Dari kecil, saya tidak pernah mengenal istilah "membantah" atau dalam bahasa Jawa "maneni".Â
Sehingga saya agak terkejut ketika tahu bahwa teman sebaya saya harus diam ketika orangtua mereka memarahi mereka akan sesuatu yang sebetulnya mereka pun tidak bersalah.
Baru saya kenal istilah membantah ketika pergaulan saya makin luas dan baru juga saya tahu bahwa seorang anak tidak diharapkan memberi tanggapan apapun ketika orangtuanya mengomel sekalipun omelannya tidak berdasar.
Tentu itu sangat mengganggu. Sedari kecil saya berkesempatan mengatakan sesuatu ketika omelan orangtua saya dirasa tidak benar. Saya menyimpulkan itu dari tanggapan mereka.
Selama bertahun-tahun saya melakukan hal itu tidak sekalipun mereka menghardik saya dengan kata-kata semacam, "Jangan kurang ajar!" atau "Sudah berani menjawab ya?!" dan yang sejenis dengan itu.
Sebaliknya, mereka ganti menanggapi omongan saya yang belum tentu benar juga sebetulnya. Mereka memilih merespon secara logis apa yang saya utarakan itu.Â
Mereka memberitahu apa yang salah dengan ucapan saya. Dengan tidak mempermasalahkan kesempatan saya untuk bersuara, mereka menghargai hak saya untuk membela diri ketika saya salah (secara khusus) dan hak berbicara yang saya miliki (secara umum).
Tidak berarti saya bisa mendebat apapun yang tidak enak di kuping. Saya akan diam tiap kali saya merasa bahwa saya memang salah.Â
Hati saya harus sebesar mulut saya yang lebih siap bicara atas nama kebebasan berpendapat. Idealnya, saya akan menjelaskan mengenai perbedaan apa yang saya temukan dari pola asuh yang juga berbeda itu.Â
Namun sayangnya saya kurang yakin untuk menceritakannya. Saya tidak bisa membaca pola berdasar pengamatan saya yang sangat mungkin subjektif.
Sebetulnya saya berharap saya tidak harus menulis hal seperti ini karena masyarakat sudah tahu bagaimana cara membebaskan anak mereka bicara.Â
Namun kembali pada kenyataan, saya rasa banyak sekali kebiasaan zaman feodal yang terbawa sampai sekarang dan tidak membuka ruang diskusi bagi anak dan orangtua.
Bahkan pada beberapa kasus pun pertanyaan mengenai mengapa suatu tradisi harus dilakukan, tidak dijawab secara logis oleh orang tua.Â
Jawaban otoriter semacam, "Sudah lakukan saja" maupun "Tidak usah banyak tanya" dan tidak ketinggalan jurus pamungkas "Jangan membantah" akan dilayangkan begitu saja.
Seakan semua pertanyaan adalah sanggahan yang tidak pelak membuat otoritas mereka terluka. Padahal orangtua tidak akan tahu seliar apa otak anak yang terbiasa dibukakan kesempatan untuk bicara dari lingkup yang kecil.Â
Pertanyaan mereka mengenai apa yang ada di benak orangtuanya akan selamanya mengendap dan mengkarati pertanyaan-pertanyaan kritis lain.Â
Berimbas pada keengganan menyampaikan gagasan pada lingkungan yang lebih luas. Merasa dinamika ruang diskusi yang dipenuhi ketidaksetujuan sebagai sebuah ancaman akan kehidupan yang damai tanpa kata tidak.
Meredupkan banyak pemikiran dan mengkakukan kerangka berpikir yang mungkin akan lebih luas dengan adanya aktivitas mendengarkan pendapat orang lain yang tidak setuju dengannya.
Saya tidak tahu sebenarnya sesulit apa mendengarkan orang yang lebih muda melontarkan ketidaksetujuan kepada omongan saya.Â
Yang jelas saya terbiasa tidak melihat usia orang ketika mendengarkan ketidaksetujuan terhadap argumen saya. Secara teori, (semoga) saya akan juga membebaskan anak-anak saya kelak untuk memberitahukan apa yang membuat mereka tidak setuju.
Lagipula, apa gunanya sesi diskusi di sekolah bila akhirnya saat di rumah mereka akan dihadapkan lagi dengan orang tua otoriter yang akan mendiktekan pernyataan-pernyataan yang diharapkan akan tanpa tanggapan?
Apa gunanya kebebasan berpendapat digaungkan bila unit terkecil gagal dalam mengimplementasikan ayat utama dari peraturan perundang-undangan itu?
Konsekuensinya, saat kelak mereka pertama kali menyadari bahwa ada dunia dimana mereka bisa membicarakan apapun (bisa jadi media sosial bisa jadi lingkungan baru yang asing), mereka akan mengeluarkan sisa-sisa keresahan tidak pada tempatnya.
Siapa yang tahu bahwa orang-orang yang suka meninggalkan komentar negatif di media sosial ternyata mereka yang ketidaksetujuannya tidak pernah punya rumah?
Baiklah, anggap saja pertanyaan saya yang terakhir itu sebagai sebuah hipotesis yang perlu banyak pembuktian untuk benar-benar diakui sebagai kebenaran.Â
Namun bukankah cukup masuk akal bila kita mendapati sesuatu yang sudah membudaya dengan segala iklim yang mendukung akan memiliki output yang lebih bagus dibandingkan dengan yang tidak diakui dan tidak terurus sama sekali?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H