Mohon tunggu...
Melani
Melani Mohon Tunggu... Lainnya - Nothing

Still nothing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemendikbud dan Senjatanya dalam Melawan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

27 Desember 2021   02:18 Diperbarui: 27 Desember 2021   06:16 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pelecehan seksual bukanlah hal baru yang terjadi pada kehidupan, bahkan bisa terjadi kepada siapa saja tanpa memandang apakah ia perempuan atau laki-laki. 

Namun, kasus pelecehan seksual masih banyak dianggap sepele oleh sebagian orang. Pada kasus perempuan, jika ada kasus pelecehan seksual sering kali terjadi perdebatan dimana pada salah satu pihak denial terhadap korban pelecehan seksual yang terjadi seperti salah satunya adalah cenderung menuduhkan korban dengan pakaian yang terbuka. 

Selain perempuan, pada dasarnya laki-laki mengalami hal yang sama, mereka tidak terlepas dari pelecehan seksual dimanapun ia berada. 

Dilansir dari Tirto.id, pakar psikologi dari York University, Toronto, Ontario, Romeo Vitelli Ph. D. mengemukakan argumennya yang diterbitkan di Psychology Today, di ranah profesional, baik sesama pekerja maupun sesama atasan, laki-laki diharapkan untuk mempunyai tingkah dan sikap yang maskulin.

Jika ada tindakan yang melenceng dari konsep maskulinitas yang dominan, maka akan berpotensi mengundang pelecehan seksual terhadap mereka. 

Hal tersebut cukup membuktikan bahwa di dalam ranah profesional, pelecehan seksual terhadap laki-laki tidak dapat terhindarkan dan maskulinitas menjadi atribut penting dalam terjadinya hal ini. Jadi, pada dasarnya laki-laki dan perempuan sama saja dapat berpotensi mengalami pelacehan seksual dalam ranah apapun.

Meyer dalam Sri Kurnianingsih (2003) menyebutkan bahwa ada tiga aspek penting dalam apa yang dikatakan dengan pelecehan seksual yaitu terkait dengan aspek perilaku yang mencakup dua bentuk pelecehan seksual diantaranya adalah pelecehan secara verbal dan pelecehan secara fisik, aspek situasional yang menyatakan bahwa pelecehan seksual dapat dilakukan di mana saja dan dengan kondisi tertentu, dan aspek legalitas yang menyatakan bagaimana perilaku tersebut dinyatakan ilegal. 

Sesuai dengan hal tersebut, dikatakan bahwa pelecehan seksual tidak hanya terjadi secara fisik, namun bisa juga terjadi secara verbal. Verbal tersebut bisa dalam bentuk ucapan maupun secara tekstual. 

Dalam bentuk ucapan yang sering dilakukan adalah catcalling, dimana seseorang melakukan siulan, panggilan, dan komentar yang bersifat seksual saat sedang berada di jalan.

Maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam kehidupan ternyata tidak mempunyai payung hukum yang cukup untuk mengatasi masalah ini. 

Begitu banyaknya demonstrasi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam rangka pengesahan RUU-PKS, namun pemerintah cenderung acuh dalam menangani hal tersebut. Maka dari itu, salah satu menteri Indonesia yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengungkapkan keresahannya atas pelecehan seksual yang telah sering terulang layaknya de javu. 

Atas keresahannya terhadap semakin marak dan tiadanya payung hukum untuk kekerasan seksual, Kemendikbud telah memulai langkah perubahan melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dam Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan pada 31 Agustus 2021 yang ternyata menuai berbagai sambutan positif.

Dengan adanya Permendikbud Nomor 30 ini, Nadiem menyatakan bahwa Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang dapat menangani permasalahan kekerasan seksual di lingkup kampus. 

Oleh karena itu, beliau menyatakan Permendikbud 30 atau PPKS dibuat untuk mengisi kekosongan dasar hukum yang melindungi kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. 

Adapun tujuan dari peraturan ini adalah agar dapat menjaga hak warga negara atas keamanan dalam menempuh pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. 

Selain hal itu, peraturan ini pula mendukung untuk dilakukan tindakan yang tegas bagi instansi pendidikan universitas yang mempunyai kasus kekerasan seksual.

Setelah berjalannya Permendikbud Nomor 30, semakin membuka lebar mata kita bahwa berada di lingkungan kampus yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa untuk menempuh pendidikannya, ternyata tidak menjamin sama sekali bahwa lingkungan kampus begitu aman. 

Isu kekerasan seksual sebelum lahirnya peraturan menteri pendidikan tersebut tidak banyak yang mengambang di permukaan, namun peraturan tersebut telah membuat para mahasiswa untuk terbuka dan lebih berani dalam menangani kasus pelecehan seksual. 

Kita juga sangat sadar bahwa korban kekerasan seksual di ruang lingkup Perguruan Tinggi sebelum adanya peraturan ini memilih untuk bungkam karena khawatir akan mendapatkan sanksi selama masa studinya. 

Lalu, ditambah minimnya dukungan dari berbagai pihak yang pada salah satunya adalah kampus yang terkait karena mempunyai unsur yang akan melukai sekaligus merusak reputasi kampus. 

Sebagian kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswa pada ruang lingkup kampus yang terjadi akibat oknum dosen merasa bahwasanya mereka mempunyai hak atas segala tindakannya dan menganggap mahasiswa sebagai orang yang tidak punya daya.

Salah satu kasus yang populer akhir-akhir ini adalah pelecehan seksual secara fisik maupun verbal terhadap tiga mahasiswi di UNSRI atau Universitas Sriwijaya yang dilakukan oleh dua orang dosen. Kasus ini bermuka dari cuitan korban di Twitter yang merupakan mahasiswi tingkat akhir. 

Dalam cuitannya, korban mengaku mendapatkan pelecehan seksual oleh salah satu dosennya pada hari Sabtu, 28 Agustus 2021 pada saat mengurus skripsi di kampus. 

Berdasarkan dari berbagai informasi media, pihak kampus menangguhkan dan mencoret nama mahasiswi yang menjadi korban atas haknya dalam mengikuti yudisum sidang. Kasus tersebut menjadikan salah satu kejadian yang sangat fatal mengingat civitas akademik saja tidak menangani kasus pelecehan seksual dengan serius dan hal ini menjadikan luka yang mendalam bagi korban.

Selain kasus mahasiswi UNSRI, masih banyak kasus-kasus lain yang menimpa pada mahasiswa di kampus yang berbeda. Maka dari itu, Permendikbud Nomor 30 menjadikan benteng utama dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus serta menjadikan payung hukum yang berarti bagi korban. Atas banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi, maka pihak perguruan tinggi dimanapun seharusnya menganggap peraturan menteri tersebut sebagai pintu menuju keadilan dalam menangani kekerasan seksual dan menerapkannya tanpa menutup-nutupi kasus, apalagi mengancam korban dengan dalih akan dipersulit dalam studinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun