Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Salah dari Tuntutan Mahasiswa

9 Juli 2020   08:44 Diperbarui: 26 September 2020   20:48 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berada di penghujung tahun keempat di universitas negeri tidak lantas membuat saya acuh dengan apa yang terjadi pada kampus tercinta. Beberapa kali upaya trending di Twitter dengan tagar tidak jauh-jauh dari tuntutan Uang Kuliah Tunggal digaungkan meski tidak sekeras universitas seberang. Tapi ada beberapa hal yang membuat saya terusik dari tuntutan-tuntutan itu terutama karena beberapa waktu lalu almamater saya sempat mewarnai trending Twitter.

Pertama, isi tuntutan. Upaya pengurangan UKT tentu beralasan sekali mengingat pandemi juga tengah memengaruhi pendapatan orang tua mahasiswa. Tapi yang menjadi catatan serius adalah cara mereka menuntut. Saya mengerti bahwa tidak semua mahasiswa memahami birokrasi kampus sehingga ada yang asal teriak saja. Mencoba menembus kata trending dengan mengabaikan akal sehat. 

Biarkan saya bertanya, bila video petisi ala-ala itu dijadikan story Whatsapp, lalu siapa yang diharapkan dapat melihatnya? Rektor? Memang siapa mahasiswa yang disimpan nomor Whatsapp-nya oleh rektor atau pejabat kampus selevelnya? 

Baik, kalau argumennya agar dilihat oleh sesama mahasiswa dan dapat menyulut pergerakan, tetapi bila seluruh mahasiswa bergerak apa itu membuat perubahan? 

Jika yang dimaksud bergerak dan melawan itu hanya berusaha mengangkat ini ke media sosial, saya rasa tujuan anda tidak akan tercapai, wahai Tuan dan Puan. Eh, salah, Tuan dan Puan untuk menyebut petinggi ya?

Begini ya, jadi kita menempuh pendidikan di perguruan tinggi ini bukan sebagai individu mandiri yang dapat langsung didengarkan suaranya oleh petinggi kampus. Kita punya dewan perwakilan.  

So called dewan perwakilan itu yang akan menyampaikan so called aspirasi kita juga. Meski saya tidak terlalu terwakili sih. Mungkin juga bukan salah mereka karena saya yang apatis. Tentunya apatis menurut standar mereka.

Jadi, setahu saya yang hanya mahasiswa kupu-kupu ini, kita hanya harus menyampaikan keresahan kita ke dewan perwakilan dan mereka yang akan menyampaikan pada petinggi. 

Ini tidak saya baca dari buku manapun, tetapi kalau bukan ini tugasnya lalu apa esensinya mereka ada, bukan begitu? Merekapun sudah membuat angket pendataan. Eh, sebentar, kenapa petisinya malah berbentuk video yang tidak akan pernah dilihat petinggi dan bukannya berbentuk tulisan? 

Demi menjawab rasa penasaran itu, saya bertanya-tanya dengan salah satu anggota BEM universitas. Hasilnya adalah sebuah jawaban yang mematahkan asumsi saya terhadap hierarki kampus. Jadi, mereka membuat video petisi itu agar ramai di media sosial. Tanpa pernah bertemu terlebih dahulu dengan para petinggi. 

Jujur, kepala saya berputar dari sumbunya ketika mendengar jawaban ini. Lalu mengapa mereka teriak-teriak seakan tidak pernah didengar padahal belum sekalipun mencoba berbicara? 

Saya punya analogi bagus untuk menjelaskan betapa salahnya tindakan ini. Bayangkan kalau seorang teman melakukan sesuatu yang membuat kita tidak nyaman. Bukannya mendiamkan, kita ingin dia berubah. Lalu alternatif mana yang kiranya akan kita pilih?

  1. Teriak-teriak di media sosial tanpa lebih dulu berbicara dengan yang bersangkutan

  2. Mengirim personal chat atau bertemu untuk berbicara secara langsung

  3. Hanya me-retweet cuitan yang kelihatan nyolot di Twitter

  4. Diam dan berdoa

  5. Tidak menjawab

Jika tujuannya untuk mempermalukan yang bersangkutan, maka opsi A adalah yang terbaik. Tetapi tujuan awal kita adalah membuatnya berubah. Jadi, apakah efektif? Tentu tidak. Kecuali jika kita hanya ingin kelihatan heroik dengan segala tuntutan yang meminta hak kita kembali. 

Lalu mana opsi paling efektif? Tidak lain dan tidak bukan adalah opsi B. Tentu tidak usah dijelaskan panjang lebar bahwa itu jalan yang paling efektif. Tapi dalam kenyatannya, seringkali para mahasiswa tindakannya minus. Bahkan anak SD sekalipun akan menjawab opsi B. Ah, memang siapa saya, hanya mahasiswa kupu-kupu yang tidak tahu apa-apa.

Apalagi jika dibandingkan dengan para aktivis kampus yang seringkali ikut aksi. Eh, aku tidak tahu dengan fakultasmu, tetapi di fakultasku bahkan ketua BEM-nya tidak ikut aksi demo karena takut kepanasan. Mungkin kado terbaik saat ulang tahunnya adalah sun block. Tentu pemikiran mereka ini bersumber dari pikiran jernih yang sangat beradab.

Sebetulnya BEM-U sudah membuat petisi untuk mengakomodasi dan mendata keinginan mahasiswa, yang tentu saja mereka semua ingin agar UKT diturunkan. Hal ini sama saja dengan menanyai pembeli, mau barang yang murah atau mahal. 

Pertanyaan semi tidak berpikir. Tapi yang salah adalah, kenapa anda-anda menganjurkan seluruh mahasiswa membagikan video petisi itu terlebih dulu? 

Menurut hemat saya, teriak-teriak di media sosial pada kondisi seperti ini sah-sah saja. Dengan catatan memang sudah ada komunikasi dengan pihak terkait dan tidak mendapatkan tanggapan. Tapi nyatanya, mbelgedhes

Karena tadi ada yang pertama maka aku akan menjelaskan yang kedua. Dalam video petisi itu, ada beberapa kalimat menggelitik yang sok kritis tetapi malah cringe. Ini salah satunya

Pendidikan tidak perlu di komersialisasi tetapi pendidikan harus di edukasi. 

Aku tahu penulisannya salah, tapi aku mau menjaga orisinalitas agar kebodohannya terasa. Selain penulisannya yang salah, bagaimana ceritanya pendidkan tidak boleh dikomersialisasi? Dosen, guru, staff tidak boleh menerima upah begitu? 

Keberatan membayar UKT bisa menyebabkan seseorang kehilangan pendapatan? Cerdas sekali. Mungkin mereka pikir komersialisasi hanya sebatas pemungutan uang kuliah. Bagaimana kita bisa percaya tuntutan mahasiswa yang logikanya sedangkal ini? Jangan-jangan UKT tidak segera diturunkan karena pejabat tidak mau berinvestasi kepada Pithecanthrous Erectus ini.

Pandemi selalu terjadi tidak diketahui kapan akan terhenti

Sayangnya tidak hanya satu kalimat yang bermasalah. Kalimat kedua ini juga aneh sekali. Pandemi macam apa yang selalu terjadi? Apa para penuntut hak mahasiswa itu mengkategorikan pilek sebagai sebuah pandemi? 

Jika pembaca berpikir bahwa kalimat-kalimat ini saya ada-ada, tolong hubungi saya jika ingin bukti konkretnya.

Panjang umur perjuangan kok barbar. Ngomong-ngomong ini nggak lagi simulasi jadi DPR kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun