingeconomics.com, harga gandum internasional 9,26 dollar AS per gantang di perdagangan Kamis (24/2/2022) kemarin.

Dalam waktu sebulan, harga gandum juga sudah naik 24%. Kenaikan harga gandum disebabkan cuaca buruk di negara produsen gandum utama lainnya sehingga pasokan gandum akan makin terbatas. (kompas.com, 25/2/2022)

Indonesia adalah negara importir gandum terbesar di dunia, mengungguli Turki dan Mesir. Memanasnya hubungan Rusia-Ukraina sangat berpengaruh pada pasokan gandum Indonesia. Sebab, Ukraina adalah pemasok gandum terbesar kedua untuk Indonesia.

Gandum merupakan bahan baku terigu dan produk mi instan. Jika pasokan gandum Indonesia tersendat, hal itu akan memicu kelangkaan yang berujung pada kenaikan harga gandum. Imbasnya, harga komoditas pangan yang berbahan dasar gandum juga akan turut naik.

Mengutip katadata.co.id (25/2/2022), berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor gandum dan meslin mencapai 10,74 juta ton sepanjang Januari-November 2021. Adapun nilainya mencapai US$3,3 miliar. Indonesia mengimpor gandum dari Ukraina sebanyak 2,76 juta ton (25,68%) dengan nilai US$821 juta.

Ekspor gandum Ukraina ke Indonesia mengungguli Argentina dan Kanada yang juga sebagai pemasok gandum terbesar kedua dan ketiga bagi Indonesia. Ketergantungan terhadap impor gandum inilah yang menjadikan pangan RI terancam. Stok gandum Indonesia bergantung pada situasi kedua negara, Rusia-Ukraina, yang mana keduanya merupakan negara pemasok gandum terbesar di Indonesia.

Pada 2021, Indonesia mengimpor sekitar 11,48 juta ton gandum. Pasokan tersebut  berasal dari Australia, Ukraina, Kanada, Argentina, Amerika Serikat, India, Brasil, dan Bulgaria.

Senasib dengan gandum, harga kedelai impor yang terus merangkak naik menjadi sebab harga tahu dan tempe mengalami kenaikan. Alasan naiknya harga kedelai impor juga dipicu oleh kondisi negara pemasok mengalami gagal panen karena cuaca memburuk. Fakta ini membuktikan bahwa kondisi pangan Indonesia benar-benar bergantung pada situasi di negara pengekspor.

Betapa mirisnya jika kita mengingat potensi kekayaan alam Indonesia yang begitu membentang. Sebagai negara yang dikelilingi banyak gunung aktif, karakter tanah di Indonesia sangat subur. Namun, alasan kondisi cuaca dan iklim di Indonesia ditengarai menjadi faktor penghalang bagi tumbuhnya gandum di negeri ini. Dengan alasan inilah, impor gandum dinilai sebagai kebijakan paling logis dan realistis untuk memenuhi kebutuhan gandum dalam negeri, utamanya industri.

Impor pangan memang isu sensitif karena berkaitan dengan bahan makanan pokok. Gandum, jagung, beras, kedelai, dan sejenisnya adalah komoditas pangan yang paling banyak diperdagangkan di dunia serta memiliki nilai yang sangat strategis.

Mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger pernah melontarkan idenya yang terkenal perihal pangan sebagai alat strategis bagi keamanan nasional AS, yaitu, "Siapa mengontrol suplai pangan berarti mengontrol suatu bangsa."

Pengelolaan pangan adalah indikator dasar untuk mengukur kemampuan dasar penguasa dalam mengelola perekonomian dan kebutuhan dasar warganya. Tidak ayal, isu kemandirian dan swasembada pangan selalu menjadi topik yang menarik. Sebab, ketika negara tidak mampu berdikari dalam persoalan pangan maka nasibnya akan terkatung-terkatung. Negara bergantung impor, APBN tekor, ekonomi rakyat makin ndlosor.

Ketergantungan terhadap impor pangan yang masif akan berisiko bagi masa depan pangan Indonesia. Peningkatan harga pangan akan berdampak pada turunnya daya beli masyarakat. Ketika daya beli masyarakat turun, kemiskinan, kelaparan, hingga stunting akan membayangi Indonesia.

Mungkinkah Indonesia bisa bebas impor? Mungkin saja. Asalkan negara benar-benar memiliki political will terhadap swasembada pangan. Mau sampai kapan hidup kita harus bergantung pada pangan negara lain? Kemandirian pangan mestinya menjadi agenda prioritas pemerintah dalam melakukan swasembada pangan. Bukan malah jor-joran dengan proyek IKN yang mubazir.

Jurus andalan pemerintah dalam menstabilkan harga pangan selalu mengandalkan impor. Alhasil, cara instan ini membuat Indonesia tidak bisa mandiri pangan. Swasembada pangan ibarat  pepesan kosong yang tidak bermakna. Sebab, negara belum ada kemauan untuk bersusah payah dalam mengurus rakyat negeri ini. Inilah pentingnya mengubah paradigma pengurusan rakyat.

Kapitalisme memandang pengelolaan pangan dan pertanian hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, bukan jaminan pemenuhan pangan. Akibatnya, ukuran keberhasilan pembangunan pertanian  menggunakan standar pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB saja, tidak memperhatikan bagaimana pemenuhan pangan per individu.

Menurut pengamat kebijakan publik, Emilda Tanjung, tata kelola pertanian dan pangan kita telah salah arah. Ia mengatakan peran negara sebatas regulator dan fasilitator. Meski produksi pangan berlimpah dan berkonstribusi pada peningkatan PDB, menurut Emilda, hal itu tidak ada korelasinya dengan perbaikan pemenuhan pangan rskyat sebagai kebutuhan yang asasi.

Oleh karenanya, perlu ada perubahan menyeluruh dengan mengganti konsep kapitalisme yang menjadikan negara gagal mewujudkan kemandirian pangan.

Ketahanan pangan adalah salah satu pilar ketahanan negara. Ketahanan pangan hanya bisa terwujud jika negara mandiri dalam memenuhi pangan dalam negeri. Dalam Islam, kemandirian dan ketahanan pangan adalah hal mutlak yang harus diwujudkan. Oleh karena itu, negara akan melakukan berbagai upaya agar pangan dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan pokok rakyat.

Berkaitan dengan pangan pasti bersinggungan dengan lahan dan tanah pertanian yang akan ditanami bahan pangan. Negara Khilafah akan mengatur dan mengelolanya agar sektor pertanian dapat memenuhi pangan rakyat.

Di antara upaya tersebut ialah pertama, mengatur dan mengklasifikasi status kepemilikan tanah, yaitu tanah milik individu, seperti lahan pertanian; tanah yang menjadi milik umum yang mengandung harta milik umum, seperti hutan; tanah tambang dengan jumlah yang sangat besar; tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum, seperti jalan, rel kereta, dan tanah milik negara, di antaranya tanah yang tidak memiliki pemilik (tanah mati); tanah yang ditelantarkan; tanah di sekitar fasilitas umum; dll.

Kedua, melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati. Intensifikasi dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, pupuk, dan alat-alat pertanian dengan teknologi mutakhir.

Ketiga, memetakan lahan-lahan baru yang cocok ditanami gandum dan bahan pangan lain. Negara membangun infrastruktur yang mendukung sektor pertanian berkembang pesat.

Keempat, lahan yang sudah telanjur dialihfungsikan dikembalikan sebagaimana fungsinya semula, jika infrastruktur yang dibangun tidak terlalu dibutuhkan masyarakat.

Itulah beberapa langkah yang akan dilakukan negara Khilafah mengenai kemandirian pangan. Dengan paradigma riayah suunil umat, negara bertanggung jawab penuh mulai dari proses produksi, konsumsi, dan distribusi.

Dengan kebijakan yang tersistematis, sangat kecil kemungkinan bagi Khilafah menggantungkan diri pada impor, terlebih untuk pangan yang menjadi kebutuhan pokok bagi rakyat. Masa Khilafah adalah masa kejayaan penerapan sistem ketahanan pangan.

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, beliau melakukan inovasi pengairan area perkebunan. Kala itu, daerah rawa di kawasan delta Sungai Eufrat dan Tigris dikeringkan dan disulap menjadi lahan pertanian demi memenuhi pasokan pangan. Begitulah Islam memberi jaminan dengan kepemimpinan amanah dan kesungguhan mengurusi urusan rakyatnya. Wallahu a'lam bishshawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun