Mohon tunggu...
Meisya Zahida
Meisya Zahida Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan penunggu hujan

Sejatinya hidup adalah perjuangan yang tak sudah-sudah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dilema Rindu dalam Jarak Tunggu

7 Maret 2020   19:02 Diperbarui: 7 Maret 2020   19:08 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nadila ... aku mengagumimu dengan perumpamaan yang tak ingin kuperdengarkan pada dunia, karena rasa adalah pertalian, tanpa diucap, rindu dan cinta akan selalu bersenyawa, kendati sering lahir menyalahi takdir."

***

Benar saja, Tuhan tempat segala pinta memberiku jawab untuk keyakinan yang rela diuji. Suatu hari di tanggal 22 januari, ketika perpisahan kita mendekati angka sebelas dari hitungan bulan. Aku menemukanmu di jejaring media sosial) facebook. 

Kau tahu, betapa girangku saat itu, tanpa pikir panjang ku add kamu, aku menanti dengan harap-harap cemas. Apakah pertemananku akan bersambut atau kau justru akan blokir aku. Tiga detik, kita pun berteman. "Alhamdulillah!" Kuseru nama-Nya, kuganti fhoto profielku dengan sosok utuh. 

Aku, dengan kaki palsuku.  Aku berharap, kau mengingatku dan menghubungiku. Tapi, aku menelan kecewa teramat sangat, kau begitu acuh bahkan membalas salamku di inbox seolah tak mengenalku.

"Terima kasih, salam kenal," kataku
" Sama-sama, salam kenal juga." Jawabmu. Duh, aku merasakan dunia telah mengasingkanku, aku bagai terlempar ke semesta luar dan tak sanggup bangun lagi.

Beberapa menit, kembali aku dikagetkan dengan statusmu dan beberapa unggahan foto-fotomu. Kulihat kau duduk di kursi roda dengan tangan di dua sisinya. Ada foto yang terbaring dengan mimik kesakitan, kau juga menggapai seperti membangun kekuatan. Sungguh, segalanya menyuguhkan nuansa pilu dan aku terhenyak dalam kejut tak mampu kugambarkan.

"Apa kabarmu, Cinta? Masihkah kau berburuk sangka untuk luka yang kita sesap lewat air mata. Tanpa kau minta aku telah menjadi perwujudan cinta; meronce harap dengan ceceran darah. Aku pun tak kan melupa pada hari-hari yang penuh siksa. Padamu, yang juga menasbih rindu dalam gamang. Sesungguhnya, kita adalah pengorbanan, tak perlu menangis saat berjauhan, usah saling menuduh telah melupakan.

Hiduplah, untuk satu pengabdian, Cinta!
Sebab masing-masing kita akan selalu ada tanpa meminta."

Tak terasa mataku berkabut, semua tiba-tiba terlihat gelap. Inilah balada kesakitan yang sama-sama tertikam tanpa pedang. Kuraba ulu hatiku dengan gumul kebimbangan. Adakah itu tertulis buatku, Pras. Atau kah itu pesan tersembunyi karena engkau tak lagi sendiri?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun