Walau laki-laki dianjurkan menikahi wanita dengan beberapa hal, agamanya, nasabnya, juga parasnya, bukankah aku juga berhak menentukan persyaratan tanpa harus diajukan?
Mendengar penuturanku yang memintamu untuk bekerja mapan dulu sebelum menikah, kau sangat terkejut waktu itu.
"Kau belum percaya ketulusanku, Nadila? Aku sudah berjuang meyakinkan orang tuaku demi memilihmu, bahkan menentang mereka. Tapi, kau ... kita harus bicara. Sore nanti, kutunggu di taman kota. Tempat biasa kita ketemu." Kau menutup telepon begitu saja, Pras. Tanpa memberiku kesempatan bercerita.
***
Waktu, seringkali membiarkan kita mengutuk keadaan. Entah semua adalah isyarat kita tak kan disatukan atau itu semua pengukuhan kesetiaan dalam tabah tak tertanggungkan, takdir pun bicara lain, sejak terakhir kita bicara di telepon, aku tak pernah lagi bertemu denganmu.Â
Kau raib begitu saja, tidakkah kau ingin bertanya mengapa aku tak datang? Apakah yang ada di pikiranmu aku perempuan matrealistis memutus cinta tanpa sebab?
Pras, karena kecerobohanku yang terburu-buru ingin menemuimu, motorku menabrak kendaraan dari arah berlawanan, tanpa memperhatikan lampu merah di sisi jalan. Aku hampir kehilangan nyawa, Pras. Dua minggu tak sadarkan diri, begitu bangun satu kakiku diamputasi.Â
Aku tak ingat siapa-siapa waktu itu, hanya namamu yang ada di kepalaku. Tapi, dalam kurun waktu lima purnama itu tak ada sesuatu pun yang berarti. Jangankan kedatanganmu, menelponku saja kamu sangat tidak bisa.
Pras, aku selalu ingat bagaimana caramu menenangkan. Aku belum lupa ingatan untuk hal-hal kecil yang selalu menyemikan kenang. Tapi, mengapa kau sangat tidak sabar untuk kesalahan yang belum kujelaskan?Â
Dalam remang perjalanan yang selalu kutandai dengan pertanyaan, tak pernah ku berhenti berharap keajaiban Tuhan akan mengurai nikmat, di tengah perjuanganku membulatkan semangat, di antara yakinku akan dirimu yang tak beralamat.Â
Aku selalu percaya, kau kesejatian cinta yang juga merinduiku dengan cara berbeda, di ujung tahun nanti, saat bilangan menyempurnakan di angka dua belas purnama, setelah kita berpisah. Itu anganku, seperti  juga yang sering kau kata