"Kalau memang obat ini tidak untuk mencelakai Pak Wali kota, silakan diminum," Kata Komandan Kuncoro tanpa melepaskan tatapan matanya dari Pak Panjaitan.
"Saya tak perlu obat, Komandan," kata Pak Panjaitan. "Nafas saya masih bagus... Apakah Anda tidak khawatir kalau ternyata obat Pak Wali kota bisa membuat saya sakit? Bukan karena ada racunnya tapi karena memang pernafasan saya bagus dan saya tidak butuh obat."
"Saya rasa, kalau memang obat itu milik Pak Wali kota, tak akan berpengaruh banyak pada Anda untuk sekali minum, Pak Panjaitan," kata sekertaris wali kota nimbrung. "Seharusnya itu hanya kortikosteroid... Tidak akan membunuh Anda dalam sekali minum."
"Percayalah..." kata Pak Panjaitan merasa terpojok. "Tak ada racun dalam obat itu. Ingatlah, racun yang paling berbahaya adalah hati manusia yang penuh kebencian. Jelas kalian tidak menyukaiku karena aku adalah orang kepercayaan Pak Wali kota."
Sekertaris wali kota melipat tangannya di depan dada. Sudah lama dia memang tidak mempercayai Pak Panjaitan. Menurutnya, Pak Panjaitan adalah orang yang terlalu banyak berbicara bahkan sering tidak masuk akal ucapannya. Berkali-kali sekertaris wali kota meminta Pak Wali kota untuk mengganti kuasa hukumnya namun tidak pernah ditanggapi.
Komandan Kuncoro kehabisan kesabaran mendengar perkataan Pak Panjaitan. Dia kemudian mengeluarkan pistol dan menodongkannya pada Pak Panjaitan.
"Minumlah obat itu," katanya tegas.
Pak Panjaitan kini benar-benar ketakutan. Tak terasa keringat dingin keluar dari dahinya. Dia masih berusaha mencari cara untuk keluar dengan selamat.
"Apakah Anda perlu mengancam seperti itu Komandan?" tanya Pak Panjaitan berusaha untuk mengelak.
"Sebaiknya Anda meminum obat itu sebelum hitungan ketiga," kata Komandan Kuncoro tidak terpengaruh dengan kata-kata Pak Panjaitan. "Satu... Dua..."
Dan tepat ketika hendak hitungan ketiga, muncullah dr. Putra di ruangan itu.