Mohon tunggu...
Mel Meiviana
Mel Meiviana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pengguna angkutan umum yang tidak pakai uang plastik alias e-ticket sebagai alat bayarnya. Juga menggunakan sepeda sebagai alat transportasi, bukan sekadar untuk rekreasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

#2. Targetkan wisatawan asing 20 juta orang: Belajarlah dari negara tetangga!

21 Januari 2015   23:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:39 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak perlu belajar jauh-jauh ke Perancis atau AS untuk urusan turisme. Tengoklah negara tetangga paling dekat yang sukses memasuki pasar turisme dunia, walau miskin akan keindahan alam sekali pun.

[Lanjutan dari: #1. Targetkan Wisatawan Asing 20 Juta Orang; Sudahkah Kementerian Pariwisata Menghitung Dampaknya?]

Singapura. Walau negara tetangga yang satu ini kecil dan bahkan miskin keindahan alam, namun Singapura memang luar biasa serius dalam membangun sektor pariwisatanya.

Seperti yang dilansir Singapore Business Review, sektor pariwisata dan perjalanan menyumbangkan sebesar $S 39,7 triliun atau 10,9% dari total GDP (2013).

Namun yang perlu diingat, semuanya tidak dibangun dalam sehari, semalam atau bahkan lima tahun. Singapura butuh puluhan tahun untuk bisa seperti sekarang.

Yang dilakukan pemerintah Singapura untuk menjadikan negaranya sebagai destinasi utama turisme global bukan dengan semata-mata membangun hotel-hotel mewah, resort, Merlion dan Universal Studio, lalu mempromosikannya lewat berbagai media iklan & agen wisata ke seluruh dunia. Walau pada awalnya memang seperti itu.

Singapura mengawali pengembangan sektor pariwisatanya dengan membentuk Singapore Tourism Promotion Board (sekarang Singapore Tourism Board) pada 1964, setahun sebelum memisahkan diri dari Malaysia.

Pada kuliah umum di Center  for Liveable Cities bertema “Tourism and Singapore’s Development” (2013), Pamelia Lee yang pernah bekerja 31 tahun di Singapore Tourism Board menceritakan pengalamannya.

Pada awalnya, tugas Singapore Tourism Promotion Board (STPB) hanya sebatas ‘menjual’ Singapura sebagai destinasi pariwisata, tanpa boleh membangun apa pun. Tujuannya hanya agar hotel-hotel dan penerbangan Singapore Airlines terisi.

Namun di era 1980an, STPB mulai menyadari kekeliruannya. Mereka selama ini alpa untuk melestarikan tinggalan sejarah dan budaya yang menjadi  identitas Singapura. Maka sejak itulah STPB bekerja sama dengan Urban Redevelopment Authority mulai melakukan upaya konservasi, dimulai dari menyelamatkan Raffles Hotel serta kawasan Chinatown, Kampong Glam, dan Little India.

Dan kita tahu bahwa upaya pemerintah Singapura mengkonservasi bangunan / kawasan bersejarah masih terus dilakukan hingga sekarang. Selain juga mengembangkan wisata budaya di museum.

Di era 1990an, pemerintah Singapura mengubah arah pengembangan pariwisatanya. Bahwa seharusnya pariwisata bukan hanya untuk turis asing, tapi juga untuk warga Singapura. Industri pariwisata yang berhasil adalah yang dapat membuat hidup warga lebih bersemangat dan bangga akan Singapura.

Selain itu, pengembangan pariwisata di Singapura tidak dilakukan parsial, namun terintegrasi dengan pembangunan kotanya. Menurut Dr. Limin Hee, Wakil Direktur Centre for Liveable Cities, tak banyak kota di dunia yang mampu melakukan pengembangan pariwisata sejalan dengan pembangunan ekonomi, upaya melestarikan lingkungan dan peningkatan kualitas hidup warga.

Berbeda dengan Indonesia, Singapura sebagai negara kecil mempunyai keterbatasan akan sumber daya alam. Sumber air bersih dan pembangkit listrik mereka tidak punya. Untuk itu mereka harus impor air bersih dan listrik dari negara tetangga Malaysia. Begitu juga dengan bahan pangan, yang diimpor dari berbagai negara.

Keterbatasan seperti ini membuat pemerintah Singapura harus cermat berhitung agar tidak mengalami kekurangan pasokan, apalagi karena meningkatnya jumlah wisatawan.

Salah satu daya tarik Singapura sebagai destinasi pariwisata dunia adalah sistem transportasinya yang super handal. Fasilitas transportasi massal, SMRT, dibangun sejak tahun 1987. Fasilitas MRT yang terintegrasi dengan halte-halte bus memudahkan turis untuk berwisata ke tiap sudut Singapura, dan juga menunjang aktivitas warga sehari-hari. Alhasil, kemacetan dan polusi di jalan raya hal yang jarang ditemui.

Lihatlah juga bagaimana layanan dan fasilitas publik dibangun. Sekolah, rumah sakit, perpustakaan, museum, sistem sanitasi & pengolahan limbah, taman, dsb.

Dari layanan publik yang handal, Singapura pun menjadi salah satu destinasi bagi mereka yang mencari layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik.

Jadi tidaklah keliru jika arah pariwisata pemerintah Singapura adalah membuat kualitas hidup warga lebih baik dan bangga akan Singapura.

Jika warga Singapura bahagia tinggal di negaranya, maka wisatawan pun akan tertarik berkunjung berulang kali dan tinggal lebih lama di Singapura. Dan secara tidak langsung, pemerintah Singapura telah berupaya menekan berbagai dampak potensial dari kegiatan pariwisata.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Dari pengalaman Singapura, pelajaran yang dapat kita petik bahwa Kementerian Pariwisata tidak dapat bekerja sendiri dalam membangun destinasi pariwisata di sebuah kawasan.

Belajar dari kesalahan yang pernah dilakukan Singapura. Promosi adalah hal terakhir. Siapkan dulu produknya! Penuhi dulu kebutuhan hidup masyarakat lokalnya. Kenali dan lestarikan tinggalan budaya dan sejarahnya.

Saatnya bagi Kemenpar melakukan pendefinisian ulang akan arah pariwisata Indonesia yang selama beberapa kabinet hanya sebatas promosi dan menjual keindahan alam & budaya Indonesia ke pasar global.

Buatlah perencanaan strategis untuk turisme Indonesia ke depannya yang sesuai dengan kaidah-kaidah sustainable tourism. Ini penting! Agar tidak merusak lingkungan dan mematikan kehidupan masyarakat setempat di masa mendatang.

Tak mudah memang. Tapi meletakkan dasar-dasar yang memperhatikan kaidah sosial dan lingkungan dalam mengembangkan destinasi wisata lebih utama. Dan tentu saja lebih menantang bagi Pak Menteri, daripada sekedar menjual keindahan alam yang sudah ada dari sononya ke pasar turis global lewat media sosial dan agen wisata.

Dan yang terpenting, mohon urungkan niatan mendatangkan 20 juta wisatawan ke Indonesia dalam lima tahun mendatang. Karena itu sama saja dengan 'recipe for disaster'.

Tapi rasanya tulisan ini sia-sia belaka. Tak lama setelah tulisan ini rampung, saya membaca 10 target kementerian pariwisata yang wajib dilakukan oleh Menteri Arief Yahya. Ternyata semuanya titik beratnya lebih pada ‘bagaimana menjual eksotisme Indonesia pada pasar global’ :(

[caption id="attachment_392326" align="aligncenter" width="493" caption="Kutipan tentang eksploitasi kawasan pariwisata"]

14218334751427254112
14218334751427254112
[/caption]

Daftar bacaan:

- Titik Nol,  Agustinus Wibowo, 2012

- Transcript, ”Tourism and Singapore’s Development”, Lecture Series, MND Auditorium, Center for Liveable Cities, Singapore, 27 Agustus 2013

- Formation of the Singapore Promotion Tourism Board

- Wikipedia, Mass Rapid Transport (Singapore)

- Forget Disneyland, try Holland Village instead, The Strait Times, 16 April 2004.

- Singapore's travel, tourism to grow 5.5% in 2014, Singapore Business Review

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun