Inilah inti tulisan yang sekarang sedang hangat-hangatnya dibicarakan. Salah satu media cetak menuliskan judul yang sangat melecehkan profesi dokter dengan memberikan opini bahwa dengan naiknya iur, maka dokter menjadi senang karena pemasukan meningkat dan kesenangan ini di atas kesusahan pasien.
Benarkah hal tersebut?
Seperti yang dijelaskan di awal tulisan tadi bahwa kenaikan iur tidak ada sangkut pautnya dengan dokter. Kenaikan ini berdasarkan masalah manajemen di pemerintahan dilatar belakangi defisit anggaran oleh BPJS Kesehatan.
Sedangkan pendapatan dokter sendiri tidak berpengaruh terhadap kenaikan iur tersebut. Tarif dokter tergantung dari kapitasi ataupun peraturan pemerintah daerah jika di RSUD mengacu pada aturan Kemenkes yang ada dan hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan kenaikan iur BPJS Kesehatan.
Bahkan salah satu cara untuk mengurangi defisit yang besar maka diusahakan tarif dokter seminimal mungkin dengan mengendalikan biaya agar sesuai kebutuhan medis pasien, dengan membuat plafon tarif sehingga mau tidak mau dokter harus menyesuaikan dengan plafon tersebut.
Dokter dalam hal ini seperti menjadi kambing hitam terhadap kebijakan yang dilakukan pihak lain. Mungkin juga bisa dikatakan sebagai bemper terdepan yang harus siap menjadi tertuduh ketika terjadi kebijakan yang dirasa tidak populer oleh masyarakat. Memang hal tersebut bisa dimengerti, karena masyarakat tahunya jika ada masalah berkaitan dengan kesehatan, maka yang terlintas pertama adalah seorang dokter, apapun masalah itu.
Apakah dokter senang dengan kenaikan tersebut? Penulis sebagai salah seorang dokter dan mewakili teman-teman lainnya yang sampai sekarang bergelut untuk kesehatan pasiennya, tentunya tidak akan senang dengan kenaikan iur peserta tersebut. Bagi kami sebagai salah satu profesi kesehatan, kesehatan pasien adalah yang nomor satu. Memberikan pelayanan yang prima dan membuat pasien menjadi puas dengan pelayanan yang diberikan itulahyang menjadi kesenangan seorang dokter.Â
Bagi dokter, etika diatas segala dan kode etik kedokteran selalu dijunjung tinggi. Percayalah, ketika seorang dokter menemukan pasien dalam kondisi yang sakit ataupun gawat, bukan uang yang telintas dibenak kami, tapi bagaimana agar pasien ini menjadi sehat kembali, bisa balik lagi kepada keluarga mereka tercinta, dapat merasakan kembali nikmatnya sehat.
Penulis memang tidak memiliki ilmu jurnalistik yang mendalam, tapi sepanjang pengetahuan penulis bahwa dalam membuat tulisan terdapat suatu etika profesi kewartawanan dalam bentuk kode etik jurnalistik. Tentunya pada kode etik tersebut sudah diatur bagaimana membuat suatu berita atau tulisan yang harusnya bersifat objektif, melihat data dan fakta, bukan bersifat subjektif yang akhirnya terkesan melecehkan profesi dan sebenarnya hal tersebut tidak benar. Tetapi masyarakat yang sudah terlanjur membaca akan digiring dalam opini negatif yang akhirnya bukannya mencerdaskan masyarakat tetapi membodohi kebenaran.
Menutup tulisan ini, izinkan penulis mengutip firman Allah "Wahai orang-orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian" Al-Hujurât 49:6. Dalam Islam dikenal istilah Tabayyun yang kurang lebih maksudnya adalah mencari kejelasan suatu masalah hingga tersingkap dengan jelas kondisi yang sebenarnya.
Dalam era informasi dan komunikasi yang semakin canggih ini, arus yang masukpun tidak bisa dibendung lagi. Penulis mengajak marilah berhati-hati terhadap informasi yang beredar tanpa didasari dengan pemahaman yang mendalam. Apapun informasi itu, bijak kiranya jika kita memahaminya terlebih dahulu.