Poster garuda berlatarbelakang biru tua diatas berseliweran di sosial media akhir-akhir ini. Untuk menghindari fomo alias ikut-ikutan tapi nggak paham apa yang sebenarnya terjadi, daripada click dan scroll banyak link berikut saya merangkumnya dengan bahasa yang mudah dipahami.
Kasus Pertama
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang memutus perkara mengenai Parliamentary Threshold.
(Saya juga cantumkan link Putusan MK kalau penasaran)
https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_11003_1724130779.pdf
Saya akan menjelaskan sedikit tentang Parliamentary Threshold dengan bahasa yang mudah dipahami.
Parliamentary Threshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilu untuk dapat mengikuti penentuan perolehan kursi. Batasan ini ditetapkan untuk memastikan bahwa hanya partai-partai yang mendapatkan cukup dukungan dari pemilih yang bisa masuk ke parlemen. Ketentuan ini juga membantu menjaga stabilitas politik dan membuat pemerintahan lebih efektif dengan mengurangi jumlah partai kecil yang mungkin sulit untuk bekerja sama.
Pemohon dalam perkara ini adalah Partai Buruh dan Partai Gelora. Jadi, singkatnya pemohon menggugat ke MK untuk menurunkan batas ambang tersebut dari 20%-25% menjadi 7,5%.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan. Threshold diputuskan turun menjadi 7,5%.
Apa dampaknya? Partai-partai kecil yang tidak memiliki banyak suara akan lebih mudah untuk bergabung ke parlemen. Parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD tetap dapat mencalonkan pasangan kepala daerah.
- Catatan : MK memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.
Kasus Kedua
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang memutus perkara mengenai batas usia calon kepala daerah.
(Saya cantumkan link Putusan MK kalau penasaran)
https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_10997_1724127749.pdf
Putusan tersebut dimohonkan oleh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (A Fahrur Rozi) dan mahasiswa Podomoro University (Anthony Lee).
Pemohon menggugat perhitungan syarat usia calon kepala daerah dihitung saat dilantik menjadi kepala daerah.
Sebelumnya, penentuan usia minimal calon Kepala daerah menjadi isu krusial di Pilkada 2024. Mahkamah Agung sempat memerintahkan KPU untuk mengubah aturan penentuan usia peserta pilkada.
MA berpendapat seharusnya usia cakada ditentukan pada saat pelantikan.
MK memutuskan menolak gugatan penggugat seluruhnya.
MK menetapkan penghitungan umur cakada dihitung sejak dicalonkannya cakada.
Menurut MK, aturan dalam Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada tidak perlu ada penambahan makna apapun.
"Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota". (Pasal 7 ayat 2 huruf e)
MK menilai pasal itu sudah jelas dan terang benderang.
Ketika norma "Syarat minimal usia kepala daerah" dimaknai dengan mekanisme penghitungan "sejak pelantikan pasangan calon terpilih" menyebabkan norma a quo tidak berkepastian hukum. Hal tersebut disebabkan mekanisme penghitungan usia yang menjadi dasar sandaran penghitungan genap tidaknya usia seseorang tersebut mengandung ketidakpastian.
Aturan itu berdampak pada sejumlah dinamika politik. Salah satunya kemungkinan putra Presiden Jokowi, Kaesang, maju di pilgub pada Pilkada Serentak 2024.
Nahh.. Udah dapet?
Kasus 3
Sehari setelah Putusan MK tentang batas usia calon kepala daerah dikeluarkan, DPR mengadakan rapat yang membahas aturan ambang batas tersebut pada Rabu, 21 Agustus 2024 mulai pukul 10.00 WIB.
Anehnya, alih-alih pengesahan putusan MK menjadi Undang-Undang, DPR terindikasi justru akan menganulir putusan MK dengan mengeluarkan UU baru.
Ada dua skenario yang disebut sedang disiapkan di DPR. Pertama, rencana untuk mengembalikan aturan ambang batas Pilkada yang lama, yaitu minimal perolehan 20--25% kursi DPRD untuk pengusungan calon. Kedua, untuk memberlakukan putusan MK tersebut di Pilkada 2029.
Dan pertanyaannya,
Apakah UU baru bisa menggeser keputusan MK yang sudah ada?
Jawabannya, tidak bisa dalam negara demokrasi.
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yudisial yang terlahir sebagai anak kandung Reformasi yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Artinya, sejak putusan dibacakan oleh hakim konstitusi dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, maka putusan putusan tersebut harus dipatuhi dan mengikat semua orang, serta tidak tersedia lagi upaya hukum untuk membatalkan putusan tersebut.
Putusan MK tidak dapat dibatalkan bahkan dengan UU baru sekalipun. Bila sebuah norma hukum yang telah dinyatakan inkonstitusional mau dihidupkan kembali, caranya hanyalah dengan perubahan konstitusi, yaitu mengubah UUD 1945.
Dan itu sangat tidak mungkin dilakukan.
Hal tersebut sejalan dengan fungsi MK sebagai pengawal konstitusi: tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi. Putusan MK merupakan penafsiran dari konstitusi dalam bentuk putusan yang seharusnya secara hierarki memiliki kedudukan di atas UU.
Kesimpulannya, di negara demokrasi, DPR tidak bisa menganulir keputusan MK sekalipun dengan cara membuat UU baru.
Tapi, di negara 'yang-katanya demokrasi' pejabat-pejabatnya bisa saja membuat UU baru yang secara tiba-tiba punya kekuatan super --- yang posisinya berada paling atas hierarki hukum. Kekuasaan di negara 'yang-katanya demokrasi' dikuasai oleh beberapa orang saja.
Kekuasaan berputar di keluarga itu-itu saja.
Yang kaya orang itu-itu saja, yang miskin terima nasib saja.
Penulis : Melati (Foxeye)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H