Saya punya analogi bagus untuk menjelaskan betapa salahnya tindakan ini. Bayangkan kalau seorang teman melakukan sesuatu yang membuat kita tidak nyaman. Bukannya mendiamkan, kita ingin dia berubah. Lalu alternatif mana yang kiranya akan kita pilih?
Teriak-teriak di media sosial tanpa lebih dulu berbicara dengan yang bersangkutan
Mengirim personal chat atau bertemu untuk berbicara secara langsung
Hanya me-retweet cuitan yang kelihatan nyolot di Twitter
Diam dan berdoa
Tidak menjawab
Jika tujuannya untuk mempermalukan yang bersangkutan, maka opsi A adalah yang terbaik. Tetapi tujuan awal kita adalah membuatnya berubah. Jadi, apakah efektif? Tentu tidak. Kecuali jika kita hanya ingin kelihatan heroik dengan segala tuntutan yang meminta hak kita kembali.Â
Lalu mana opsi paling efektif? Tidak lain dan tidak bukan adalah opsi B. Tentu tidak usah dijelaskan panjang lebar bahwa itu jalan yang paling efektif. Tapi dalam kenyatannya, seringkali para mahasiswa tindakannya minus. Bahkan anak SD sekalipun akan menjawab opsi B. Ah, memang siapa saya, hanya mahasiswa kupu-kupu yang tidak tahu apa-apa.
Apalagi jika dibandingkan dengan para aktivis kampus yang seringkali ikut aksi. Eh, aku tidak tahu dengan fakultasmu, tetapi di fakultasku bahkan ketua BEM-nya tidak ikut aksi demo karena takut kepanasan. Mungkin kado terbaik saat ulang tahunnya adalah sun block. Tentu pemikiran mereka ini bersumber dari pikiran jernih yang sangat beradab.
Sebetulnya BEM-U sudah membuat petisi untuk mengakomodasi dan mendata keinginan mahasiswa, yang tentu saja mereka semua ingin agar UKT diturunkan. Hal ini sama saja dengan menanyai pembeli, mau barang yang murah atau mahal.Â
Pertanyaan semi tidak berpikir. Tapi yang salah adalah, kenapa anda-anda menganjurkan seluruh mahasiswa membagikan video petisi itu terlebih dulu?Â