Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Imposter Syndrome: Apa yang Dikatakan Bio Media Sosialmu?

7 Desember 2021   15:35 Diperbarui: 7 Desember 2021   16:50 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 3 jenis manusia di media sosial. Pertama, mereka yang menuliskan identitas asli. Kedua, golongan yang menulis identitas versi riasan tebal. Ketiga, para pengidap minder akut.

1. Pecinta kebenaran

Jenis pertama adalah seseorang dengan nilai kebajikan pada bio media sosialnya. Kita bisa melihat tempat kerja atau sekolahnya begitu melihat media sosialnya.

Meski kadang ada yang dilebih-lebihkan dari kategori ini. Di bio, kita bisa melihat keterangan "Pengelola dana organisasi kolektif satuan sekolah" untuk menyebut bendahara kelas.

Sepertinya saya harus check out kelas copywriting 101 agar tidak tertipu kata-kata semacam ini.

2. Penyuka keindahan

Keindahan tidak selalu selaras dengan kenyataan. Jenis kedua ini tidak begitu bersahabat dengan kenyataan, tetapi sialnya dia mengencani keindahan.

Maka persilangan itu dapat kita lihat pada salah satu kenalan yang menuliskan tipu muslihat pada bio media sosialnya. Ia yang sekolah di Volcano High School, menulis Merapi High School pada laman muka Instagram.

Mungkin banyak yang tertipu dengannya, sehingga kadang orang harus melakukan pengecekan silang guna mengetahui identitas aslinya.

3. Pengidap minder akut

Berbeda dengan orang yang memang ingin meminimalkan informasi pribadinya, orang jenis ini sebenarnya ingin menulis identitasnya, tetapi tidak merasa cukup oke dengan itu.

Padahal bisa saja ia berasal dari sekolah nomor 2 di kotanya (walaupun ada nomor 1, tetapi setidaknya dia tidak di sekolah nomor 3).

Meskipun jenis kedua menggelitik untuk dibicarakan, tetapi dari ketiga jenis tersebut, saya rasa pengidap minder akut adalah yang paling rugi karena kehilangan present value yang sebenarnya diinginkan orang lain.

Present value dan kebahagiaan

Present value dapat diartikan sebagai nilai saat ini. Entah kita mengupayakannya atau tidak, present value adalah segala yang kita nilai dan rasakan pada saat sekarang. Orang tua yang masih utuh adalah present value karena ketika mereka sudah tiada, kita tidak bisa lagi merasakan kehadirannya.

Apa yang kita rindukan dari kehilangan seseorang adalah value pada masa tersebut. Bila kita merasa tidak memaksimalkan waktu bersama mereka, maka rasa rindu itu berasal dari kita yang gagal mengenali present value sehingga tidak menilainya tinggi.

Saya yang gagal menyadari enaknya berjalan di antara pohon di depan perpustakaan kampus, menyesal karena terlambat tahu bahwa present value itu tidak akan terulang kecuali saya mendaftarkan diri ke kandang macan dengan menyeberang ke gedung sebelah, gedung pascasarjana.

Saya tidak bisa mengulang untuk mendapatkan value itu karena terlalu berbiaya. Maka satu-satunya cara bila kita kemungkinan besar tidak bisa mengulang waktu adalah menikmati present value selagi ada.

Minder akut dan imposter syndrome 

Lalu apa hubungannya dengan pengidap minder akut?

Imposter syndrome adalah sebuah keadaan di mana seseorang tidak merasa percaya diri dengan pencapaiannya. Orang dengan imposter syndrome akan menarik diri dari orang banyak karena merasa nilai dirinya kurang.

Ia mungkin akan merasa lega ketika apa yang "dijual" pada sebuah tongkrongan bukanlah apa yang membuatnya minder.

Misal, bila ia minder dengan asal sekolahnya, ia tidak akan minder bila berkumpul bersama orang dengan sekolah yang sama. Namun bila ia bertemu dengan orang luar, mungkin ia akan merasa minder karena ia takut akan dipandang rendah.

Imposter syndrome bukanlah hal yang sangat jarang terjadi. Banyak orang di dunia yang mengalaminya. Sayangnya, tidak semua orang cukup menaruh perhatian akan hal ini.

Akibatnya, banyak yang merasa tidak percaya diri pada suatu forum. Ada yang menikmati present valuenya dengan cara tidak berpartisipasi aktif dalam suatu kegiatan, mungkin juga bahwa mereka dengan imposter ini akan mengembangkan sikap superior dengan mencari bahan bully.

Bagaimana imposter syndrome bekerja 

Apa yang terjadi pada otak para imposter? Saya menduga bahwa mereka menilai present valuenya terlalu rendah dan membandingkannya dengan past value, future value atau juga bisa dengan present value orang lain.

Mereka yang menginginkan tingkat kehidupan tertentu di masa depan akan gagal menikmati betapa mulusnya kehidupannya saat ini. Kehidupan yang sama yang orang lain mungkin sangat inginkan.

Bisa juga mereka yang merasa kehilangan sesuatu di masa lalu merasa bahwa jiwanya masih berada di sana dan tidak sanggup melihat apa yang ada saat sekarang. Ketika "saat sekarang" itu habis, maka ia baru menyadari bahwa momen itu sebenarnya terlalu sayang untuk sekadar menjadi media penyesalan.

Tingkat urgensi melek-nilai ini sangat penting karena menyesal dan minder hanya akan membebankan lebih banyak "biaya" pada pengidapnya. Misal kita sudah menghabiskan banyak uang untuk masuk ke kampus A, tetapi kita tidak merasa senang untuk berada di kampus A. Kita sebenarnya sedang menghanguskan uang kita karena kehilangan banyak kesempatan dengan tidak menikmati apa yang sudah kita bayar.

Solusi untuk pengidap imposter syndrome: sebuah pertandingan

Jika melihat akar masalah berupa present value yang menuntut untuk mendapat keadilan, maka yang dapat ditawarkan adalah dengan membuat orang itu merasa dirinya cukup berkapasitas

Dengan cara apa?

Libatkan dia dalam sebuah pertandingan di mana ia ahli dalam bidang tersebut. Kita taruh sejenak kemampuan apalah itu yang membuatnya minder. Dalam hal ini, ia bisa menjadi yang teratas dengan kemampuannya sendiri.

Bila belum menemukan apa yang dia mampu lakukan dengan baik, libatkan pada pertandingan yang menguji kemampuan dasar. Semacam ujian dengan aspek uji logika, kemampuan berbahasa, matematika dasar, atau bisa juga atletik dan sejenisnya.

Jika masih belum cukup, maka saya akan bilang bahwa benar jika rasa minder itu sangat beralasan. Apabila alasannya karena tidak mengenali diri, maka solusinya adalah dengan mengenali diri.

Namun bila alasannya adalah karena benar-benar tidak ada yang bisa diandalkan (yang mana sangat mustahil, penyuka keindahan saja ahli dalam membual), maka pengembangan diri tidak pernah terlambat.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun