Aku, yang bukan korban banjir, merasa sangat tertekan ketika melihat musola yang dipenuhi oleh orang-orang yang mengungsi. Sedih banget melihatnya karena mereka bukanlah orang-orang asing. Apalagi ketika aku melihat tetanggaku, seorang ibu muda dengan 3 anaknya yang usianya belum ada 3 tahun. Banjir mengepung tempat tinggalku (tetanggaku saja ada yang kebanjiran) sehingga praktis aku tidak bisa kemana-mana.
Bagaimana dengan orang-orang yang terjebak di lantai 2 rumahnya? Bagaimana yang terjebak di atap rumah? Bagaimana perasaan orang yang menemukan hewan-hewan yang tidak diharapkan saat berjuang keluar dari kubangan?
Menurutku, selain pengecekan kesehatan fisik, pengecekan kesehatan mental juga perlu. Mungkin, ini terlihat sepele tapi kesehatan pikiran sangat berpengaruh pada kesehatan fisik seseorang lho.
Dari percakapanku dengan beberapa orang tetangga, ada yang mengeluh sakit kepala, perut kembung, dan sesak nafas setelah terkena banjir. Mereka bilang, mungkin masuk angin. Namun siapa tahu kan mereka ternyata stres?
Dari situsnya American Phychological Association (www.apa.org), aku menemukan sebuah artikel tentang apa yang disarankan oleh Psikolog Amerika pada orang-orang yang baru saja terkena bencana supaya mereka tetap sehat secara mental. Di situs itu juga dijelaskan bagaimana tanda-tanda orang yang mengalami "gangguan" setelah terkena bencana.
Orang-orang yang mengalami bencana, secara fisik mungkin mereka terlihat sama saja. Namun ketika orang-orang ini moodnya lebih mudah berubah, perilakunya menjadi menyebalkan, menjadi sulit tidur--atau malah kebanyakan tidur--, mudah cemas saat melihat sesuatu (seperti tetanggaku yang cemas ketika melihat hujan), dan/atau bisa juga dia mengalami sakit kepala, bisa dia merasa tidak nyaman secara emosional.
Berserah diri pada Tuhan tentu adalah cara yang terbaik untuk menyikapi ini semua. Kita semua tahu bahwa kita dan dunia adalah ciptaan-Nya dan akan kembali pada-Nya.
Namun buat aku pribadi, tiba-tiba berserah diri itu sulit. Di kepala pasti ada perseteruan antara ingin ikhlas dan penolakan terhadap apa yang terjadi.
Nah, kalau di situs apa.org ini, dikatakan bahwa yang harus kita lakukan pertama adalah menerima semua ini. Kita harus menerima kenyataan bahwa kita sedang tertimpa musibah dan mengalami masa yang sulit. Kita ceritakan apa yang kita alami ini pada orang-orang yang tidak 'toxic'. Maksudnya adalah orang-orang yang mau mendengarkan kita dan berempati pada apa yang kita alami.
Kalau tidak ada yang bisa mendengarkan, mungkin kita bisa mulai dengan menulis atau menggambar. Bisa juga dengan mengunggah status di media sosial.
Namun sekali lagi, kalau mau mengunggah status di media sosial, pastikan lingkaran pertemananmu adalah orang-orang yang cukup waras untuk berempati padamu.