Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Muslihat Hakim Sarmin 10] Muslihat Sebutir Obat

18 April 2019   19:02 Diperbarui: 18 April 2019   19:09 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari pxhere.com

Cerita bersambung ini diadaptasi dari naskah pertunjukan Agus Noor berjudul Hakim Sarmin

Sekertaris Pak Wali kota sedang menyelesaikan laporan di mejanya yang terletak di depan pintu ruangan Pak Wali kota ketika Pak Wali kota membuka pintu ruangannya dengan muka membiru dan nafas terengah-engah. Dengan sigap sekertaris wali kota berlari menghampiri Pak Wali kota. Sekertaris membungkuk dan menopang tubuh Pak Wali kota yang terus menunduk.

"Anda baik-baik saja, Pak Wali kota?" tanya sekertaris.

Saat itu, Pak Panjaitan datang dan langsung menghampiri mereka berdua.

"Anda tidak apa-apa, Pak?" tanya Pak Panjaitan khawatir.

"Sepertinya asmaku kambuh..." jawab Pak Wali kota dengan nafas putus-putus.

Pak Panjaitan kemudian membantu sekertaris untuk mendudukkan Pak Wali kota di sofa. Sekertaris menyeka keringat Pak Wali kota yang membasahi dahi dan wajahnya.

"Anda sudah minum obat, Pak Wali kota?" tanya sekertaris.

Pak Wali kota menggeleng lemah. Sekertaris menghembuskan nafas. Ia hendak beranjak mengambil obat milik pak wali kota sebelum Pak Panjaitan memegang tangannya.

"Biar aku saja," kata Pak Panjaitan beranjak ke meja Pak Wali kota.

Sekertaris wali kota masih mengipasi Pak Wali kota ketika Pak Panjaitan datang membawa obat dan segelas air putih. Pak Wali kota menerima obat dan air putih yang ditawarkan. Tepat saat itulah muncul Komandan Kuncoro masuk.

"Jangan minum obat itu!" teriak Komandan Kuncoro. "Jangan minum air yang dia berikan dan jangan memasukkan apa pun yang Pak Panjaitan berikan pada mulut Anda, Pak Wali kota!"

Pak Panjaitan, Pak Wali kota, dan sekertarisnya terlonjak mendengar perintah yang keras dan tegas itu. Pak Wali kota makin tampak terengah dan mukanya membiru. Nampaknya, asma dan kekagetannya menyumbat jalan nafasnya. Sekertaris kemudian mengambil obat asma yang berupa inhaler untuk kondisi darurat dan menyerahkannya pada Pak Wali kota.

"Apa maksudnya ini, Komandan Kuncoro?" tanya Pak Wali kota ketika penyakitnya sudah teratasi.

"Dokter Putra memberikan obat pada Pak Panjaitan untuk membunuh Anda, Pak Wali kota," kata Komandan Kuncoro. "Percayalah padaku."

"Percaya padamu?" ledek Pak Wali kota. "Dirimu yang mengenakan kalung janur kuning seperti yang dikenakan oleh para pemberontak?"

"Aku... Aku... Aku akan menjelaskannya nanti, Pak Wali kota..." kata Komandan Kuncoro tergagap-gagap. "Kita urus obat yang akan mencelakakan Pak Wali kota ini dulu."

Komandan Kuncoro menatap tajam Pak Panjaitan. Pak Panjaitan merasa salah tingkah ditatap sedemikian rupa oleh Komandan Kuncoro. Walaupun dia adalah pengacara yang sering bersilat lidah di pengadilan, Pak Panjaitan betul-betul tak kuasa mengelak dari tatapan mata Komandan Kuncoro.

"Katakanlah sambil angkat kepala Anda, Pak Panjaitan," tantang Komandan Kuncoro. "Obat yang Anda berikan tadi adalah dari dr. Putra untuk mencelakai Pak Wali kota."

"Anda memfitnah saya, Komandan," kata Pak Panjaitan mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk. Namun dia masih belum bisa menatap mata Komandan Kuncoro.

Komandan Kuncoro kemudian mengambil obat yang tadi diberikan Pak Panjaitan pada Pak Wali kota di atas meja. Ia lalu mengulurkan obat itu pada Pak Panjaitan.

"Kalau memang obat ini tidak untuk mencelakai Pak Wali kota, silakan diminum," Kata Komandan Kuncoro tanpa melepaskan tatapan matanya dari Pak Panjaitan.

"Saya tak perlu obat, Komandan," kata Pak Panjaitan. "Nafas saya masih bagus... Apakah Anda tidak khawatir kalau ternyata obat Pak Wali kota bisa membuat saya sakit? Bukan karena ada racunnya tapi karena memang pernafasan saya bagus dan saya tidak butuh obat."

"Saya rasa, kalau memang obat itu milik Pak Wali kota, tak akan berpengaruh banyak pada Anda untuk sekali minum, Pak Panjaitan," kata sekertaris wali kota nimbrung. "Seharusnya itu hanya kortikosteroid... Tidak akan membunuh Anda dalam sekali minum."

"Percayalah..." kata Pak Panjaitan merasa terpojok. "Tak ada racun dalam obat itu. Ingatlah, racun yang paling berbahaya adalah hati manusia yang penuh kebencian. Jelas kalian tidak menyukaiku karena aku adalah orang kepercayaan Pak Wali kota."

Sekertaris wali kota melipat tangannya di depan dada. Sudah lama dia memang tidak mempercayai Pak Panjaitan. Menurutnya, Pak Panjaitan adalah orang yang terlalu banyak berbicara bahkan sering tidak masuk akal ucapannya. Berkali-kali sekertaris wali kota meminta Pak Wali kota untuk mengganti kuasa hukumnya namun tidak pernah ditanggapi.

Komandan Kuncoro kehabisan kesabaran mendengar perkataan Pak Panjaitan. Dia kemudian mengeluarkan pistol dan menodongkannya pada Pak Panjaitan.

"Minumlah obat itu," katanya tegas.

Pak Panjaitan kini benar-benar ketakutan. Tak terasa keringat dingin keluar dari dahinya. Dia masih berusaha mencari cara untuk keluar dengan selamat.

"Apakah Anda perlu mengancam seperti itu Komandan?" tanya Pak Panjaitan berusaha untuk mengelak.

"Sebaiknya Anda meminum obat itu sebelum hitungan ketiga," kata Komandan Kuncoro tidak terpengaruh dengan kata-kata Pak Panjaitan. "Satu... Dua..."

Dan tepat ketika hendak hitungan ketiga, muncullah dr. Putra di ruangan itu.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun