Mohon tunggu...
Meldy Muzada Elfa
Meldy Muzada Elfa Mohon Tunggu... Dokter - Dokter dengan hobi menulis

Internist, lecture, traveller, banjarese, need more n more books to read... Penikmat daging kambing...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dokter Tahu Matinya Kapan?

14 Mei 2016   21:32 Diperbarui: 14 Mei 2016   23:18 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya sependapat dengan teman sejawat saya, jika melihat semua hasil pemeriksaan yang ada, Anda didiagnosa kanker paru," ucapku dengan sedikit berhati-hati menjaga intonasi kata.

Terlihat perubahan raut muka bu Dian, dari yang awalnya harap-harap cemas menjadi kecewa. 

"Dan... memang benar sudah stadium 4?" lanjutnya lagi sambil berusaha terlihat lebih tegar.

Sambil sedikit mengambil nafas panjang dan kembali mencoba mengatur kata, saya menjawab, "dari hasil ultrasonografi perut menunjukkan adanya penyebaran ke organ hati. Ketika kanker dari suatu organ dalam hal ini paru ibu menunjukkan penyebaran ke organ lain, maka stadiumnya adalah 4."

---------------------------

Ibu Dian Savitri adalah seorang wanita karir berusia 40 tahun yang sedang berada di puncak karir sebagai salah satu direksi dari perusahaan obat dari penanaman modal asing  (PMA) ternama di Indonesia. Sebagai seorang direktur pemasaran, perjalanan Jakarta-Paris adalah hal yang biasa ditambah berbagai kesibukan meeting yang menyebabkan dia lupa menjaga kesehatan diri. Karena kesibukannya tersebut jugalah menyebabkan dia sampai berumur 40 tahun masih berstatus singel. Pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan teman lelaki, tetapi beberapa kali pula hubungan tersebut kandas karena alasan kesibukan yang menuntut mobilitas yang tinggi. 

Gejala lokal karena kanker paru sebenarnya sudah dirasakan sejak 6 bulan yang lalu, dimulai dengan batuk-batuk ringan yang disangka hanya infeksi paru biasa dan memutuskan hanya membeli obat bebas sendiri. Namun dalam 3 bulan terakhir batuk tidak kunjung sembuh, terdapat beberapa kali batuk berdarah yang kadang disertai nyeri di dada kanan, akhirnya dia memutuskan medical check up ke dokter spesialis paru di salah satu RS Swasta ternama di Jakarta.

Pada awal pemeriksaan rontgen dada dan dilanjutkan pemeriksaan multislice computed tomography (MSCT) paru 3 bulan yang lalu, spesialis paru menyatakan bahwa terdapat gambaran homogen di paru kanan berdiameter kurang lebih 4 cm curiga tumor paru, sehingga disarankan untuk dilakukan pengambilan sampel dari tumor tersebut dengan menggunakan jarum halus yang ditusukkan melalui dinding dada dengan bantuan ultrasonography (USG) dinding dada yang nantinya sampel tersebut diperiksa secara mikroskopik oleh dokter ahli patologi anatomi untuk menunjukkan jenis tumor tersebut. Sebagai seorang wanita karir dengan tingkat edukasi yang baik, ibu Dian dapat mengerti dan mengikuti semua prosedur yang telah direncanakan.

Hari yang ditunggupun datang, 2 hari setelah tindakan tersebut telah keluar hasilnya. Di kesimpulan pemeriksaan tertulis "sel menunjukkan proses keratinisasi dan pembentukan 'bridge' intraseluler sesuai dengan gambaran karsinoma sel skuamosa". Ya... Bacaan hasil laboratorium patologi anatomi tersebut memberikan arti bahwa tumor tersebut adalah ganas.

"Jadi tumor tersebut termasuk kategori ganas? Artinya saya kanker paru? Kok bisa dengan usia saya masih 40 tahun sudah menderita kanker paru?" ucap bu Dian sedikit berteriak dan terkesan marah dengan penjelasan yang diberikan oleh dokter spesialis paru tersebut.

Dokter tersebut tidak segera menjawab, setelah mengambil jeda waktu beberapa menit, menunggu bu Dian menjadi lebih tenang, dia berucap "saya ikut prihatin dengan hasil pemeriksaan ini, tapi kita tetap harus berusaha yang terbaik untuk kesembuhan ibu. Langkah selanjutnya adalah menentukan modalitas terapi untuk ibu, tetapi terapi yang diberikan tergantung staging atau stadium yang ada. Untuk melihat apakah kemungkinan terjadi penyebaran ke organ lain, maka kami sarankan dilakukan pemeriksaan USG perut dan rontgen seluruh tubuh untuk melihat kemungkinan penyebaran ke tulang."

Dengan harapan sembuh yang masih tinggi akhirnya bu Dian mengikuti semua prosedur diagnostik yang telah ditetapkan, harapannya bahwa semakin cepat tegak diagnosa, maka makin cepat pula tindakan pengobatan sehingga kesempatan sembuh menjadi lebih besar. Dari hasil pemeriksaan lanjutan membuktikan bahwa kanker tersebut ternyata telah menyebar ke hati yang disebut dengan metastasis, namun pemeriksaan tulang tidak didapatkan penyebaran.

Mengetahui semua hal itu, dunia terasa seperti mau berakhir. Dengan status di puncak karir dan jabatan yang tinggi, sepertinya bu Dian belum rela semua ini terjadi. Sebagai seorang dengan tingkat edukasi yang tinggi, setelah mencari info sana dan sini, mendapat masukan dari kolega kolega dan sebagainya, akhirnya dia memutuskan untuk mencari second opinion kepada dokter lain. Keputusan itulah yang akhirnya mempertemukan dia dengan saya.

---------------------------

dr. Nugroho Azis, Sp. PD KHOM adalah nama lengkapku berikut gelar yang menempel. Dokter spesialis penyakit dalam konsultan hemato-onkologi medik adalah sebutan lengkap gelar yang kurang lebih didapatkan 14 tahun mulai bangku kuliah sampai selesai gelar konsultan. Konsultan hemato-onkologi medik sendiri artinya adalah dokter penyakit dalam dengan sub-spesialis keahlian kelainan darah dan kanker.

Bekerja di salah satu rumah sakit pemerintah dan memiliki praktek klinik sendiri di malam hari dengan tugas tambahan mengajar mahasiswa kedokteran dan residen calon spesialis penyakit dalam menyebabkan aktivitas harian saya jauh dari kata bersantai. Bahkan sering kali kesempatan weekend yang seharusnya diisi dengan berkumpul bersama istri dan anak-anak tercinta dan bersilaturahmi dengan keluarga besar justru hilang karena harus menyanggupi undangan sebagai moderator atau seminar kedokteran yang sering dilakukan di luar kota bahkan di luar negeri.

Ibu Dian sendiri aku anggap sebagai pasien biasa sebagaimana pasien lainnya, karena memang setiap hari aku berhadapan dengan pasien khususnya terkait kanker atau kelainan darah. Awal pertemuan bu Dian menceritakan bahwa sebenarnya dia sudah cukup puas dengan penjelasan dan rencana terapi dari dokter spesialis paru yang ditemuinya sejak 3 bulan yang lalu. Namun dorongan hati untuk mendapatkan penjelasan atau second opinion  dari dokter lainnya yang juga ahli dalam bidang kanker mungkin akan membantu dia untuk menerima kebenaran tersebut dan mantap untuk rencana terapi yang akan dilakukan.

Berdasarkan data pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya dan ditambah dengan pemeriksaan fisik serta hasil laboratorium darah yang kutambahkan, aku menguatkan diagnosis dokter sebelumnya bahwa memang bu Dian didiagnosa kanker paru dengan penyebaran di hati. Dari pemeriksaan tersebut maka masuk ke stadium 4 dan disarankan untuk menjalani kemoterapi atau memasukkan obat yang berefek untuk membunuh sel-sel kanker di paru termasuk juga penyebarannya.

"Melihat nilai laboratorium darah ibu yang masih dalam batas normal, saya menyarankan ibu secepatnya dilakukan kemoterapi secara serial. Dan jika memungkinkan dan respon yang bagus, dapat kita lanjutkan dengan radioterapi." Ucapku pada pertemuan kedua dengannya di poliklinik. Sambil menatap wajahnya dengan sedikit nada membesarkan hati dia. 

Sebenarnya wajah bu Dian terlihat cukup cantik di usia 40 tahun, dengan make up yang minimalis, secara sekilas orang tidak akan menyangka bahwa dia menderita kanker paru stadium 4. Namun jika jeli melihat tubuhnya yang kurus dan nafasnya yang agak cepat, terlihat bahwa kanker telah mulai menggerogoti nutrisi tubuhnya dan terlihat juga dia berusaha mengendalikan sakitnya tersebut. 

"Kapan saya bisa mulai menjalani program kemoterapi serial tersebut? Saya memutuskan mengikuti program kemoterapi dari dokter" ucapnya dengan mantap.

Aku tidak segera menjawab. Dalam hati aku memuji keputusannya dan bangga bahwa dengan kapasitas jabatannya sebagai salah seorang direksi, bisa saja dia memilih berobat ke luar negeri. Namun ternyata dia percaya dengan dokter yang ada di Indonesia. Setelah berdiskusi bahwa sebelum memulai program kemoterapi, aku menjelaskan bahwa aku perlu berkomunikasi sekaligus meminta izin untuk melakukan kemoterapi kepada teman sejawat dokter paru yang pertama kali menanganinya. Mengingat kode etik dan sumpah dokter maka aku harus melakukan komunikasi ini untuk menghindari kesalahpahaman dan tidak mau dianggap mengambil pasien teman sejawat.

Alhamdulilllah dokter paru bisa mengerti dan mengizinkan aku mengelola bu Dian sebagai pasien untuk program kemoterapi.

---------------------------

3 bulan setelah dimulai program kemoterapi, bu Dian sudah menjadi seri ke 3 kemoterapi dari 6 serial yang direncakanan. Untuk kesekian kalinya hari ini aku bertemu kembali dengan untuk terus melakukan evaluasi perkembangan penyakitnya.

Ada yang berubah dari dirinya sekarang dibanding saat pertama kali bertemu. Dengan menggunakan jilbab yang panjang dan baju muslimah yang longgar sudah mulai dilakukannya 1 bulan sejak dimulai program kemoterapi. Walaupun menderita kanker, tapi wajahnya justru telihat lebih segar dan bercahaya dengan hanya menggunakan make up minimalis. Namun jika dilihat dari kondisi umum ibunya, terlihat bahwa badannya semakin kurus dengan nafas yang kadang tersengal.

Sebenarnya perusahaan memberikan hak cuti sakit dan jaminan pembiayaan sampai pengobatan sampai tuntas. Namun berdasarkan informasi dari adik laki-lakinya yang setia mengantar berobat, 1 bulan ini dia menyampaikan surat pengunduran diri kepada perusahaan dengan alasan kesehatan, dan sehari-hari dia lebih banyak di rumah bersama ibunya, mengikuti pengajian dan memperbanyak ibadah. Sungguh suatu keputusan yang sebenarnya sulit karena justru pada saat ini dia memerlukan biaya pengobatan yang tidak sedikit. 

Pertemuan di klinik hari ini adalah untuk melihat evaluasi setelah kemoterapi yang ketiga. Untuk menilai evaluasi tersebut maka dilakukan rontgen dada dan USG perut ulang agar bisa dievaluasi apakah tumor ganas tersebut terjadi pengecilan atau tidak.

"Maaf Bu Dian, jika dilihat dari rontgen dada yang sekarang dan dibandingkan dengan yang awal, tidak terdapat pengecilan tumor, bahkan terdapat sedikit cairan pada paru sebelah kanan ibu. USG perut masih terdapat gambaran penyebaran sel kanker dari paru," ujarku dengan sedikit gamang menjelaskan.

Tidak ada perubahan mimik dari wajahnya. Tampaknya dia terlihat lebih tabah dan sabar dibanding pertemuan 3 bulan yang lalu. "Jadi bagaimana selanjutnya, dok?" tanyanya dengan nafas agak tersengal.

Aku sendiri tidak menyangka, tidak ada kemajuan dari setengah perjalanan program kemoterapi yang sudah dilakukan. Jika mengacu kepada Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST), maka bu Dian justru masuk dalam kategori Progressive Disease karena bukannya berkurang, justru kanker paru menyebabkan munculnya cairan di paru yang dalam dunia medis disebut dengan efusi pleura. Dalam hal ini, program kemoterapi tidak dapat diteruskan dan harus diganti dengan obat kemoterapi lini kedua dan menjalani program dari awal lagi.

"Seperti yang sudah dibahas waktu pertemuan awal, jika program kemoterapi pertama gagal, kita beralih ke program kemoterapi lini kedua atau second line," jawabku.

"Dan seperti yang dulu dokter jelaskan juga, bahwa kemoterapi secondline hanya bersifat paliatif. Bukan terapi untuk menyembuhkan. Hanya mengurangi nyeri dan memperpanjang harapan hidup, benarkan?" Tanyanya seperti bisa membaca pikiranku tanpa harus dijelaskan ulang secara panjang lebar. 

"Lalukan saja dok, saya siap untuk kemoterapi second line. Segala usaha dan kesembuhan saya serahkan kepada Allah pemilik hidup saya."

Jleb... Ucapannya cukup menusuk hatiku. Seperti menyadarkan bahwa profesiku hanya sebagai perantara saja. Tiada daya dan upaya terjadi tanpa seizinnya. Akhirnya setelah dilakukan pemeriksaan ulang dan dinyatakan layak, bu Dian dijadwalkan untuk kemoterapi second line.

---------------------------

2 bulan berlalu.....

Pukul 4 sore menjelang persiapan pulang kerja, terdengar dering panggilan masuk dihandphoneku. Dokter residen penyakit dalam jaga unit gawat darurat (UGD) menelepon, melaporkan bahwa pasien pribadiku atas nama ibu Dian Savitri masuk UGD karena sesak nafas memberat. 

Biasanya aku hanya memberikan advice terapi per telepon kepada dokter residen jaga tersebut dan nanti akan ditengok saat visite malam hari ke paviliun. Namun mengingat bu Dian benar-benar pasien yang setia dan aku banyak mengambil hikmah hidup dari dirinya, maka sebelum pulang aku menyempatkan diri ke UGD untuk menjenguknya.

Dari hasil laporan dokter residen jaga, terdapat cairan paru yang memenuhi paru kanannya dan telah dilakukan pengeluaran cairan sebanyak 1.5 liter menggunakan jarum abbocath. Sesaknya dikatakan membaik dan kondisi umum membaik setelah dilakukan pengeluaran cairan. 

Dengan ditemani dokter residen jaga, aku mendekati bu Dian. Dengan prihatin dan berusaha berhati-hati menggunakan kata-kata, aku menyapanya.

"Dok... Alhamdulillah, tenyata Allah baik dengan saya" ucapnya begitu melihatku mendekat. Terlihat nafasnya yang tesengal-sengal, dengan tubuh yang terlihat sangat kurus walaupun tertutup oleh baju muslimahnya yang benar-benar tertutup, dia merapatkan kedua telapak tangannya di atas dada sebagai gestur memberi salam sambil berusaha tersenyum. 

Aku sedikit terkejut dan tidak memahami maksud ucapannya, tapi tidak juga ingin bertanya maksudnya karena takut salah bicara. Kadang saat menghadapi pasien dengan keganasan, apalagi dalam stadium yang terminal, seorang dokter harus pandai dalam menggunakan bahasa komunikasi.

"Terima kasih atas semua yang dokter lakukan selama ini kepada saya" tambahnya lagi. Kali ini dibantu keluarganya dia berusaha duduk dari brankar (tempat tidur perawatan) pasien. 

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Terima kasih untuk apa Bu? saya sudah berusaha yang terbaik untuk ibu... Namun hasilnya, belum ada perkembangan yang signifikan terhadap penyakit ibu" tanyaku dengan nada sedikit rendah agar tidak menyinggungnya. 

"Hmmmm.... Dokter tahu matinya kapan?"

"Maksudnya?" tanyaku lagi.

"Ternyata Allah baik dengan saya. Saya merasa Allah benar-benar menyayangi saya".

"Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk ibu," jawabku.

"Iya Dok, sebelum saya sakit, saya merasa sepertinya saya hidup selamanya dengan kesuksesan karir. Saya benar-benar melupakan akhirat. Shalat sebagai kewajiban manusia seringkali saya lalaikan, tidak menutup aurat secara sempurna, terlalaikan kewajiban terhadap orang tua, saudara dan kerabat"....

"Seiring divonis menderita kanker paru dan diharuskan menjalani program kemoterapi, saya justru menyadari bahwa usia saya sudah tidak akan lama lagi. Walaupun tetap menjalankan ikhtiar dengan pengobatan, tapi saya sudah benar-benar mempersiapkan diri agar menjadi lebih baik di sisiNya saat dijemput nanti. Allah benar-benar baik kepada saya. Allah telah memperingatkan bahwa umur saya tidak panjang lagi, sehingga saya harus benar-benar bersiap diri. Sungguh orang yang rugi jikalau nyawa saya dicabut tanpa peringatan lebih dulu." lanjutnya dia.

Aku hanya terdiam, sungguh pelajaran yang sangat mahal harganya.

---------------------------

Pukul 02.00 dini hari....

Aku terbangun saat mendengar sms masuk. Dari perawat jaga paviliun dengan isi pesan:

"Selamat malam dok, maaf mengganggu. Izin menyampaikan bahwa pasien dokter atas nama Dian Savitri telah meninggal dunia dengan disaksikan dokter jaga, perawat dan keluarga pasien. Keluarga pasien menerima dan menyampaikan ucapan terima kasih atas perawatannya selama ini"

Innalillahi wa inna ilaihi ra'jiun.....

Aku tatap wajah istriku yang terlelap. Wanita yang selalu setia melayani dan menungguku walaupun terkadang aku hiraukan karena sibuknya pekerjaan. Ingin kupeluk kedua anakku yang sedang tidur di kamarnya masing-masing, anak-anak yang seringkali terlupakan dan bahkan untuk meluangkan waktu menghadiri undangan dari tempat sekolah merekapun bisa dihitung dengan jari.

"Kapan hambaMu ini mati Ya Allah? Apakah Engkau sayang denganku dengan memberikan peringatan terlebih dulu?  Jangan jadikan hamba sebagai orang yang terlena ya Allah"

Aku kecup kening istriku... Dan aku melangkah untuk merasakan sejuknya air wudhu dan bersimpuh di hadapannya di waktu sepertiga malam.

Aku tidak harus menunggu peringatanNya... aku tidak harus menunggu sesuatu hal untuk berubah.... Allah pasti selalu menyayangi hambaNya dengan cara yang berbeda. Izinkanlah hamba untuk berubah lebih baik sejak malam ini Ya Allah.

Terima kasih bu Diah Savitri, kesabaran dan ketabahanmu merubah hidupku. Tidak ada hal yang sia-sia dalam segala kejadian di muka bumi ini. 

"Rabbana ma khalaqta hadza bathila subhaanaka faqinaa 'adzabannaar"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun