Dalam cuitannya, korban mengaku mendapatkan pelecehan seksual oleh salah satu dosennya pada hari Sabtu, 28 Agustus 2021 pada saat mengurus skripsi di kampus.Â
Berdasarkan dari berbagai informasi media, pihak kampus menangguhkan dan mencoret nama mahasiswi yang menjadi korban atas haknya dalam mengikuti yudisum sidang. Kasus tersebut menjadikan salah satu kejadian yang sangat fatal mengingat civitas akademik saja tidak menangani kasus pelecehan seksual dengan serius dan hal ini menjadikan luka yang mendalam bagi korban.
Selain kasus mahasiswi UNSRI, masih banyak kasus-kasus lain yang menimpa pada mahasiswa di kampus yang berbeda. Maka dari itu, Permendikbud Nomor 30 menjadikan benteng utama dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus serta menjadikan payung hukum yang berarti bagi korban. Atas banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi, maka pihak perguruan tinggi dimanapun seharusnya menganggap peraturan menteri tersebut sebagai pintu menuju keadilan dalam menangani kekerasan seksual dan menerapkannya tanpa menutup-nutupi kasus, apalagi mengancam korban dengan dalih akan dipersulit dalam studinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H