Dian menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya terpejam dan tangan kanannya mengurut tulang hidungnya. Beberapa saat kemudian dia menegakkan duduknya, menumpukan sikunya pada meja, dan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan mukanya. Tiba-tiba, sesuatu menyenggol lengan kirinya. Dian membuka matanya. Di hadapannya, tersaji secangkir teh. Dian kemudian menoleh ke kiri.
"Minum, Mbak," kata Sandra, sekretaris Dian. "Ini teh bunga kamomil. Bisa menenangkan perasaan yang gelisah. Sudah tidak panas, kok."
Dian memandang Sandra. Dilihat muka sekretarisnya yang tirus dengan bibir merah merekah namun jarang tersenyum. Walaupun begitu, Dian tahu, Sandra adalah orang yang sangat perhatian padanya.
"Terima kasih, San," ujar Dian sambil mengangkat cangkir dan mencecap teh yang ada di dalamnya.
Sandra kemudian duduk di kursi depan Dian. Dia menyandarkan punggungnya, menaikkan kaki kirinya ke atas kaki kanannya, dan meletakkan sikunya pada lengan kursi.
"Masih belum ada perkembangan tentang kematian pemuda itu?" tanya Sandra.
"Kalau aku sudah menemukan titik terangnya, tentu tidak di sini aku sekarang," jawab Dian lemah.
Dian Prameswari, seorang detektif swasta, diminta oleh pihak kepolisian untuk ikut serta menangani kasus kematian seorang pemuda. Ini bukan pertama kalinya Dian bekerja sama dengan kepolisian. Beberapa kali dia diminta oleh kepolisian untuk menjadi informan tidak resmi karena Dian, yang tidak terikat oleh lembaga, bisa masuk ke mana saja dan mendengarkan apa saja.
Dua hari yang lalu, seseorang menelpon kantor polisi. Dia melaporkan bau tidak sedap yang berasal dari rumah tetangganya. Seperti bau bangkai tikus tapi lebih kuat dan lebih tajam. Karena penasaran, pelapor membunyikan bel rumah yang sepi itu. Beberapa menit kemudian, 2 orang polisi datang. Mereka menerobos pagar yang masih tertutup rapat dan membuka paksa pintu rumah yang diduga sumber bau. Setelah menyisir rumah itu, polisi menemukan mayat di sebuah kamar tidur. Mayat itu berada di atas kasur dalam posisi terlentang. Selanjutnya, banyak polisi yang datang dan melakukan pemeriksaan menyeluruh. Bahkan, rumah tersebut diberi garis batas berwarna kuning.
"Bagaimana dengan penemu jenazahnya?" tanya Sandra lagi.
"Dia sudah dibebaskan oleh kepolisian," jawab Dian. "Tidak ada yang mencurigakan dari orang itu. Dia hanya seorang tetangga yang mencium bau busuk dari depan rumah Si Pemuda dan melaporkannya pada polisi. Tidak ada tanda-tanda bahwa orang itu pernah memasuki rumah. Dan dia punya alibi. Hari Minggu pagi, hari perkiraan meninggalnya pemuda itu, dia sedang berada di luar kota."
Sandra mencubit bibir bawahnya.
"Mungkinkah dia dibunuh?"
Dian mengangkat bahunya.
"Itu yang menjadi kecurigaan polisi," kata Dian membuka ponselnya. "Beberapa hari sebelum kematiannya, pencuri ini terlihat berada di warung tenda depan Toko Emas Semar yang berlokasi di Jalan Juanda. Kurasa, dia akan melancarkan aksinya di Toko Emas Semar. Namun saat itu, dia bersama dengan dr. Boyke, seorang dokter spesialis kandungan yang pernah terkenal. Dan dr. Boyke itu kini sudah mendapat panggilan dari kepolisian."
" Aku tahu si dr. Boyke itu. Sekarang dia memang sudah tidak populer lagi. Banyak dokter muda yang lebih menawan darinya," ujar Sandra. "Tapi apa hubungan dr. Boyke dengan pemuda ini, ya?"
"Kita akan segera tahu jawabannya," jawab Dian.
***
Brak...
Terdengar suara pintu terbanting. Sandra yang sedang tekun dengan komputer dan laporannya menengadahkan kepalanya melongok ke arah pintu masuk. Terlihat Dian yang datang dengan rambut acak-acakan, langkah gontai, dan muka memerah. Dian kemudian duduk di kursinya dan menutup mukanya dengan kedua tangannya. Sandra bergegas membuat es teh lemon. Sebelum bosnya, berubah menjadi serigala.
"Tadi pagi, aku ke kantor polisi untuk mencari informasi baru," kata Dian memulai ceritanya setelah menegak habis minumannya. "Di sana, seorang penyidik sedang menginterogasi dr. Boyke. Dr. Boyke, sepertinya orangnya agak linglung."
"Lah?" seru Sandra.
"Dia itu cerita diulang-ulang terus," terang Dian. "Tiap disela pertanyaan, dia akan mengulangi ceritanya lagi. Gila, gue capek banget dengernya."
"Seriusan dr. Boyke kayak begitu?" seru Sandra lebih keras.
"Kamu mau mendengar rekamannya?" tanya Dian.
Sandra menggelengkan kepala.
"Jangan-jangan karena perubahan psikologis juga dia menghentikan praktek dokternya dan reduplah sinar ketenarannya," komentar Sandra.
Dian hanya mengangkat bahu.
"Menurut dr. Boyke, dia, pemuda itu, dan beberapa orang lainnya akan mencuri Toko Emas Semar pada hari Minggu," kata Dian.
"Makanya dr. Boyke dan pemuda itu ada di warung tenda jalan Juanda?" tanya Sandra memastikan.
Dian mengangguk.
 "Malam itu, dr. Boyke dan kawan-kawannya menunggu pemuda itu di warung tenda depan Toko Emas Semar. Namun dia belum juga datang hingga lewat tengah malam. Senin dini hari, mereka ke rumah pemuda itu. Sepi dan pagar rumahnya tertutup. Motor yang biasa digunakan untuk bepergian pemuda itu ada di sana. Dr. Boyke dan teman-temannya lantas pulang ke rumah masing-masing," jawab Dian.
"Agak aneh nggak, sih, Mbak?" tanya Sandra. "Kenapa mereka nggak beraksi saja tanpa pemuda itu? Kenapa mereka enggak mendobrak rumah pemuda itu?"
"Pada dasarnya, dr. Boyke dan teman-temannya meragukan keseriusan pemuda itu untuk mencuri. Namun, pemuda itu sudah memberi uang sebesar 5 juta pada dr. Boyke dan teman-temannya sehingga malam itu, mereka tetap berkumpul di warung tenda," terang Dian. "Kalau tidak jadi, ya sudah. Mereka kembali ke tempat masing-masing."
Sandra menganggukkan kepalanya.
"Tapi Mbak, kalau dia bisa memberi uang 5 juta pada tiap-tiap orang di komplotannya, berarti dia bukan orang yang kekurangan harta, kan?" tanya Sandra lagi. "Kemudian, untuk apa dia mencuri Toko Emas Semar?"
Dian kini menegakkan badannya dan membuka ponselnya.
"Aku sempat menemui pemilik warung tenda yang disebutkan itu," kata Dian. "Pemuda yang meninggal itu, tertarik dengan sebuah kotak yang dimiliki oleh Koh Afu. Beberapa kali pemuda itu menanyai pemilik warung tentang Koh Afu dan kotaknya. Menurut rumor yang beredar, kotak itu berisi pesugihan. Tapi entahlah."
Dian dan Sandra terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
"Kita masih harus menemukan orang-orang di komplotan itu dan mencari tahu, mereka punya alibi atau tidak pada hari Minggu," kata Dian pada akhirnya.
***
Sandra menengadahkan kepalanya ketika seseorang melempar sebendel kertas di atas meja kerjanya. Saat itu, dia sedang membuat rangkuman kasus yang dikerjakan Dian selama sebulan ini. Sandra melihat wajah Dian yang pucat dan rambut pendeknya yang berantakan.
"Ini apa?" tanya Sandra sambil membuka bendel kertas yang dilempar oleh Dian.
"Hasil otopsi mayat pemuda itu," jawab Dian.
Dian menuju kursinya dan menghempaskan badannya di kursi itu. Sandra memperhatikan gerakan bosnya. Sesekali dia membaca bendel kertas, sesekali dia melirik bosnya. Dia sedang menimang-nimang untuk berbicara atau tidak.
"Syndrom Brugada?" gumam Sandra agak keras. Berharap Dian mendengar dan akan menjelaskannya.
Dian melirik ke arah Sandra sebentar, lalu memejamkan matanya dan meletakkan kepalanya di atas sandaran kursi.
"Itu penyebab kematian pemuda itu," kata Dian.
"Jadi tidak ada yang membunuhnya?" tanya Sandra.
Dian mengangkat bahunya.
"Sepertinya tidak. Semua orang yang terlibat punya alibinya masing-masing. Dan hasil otopsi mayatnya pun seperti itu," kata Dian.
Dian menguap. Sandra melihat jam tangannya. Pukul 5 sore. Sudah waktunya dia bersiap untuk pulang.
Catatan:Â
Sindrom Brugada adalah gangguan jantung yang sangat serius dan menyebabkan irama atau detak jantung menjadi terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur. Kondisi ini membuat jantung tidak bisa memompa darah ke seluruh tubuh secara optimal. Jika hal ini terjadi, dampaknya akan sangat fatal dan bisa mengancam nyawa seseorang.
Sindrom Brugada merupakan salah satu penyebab utama kasus kematian mendadak pada anak muda yang dinyatakan sehat dan tidak mengalami gangguan jantung. Yang lebih mengkhawatirkan, kasus kematian yang disebabkan oleh sindrom Brugada sering terjadi secara tiba-tiba, tanpa menujukkan gejala sama sekali. (alodokter.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H