Ini adalah cerita seorang mahasiswa profesi Apoteker yang sedang menjalani praktek kerja di sebuah rumah sakit swasta di kota Jogja. Ada yang tau apoteker? Ya kalau kalian tau nama yang dipasang pada papan apotek adalah nama seorang apoteker. Lainnya?
Profesi ini memang tidak populer, bahkan Ian MacKillop seorang apoteker di Inggris menulis di forum sebuah website di internet bahwa perlu ada tokoh superhero yang berprofesi sebagai apoteker untuk memperkenalkan profesi ini.
Walaupun tidak populer, bukan hal mudah untuk menyandang gelar apoteker. Pertama, kita harus lulus dulu menjadi sarjana farmasi dengan menghadapi bertumpuk laporan praktikum, berlembar-lembar tugas pribadi, dan banyak presentasi kelompok. Saking tidak mudahnya menjadi sarjana farmasi, ada artikel yang menyebutkan bahwa jurusan farmasi adalah jurusan kuliah paling sulit ke 3 di Indonesia setelah kedokteran dan matematika. Setelah menjadi sarjana farmasi, kita harus sekolah lagi dalam program studi profesi apoteker yang isinya adalah tutorial dan praktek kerja.
***
Ya ampun…. Akhirnya ada hari dimana aku ke rumah sakit cuma buat diskusi… Asyik… Biasanya, ada saja yang harus dilakukan bahkan sampai membuat aku menginap di rumah sakit.
Hari ini aku bangun pagi dengan semangat. Di stase gudang farmasi, kami sudah melalui semua bagian di gudang farmasi. Di pemesanan, penerimaan, penyimpanan, produksi, bahkan sampai di gas medis tetapi kami masih ada 1 hari di stase ini dan kosooonnggg~
Bertugas di gudang farmasi jelas berbeda dengan di gudang sepatu. Setiap obat memiliki kualifikasinya sendiri-sendiri sehingga cara pemesanan obat setiap obatpun berbeda tergantung dari golongannya. Apakah obat itu narkotika, psikotropika, obat keras, bahan baku, atau alat kesehatan. Belum lagi kalau obat itu obat impor, prosedur pemesanannya akan jauh lebih panjang.
Dalam penerimaan barangpun tidak bisa sembarangan, kita harus memastikan kondisi obat yang diantarkan oleh kurir. Bukan hanya sekedar barangnya utuh dan dalam jumlah yang benar tetapi kami harus memastikan obat itu diantar dalam suhu yang sesuai dengan kriteria obatnya. Misalnya obat yang harus ada di suhu dingin seperti vaksin, maka harus dibawa oleh kurirnya menggunakan cooler box. Kalau tidak, kami terpaksa menolaknya karena suhu yang panas dapat merusak vaksin tersebut. Tentu kami tidak ingin memberikan obat rusak pada pasien.
Penyimpanan obatpun tidak bisa sembarangan. Mereka disimpan dalam suhu sesuai dengan kriterianya. Ada yang pada suhu dingin yaitu 2 – 8 C, suhu sejuk (8 – 15 C), dan suhu kamar terkendali yang dipasang pada 25 C karena kebanyakan persyaratan obat tidak boleh disimpan dalam suhu lebih dari 25 C. Juga harus memperhatikan bentuk sediaan obatnya apakah padatan (tablet, kapsul,, dan teman-temannya), apakah cair (misalnya sirup), ataukah gas.
Kata temen-temen sih, hari ini emang cuma dialokasikan untuk diskusi. Asyik… bisa lah ngerjain tugas yang lainnya dan pulang sebelum matahari terbenam, trus mampir ke kafe coklat buat minum coklat dingin yang enak. Aku beneran semangat membayangkan hidupku yang indah hari ini dan aku juga udah janjian sama temanku untuk minum coklat sambil ngobrol cantik di kafe.
Lalu tiba lah aku di rumah sakit dan berdiskusi dengan Bu Dita, apoteker penanggung jawab gudang farmasi.
“Jadi, karena hari ini kalian sudah menyelesaikan semua bagian di gudang, dan sudah ada kelompok lain yang masuk di gudang, kalian gak perlu bantu pelayanan di sini. Tapi, kalian harus stand by dan siap dengan panggilan cito ya?” kata Bu Dita pada akhir diskusi.
“Siap, Bu,” Kataku.
Ketika Bu Dita pergi, Vicki lalu berkomentar, “Kok baik sih dia? Perasaanku jadi gak enak.”
Vicki agak sinis dengan Bu Dita. Beberapa kejadian yang terjadi selama beberapa hari ini menempatkan Bu Dita sebagai sosok yang menyebalkan bagi Vicki. Dimulai ketika Bu Dita tiba-tiba mengajak janjian diskusi pagi-pagi buta, hingga tugas-tugas dadakan yang pengerjaannya membutuhkan waktu lama.
Selesai diskusi Kami lalu menyelesaikan laporan dan tugas jurnal yang deadlinenya semakin mendesak. Jam 11.30, kami mulai kelaparan. Kami bertiga lalu ke warung bakso dan es teller yang dijual di warung tenda depan rumah sakit. Aku dan Vicki memesan es teller dan bakso komplit sedang Lela hanya makan bakso.
“Kalian sanggup ngabisin makanan sebanyak itu?” Tanya Lela.
“Sanggup donk.” Kataku. “Kita lapar.”
Saat es tellernya baru kusendokin sedikit-sedikit dan baksonya baru aku tiupin, ada whatsapp dari Maya yang katanya Bu Dita mencari kami karena ada tugas cito.
“Ih, makanku masih banyak…” kataku.
“Tugas cito apaan sih?” Tanya Vicki.
Aku lalu membalas whatsapp Maya dengan menanyakan jenis tugasnya. Maya hanya menjawab Bu Dita tidak bilang apa-apa hanya tugas cito.
Aku dan Vicki lalu makan tanpa bernafas dan mengunyah sekedarnya supaya semua makanan yang kami pesan bisa masuk perut kami. 10 menit kemudian kami selesai makan dengan menyisakan kuah es dan kuah bakso. Selanjutnya kami langsung berlari mencari Bu Dita.
“Sayang ih, kuah es ku….”kataku.
“Hedeh, ada panggilan cito noh. Masih mikirin kuah es.” Kata Lela.
Kami bertiga berjalan tergopoh-gopoh ke ruangan Bu Dita.
“Kalian udah selesai makannya? Tugasnya aku titip kelompok Martin.” Kata Bu Dita saat kami menghadap.
Kami lalu ke basecamp untuk menemui kelompok Martin. Sampai di basecamp, kelompok Martin sedang menghitung dan mengelompokkan sarung tangan sekali pakai.
“Tugas dari Bu DIta buat kami apa, Tin?” Tanya Vicki.
“Nih, barengan sama kelompokku buat ngitung sarung tangan trus dibungkusin lima puluh tiap bungkus.” Kata Martin.
“Itu aja?” tanyaku.
“Iya.” Jawab Martin. “Nanti mau dikirim ke satelit farmasi buat dipake petugasnya.”
“Ini yang katanya tugas cito?” tanyaku lagi. “Seberapa cito sih?”
“Iya.” Jawab Martin.
Di sudut lain di ruangan itu ada Maya yang tadi Whatsapp aku.
“May, ini tugas yang kamu bilang cito?” tanyaku pada Maya.
“Iya kali. Aku gak tau kalo tugas kalian suruh ngurusin sarung tangan. Tadi Bu DIta ke sini nyari kalian, trus bilang, suruh mereka nyari saya. Ada tugas cito. Gitu.” Kata Maya.
Cito adalah bahasa latin yang sering digunakan dalam percakapan medis. Secara bahasa artinya adalah segera (immediately). Secara percakapan, cito ini menunjukkan keadaan yang mendesak yang butuh penanganan segera. Misalnya ketika di ruang farmasi kemudian kami mendapat pesan cito dari dokter atau perawat, maka kami harus segera menyediakan apa yang mereka minta karena dalam pesan cito ada pasien yang harus ditangani dengan segera.
Ya ampun demi apa… aku sampe makan bakso gak pake ngunyah gara-gara ini.
“Tu kan udah kubilang. Kalo dia baik perasaanku jadi gak enak.” Kata Vicky.
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Tau ah, aku mau cari minum dulu baru bantu kalian, Tin,” Kataku sambil keluar lagi dari basecamp dan menuju dapur. Mencari air minum untuk tenggorokanku yang tiba-tiba seret dan terasanya seperti masih ada bakso yang menyangkut di situ.
Di luar, aku masih sempat mendengar Vicki mengomel, “Dia tuh gak bisa sehari aja gak ngerjain kita.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H