"Hakim Ngatiman," panggil dr. Putra.
"Ya, Dok," jawab Hakim Ngatiman.
"Di catatan ini, tadi pagi Anda diperiksa oleh dr. Jap," kata dr. Putra. "Dan menurut catatan dari dr. Jap, sebenarnya Anda tidak perlu direhabilitasi."
"Saya tertekan, Dokter," teriak Hakim Ngatiman. "Kalau kalian ada di posisi saya, kalian pasti mengerti. Saya telah berusaha menjadi hakim yang baik. Namun saya merasa dihantui sepanjang hari. Saya merasa keputusan saya banyak yang keliru. Bukankah banyak keputusan benar yang malah dianggap keliru oleh orang banyak? Saya dianggap tidak memenuhi perasaan keadilan masyarakat. Kalian tahu, kebenaran dalam hukum bukan persoalan kebenaran banyak orang. Tapi kebenaran berdasarkan fakta dan bukti di pengadilan. Keadilan tidak bergantung pada kehendak banyak orang."
"Itu artinya Anda hakim yang konsisten, kan?" tanya Pak Walikota.
"Apa artinya menjadi hakim yang konsisten bila saya diperlakukan tidak adil?" sanggah Hakim Ngatiman dengan cepat. "Saya juga semakin tertekan ketika teman-teman kolega saya banyak yang dituduh korupsi. Saya tahu, banyak yang meragukan pengadilan kita. Tapi itu bukan alasan untuk tidak mempercayai semua hakim. Saya tidak ingin mendapat tuduhan macam-macam yang malah menyebabkan saya masuk penjara. Saya tak sanggup menghadapi ini semua. Dokter, selamatkanlah saya..."
Hakim Ngatiman bersimpuh di kaki dr. Putra.
"Pak, sepertinya ketakutan Anda berlebihan," kata dr. Putra sambil memegang pundak Hakim Ngatiman. "Anda sepertinya hanya butuh istirahat. Ambilah cuti dan pergi berlibur. Bersenang-senanglah barang beberapa hari."
Hakim Ngatiman masih tertunduk di lantai dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak Dokter, saya tidak berlebihan," kata Hakim Ngatiman. "Saya hanya ingin disini. Biarlah saya dianggap gila daripada saya betul-betul menjadi gila."
Dr. Putra menghembuskan nafasnya panjang.