Aku mengambil ayam goreng. Suamiku mengambil gepuk. Bumbu ayam gorengnya meresap sampai ke dalam tulang. Aku mencicipi gepuk yang diambil suamiku. Gepuknya enak. Bumbunya merata dan yang penting empuk. Dan yang paling juara adalah sambalnya. Enak banget. Ada rasa manis dan segar. Aku yang tidak menyukai pedas pun menyendok agak banyak.
Rumah makan Ciganea ini memiliki beberapa cabang di luar Purwakarta. Salah satunya di Padalarang. Saat aku masih tinggal di Padalarang sampai tahun lalu, aku memang tahu kalau rumah makan Ciganea ini terkenal dengan sambal dadakannya. Namun aku tidak menyangka sambalnya dapat menggodaku yang tidak menyukai sambal.
Walaupun di bagian belakang nampak masih perlu perbaikan, namun di bagian depan rumah makan ini cukup keren. Ada counter karedok dan kedai kopi tersendiri. Nyaman juga untuk sekedar duduk-duduk melepas lelah. Apalagi tempatnya ada dekat gerbang tol.
Rumah makan Ciganea sudah ada sejak tahun 1981 (menurut tulisan yang ada di dinding rumah makan itu). Menurut cerita (ini cerita dari Google), pendirinya bernama Rd. H. Atik Djayasputra. Sekarang, pengelolanya bernama Pak Haji Dadang.
"Ini bayarnya gimana?" tanya suamiku.
"Ya pake duit," jawabku asal.
"Ini semua kita bayar?" tanyanya lagi sambil menunjuk sisa makanan yang ada di meja.
"Yang kita bayar yang kita makan aja," jawabku. "Itu gepuk, kalau kamu ambil lagi berarti bayarnya 2."
"Taunya kita ngambil 2 dari mana?" tanyanya lagi.
"Dia kan nyajiin 2," jawabku. "Kalo ternyata piringnya kosong habis kita makan berarti kan kita makan 2."
Suamiku mengangguk-anggukkan kepalanya. Nampaknya, suamiku tidak familiar dengan sistem penyajian makanan dan pembayaran di rumah makan ini.