Mohon tunggu...
Meistra Budiasa
Meistra Budiasa Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati Budaya dan Media

Dosen Komunikasi, Universitas Bung Karno, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kelas Menengah dan Konsumsi dalam Olahraga Lari Marathon

30 November 2017   09:43 Diperbarui: 30 November 2017   10:21 3107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
thejakartamarathon.com

Berolahraga merupakan aktifitas fisik yang bertujuan untuk menyehatkan dan kebugaran tubuh. Tidak harus menjadi atlit untuk melakukan aktifitas ini melainkan melainkan semua kalangan masyarakat dapat melakukan ini. Kesadaran akan pentingnya kesehatan menjadikan aktivitas olahraga sebagai kebutuhan utama masyarakat khususnya di wilayah perkotaan karena tingkat mobilitas kehidupan yang tinggi. 

Dampak dari hal tersebut yakni tumbuh suburnya event olahraga dan kegiatan car free day di wilayah kota besar Indonesia. Berbagai jenis olahraga yang mudah dijangkau oleh publik biasanya dilakukan pada kegiatan tersebut seperti bersepeda, jalan santai, jogging, dan lari. Dari beberapa jenis aktifitas fisik tersebut olahraga lari merupakan aktifitas yang belakangan cukup popular di kalangan masyarkat perkotaan karena mudah dijangkau dan dapat dilakukan oleh setiap orang.

Bagi sebagian kalangan masyarakat di kota-kota besar lari telah menjadi bagian dari hobi sebagai pengisi waktu luang dari mobilitas kehidupan perkotaan. Para penggiat olahraga yang mengutamakan daya tahun tubuh ini kemudian mengikuti berbagai perlombaan lari baik yang diadakan secara komersial maupun berdasarkan amal. 

Perlombaan tersebut menjadi arena bagi para pecinta lari untuk menunjukkan kemampuan fisiknya dalam menyelesaikan jarak tempuh dan sebagai ruang ekspresi diri mereka kepada sesama pecinta olahraga ini. Olahraga lari yang menempuh jarak jauh di jalan raya ini dikenal dengan nama marathon dan kegiatan ini telah menjadi fenomena global. Sebagai salah satu olaharaga yang popular di dunia saat ini, lomba marathon telah menjadi ikon bagi para pecinta lari untuk menegaskan identitasnya. 

Namun lari marathon pada perkembangannya bukan sekedar menempuh jarak berlari melainkan bagian dari sistem globalisasi yang berkaitan dengan gaya hidup, produksi dan konsumsi. Marathon telah menjadi komodifikasi bagi industri olahraga dalam beberapa hal baik berupa pakaian, aksesoris, dan media massa. Olahraga lari marathon menjadi arena dalam sistem globalisasi sebagai sebuah ruang dimana berbagai bentuk scape(merujuk konsep Appadurai) saling tumpang tindih dan berkaitan satu sama lain. 

Di Indonesia hal ini terwujud dari imajinasi para pecinta lari yang melihat marathon menjadi ruang bagi mereka untuk merasakan bagian dari dunia tanpa batas. Ini diwujudkan dalam bentuk pakaian dan akasesoris yang mereka gunakan seperti para pecinta lari ini di seluruh dunia. Tulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana olahraga lari marathon menjadi arena konsumsi dan bagaimana olahraga ini menjadi ruang bagi kelas menengah untuk mengidentifikasikan dirinya.

Olahraga sebagai bentuk kegiatan fisik yang berkaitan dengan kesehatan tubuh pada perkembangannya mulai bergeser menjadi sebuah aktivitas seremonial yang memproduksi sebuah gaya hidup dan berkaitan dengan industri konsumsi. Melalui media massa baik itu konvensional seperti majalah, Koran, buku maupun online seperti internet olahraga kini direpresentasikan sebagai sebuah rutinitas yang berkaitan dengan identitas seseorang maupun kelompok. 

Seseorang akan telrihat status sosialnya apabila mengikuti kegiatan berolahraga yang sedang tren dengan begitu identitasnya akan terlihat lebih menjadi ikon dari olahraga tersebut. Dalam bentuk lain, media massa juga mengkontruksikan olahraga sebagai sebuab ruang bagi industri konsumsi untuk melakukan promosi-promosi dengan dalil kesehatan dan pada akhirnya publik menjadi konsumen setia dari produknya. Kedua hal tersebut secara nyata teraktualisasi pada berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan khususnya olahraga seperti perlombaan-perlombaan ataupun kegiatan yang melibatkan banyak massa pada hari libur atau akhir pekan. 

Pada kegiatan tersebut ruang publik dipenuhi dengan berbagai promosi dari berbagai produk yang mayoritas di dominasi oleh minuman dan makanan. Pemanfaatan ruang publik pada waktu akhir pekan dalam suasana yang santai tersebut cukup efektif dalam merangsang massa untuk berkonsumsi dan ini menjadi langkah awal dari komodifikasi kegiatan berolahraga tersebut.

Tinjauan Literatur

Beberapa penelitian mengenai komodifikasi dan selera kelas menengah dalam olahraga sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Beberapa penelitian ini sangat berhubungan dengan aktifitas olahraga yang dilihat dari sudut pandang kritis dan relevan dengan tulisan ini.

Penelitian dari Liza Moor yang berjudul "Sport and Commodification A Reflection on Key Concept" adalah kajian yang sangat komperhensif untuk melihat komodifikasi dalam olahraga. Penelitian Moor ini memandang studi mengenai olahraga yang memiliki dampak perubahan struktural dalam organisasi olahraga khususnya berkaitan dengan budaya penggemar telah menjadi bagian penting dari kajian sosiologis olahraga dalam beberapa tahun terakhir. 

Dengan mengambil studi kasus sepak bola di Inggris yang dimana telah memberikan ruang yang luas dari media massa untuk meliput kompetisi maupun keguatan klub sepakbola sehingga memiliki perubahan signifikan dalam liputan media pada dekade 80an dan 90an.  Dengan menggunakan konsep komodifikasi, kelas, dan konsumsi tulisan ini bertujuan untuk menginterogasi beberapa konsep kunci tersebut yang umum digunakan dalam analisis ini. Penelitan ini lebih berfokus kepada studi mengenai masa depan studi mengenai fandom dalam sepakbola yang berdasarkan konsep kunci tersebut melahirkan kesimpulan sebagai berikut. 

Dari konsep kelas sosial, ditemukan bahwa penggemar dari berbagai latar belakang kelas dan pengalaman mampu tampil sebagai anggota otentik dari basis dukungan tradisional penggemar sepak bola dengan mengadopsi disposisi tertentu (2007: 137)_. Secara kritis Moor melihat hal ini pada gilirannya dapat menyebabkan pengakuan yang lebih kompleks di mana pengecualian beroperasi dalam sepak bola dan memungkinkan kita untuk melihat bahwa kritik dari praktek eksklusif belum tentu kritik dari kelompok kelas pekerja melainkan kritik dari budaya kelas pekerja yang beredar dan digunakan untuk membela diri dengan berbagai kelompok dalam konteks tertentu. 

Konsep Komodifikasi dan Konsumsi, Moor mengkritik bahwa fokus pada komodifikasi menyebabkan kecenderungan untuk melihat semua perubahan lain dalam fandom sebagai konsekuensi dari komodifikasi daripada sebagai memiliki salah otonomi mereka sendiri atau memang terkait dengan kekuatan non-pasar lainnya. Jadi meskipun sejumlah pengamat telah mengakui pembentukan jenis baru dari budaya fan dalam menanggapi perubahan dalam sifat dan ruang lingkup liputan media, ada relatif sedikit minat dalam menyelidiki ini secara empiris. 

Hal ini pada gilirannya karena fakta bahwa begitu banyak diasumsikan oleh pengamat bahwa budaya keterlibatan dengan sepak bola akan penuh (terutama pada kelas menengah) orang-orang yang tertarik dalam permainan hanyalah sebuah respon spontan untuk kegiatan pemasaran klub dan perusahaan, mengabaikan fakta bahwa banyak pendukung tradisional dapat menggunakan internet serta televisi dan radio, dan bahwa para penggemar baru dapat memilih hubungan yang lebih virtual untuk sepak bola untuk alasan yang memiliki banyak untuk dilakukan dengan permainan historis gender dan rasial norma untuk partisipasi seperti yang mereka lakukan dengan baik atau identitas kelas mereka sendiri.

Penetlian dari David L Andrew, Callie Batts, dan Michael Silk berjudul "Sport, glocalization and the new Indian middle class merupakan tulisan yang paling menarik dalam menganalisis kelas menengah dan olahraga. Dengan berfokus pada struktur dan pengaruh olahraga transnasional yaitu Commonwealth Games dan budaya kebugaran (fitness) dalam konteks India kontemporer Andrew dkk melakukan observasi berdasarkan dari penelitian empiris untuk mengeksplorasi hubungan timbal balik yang kompleks antara ekonomi liberalisasi, globalisasi, dan kapitalisme konsumen.

Argumentasi utama pada penelitian ini pada proses-proses kontemporer budaya olahraga di India yang sedang bangkit dalam citra kelas menengah baru. Serangkaian proses ini secara bersamaan memberikan kontribusi terhadap hegemoni dari kelas menengah baru di India dan dengan demikian terang-terangan kembali kepada ketidakadilan sosial dan polarisasi masyarakat dengan jelas dalam kehidupan masyarakat India lebih umum. 

Melalui pertimbangan kontekstual dari kebijakan liberalisasi ekonomi dan ideologi neoliberal yang mendorong munculnya kelas menengah baru dan budaya konsumen di mana identitas dibuktikan dan batas-batas batas-batasnya (Bauman, 2001), kami arahkan ke badan-badan valorized (produktif, konsumtif dan fungsional) dan mereka pathologized (miskin, terlayani dan pakai) dalam budaya olahraga transnasional yang mengemban perintah dari pemerintahan neoliberal, kebijakan dan tubuh politik. 

Dengan menganmbil konteks Common Wealth Games (CWG) dan olahraga kebugaran di kota Delhi, India Andrew dkk meneliti bagaimana fenomenan tersebut mengubah tata kota sekaligus prilaku kelas sosial di wilayah perkotaan. Di mana hadir kelompok kelas menengah baru yang secara simbolik telah sadar akan kepentingan tubuhnya secara konsumsi dalam kondisi negara pada berbagai persoalan korupsi dan sebagainya. Kelompok ini hadir sebagai penanda hadirnya budaya konsumsi di India dan semakin membelah masyarakat kedalam polarisasi kelas sosial.

Dalam persiapan penyelenggaraan CWK misalnya pemerintah lokal New Delhi banyak melakukan pembersihan terhadap wilayah-wilayah kumuh serta pembuatan fasilitas olahraga yang menunjang standar event tersebut. Penyenlenggaraan CWK dan merebaknya olahraga kebugaran di India adalah dua fenomena yang saat sedang berkembang di negara tersebut, dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi di negara tersebut menambah tumbuhnya kelas menengah baru. Dari sisi konsumsi dan ekonomi neoliberalisme fenomena tersebut menjadi bagian dari pondasi pembagian kelas sosial di masyarakat dengan mengedepankan selera berolahraga.

Kerangka Pemikiran

a). Globalisasi

Sebagai sebuah konsep globalisasi memiliki berbagai definisi dan sudut pandang. Meskipun demikian, globalisasi pada tataran paling umum dimengerti sebagai hubungan-hubungan dan sirkulasi-sirkulai antara sejumlah wilayah geografis yang kurang lebih berjauhan, adalah sebuah proses sejarah yang sangat kuno dan silih berganti (Chaubet, 2013: 10). Pandangan lain datang dari Geoger Ritzer seorang sosiolog yang banyak mengkaji konsep dan budaya globalisasi dengan pikirannya yang paling berpengaruh yakni model Mcdonaldlisasi. 

Dalam model ini globalisasi dilihat sebagai bentuk dari cara kerja atau pandang yang mirip dengan restoran cepat saji McDonald, dalam definisinya Ritzer memandang globalisasi sebagai sebuah proses di mana berbagai prinsip restoran cepat saji hadir untuk mendominasi lebih banyak sektor kehidupan Amerika serta belahan dunia lain (Ritzer, 2013:5). Dimensi dari McDonaldlisasi adalah Efisiensi, Daya Hitung, Daya Prediksi, dan kontrol. Efisensi berkaitan dengan metode optimal untuk mencapai satu tempat ke tempat lain hal ini dalam McDonald berkaitsn dengan cara yang praktis untuk memuaskan kebutuhan pelanggan. 

Daya Hitung berkaitan dengan aspek kuantitatif dari produk yang dijual (porsi, ukuran, harga) dan pelayanan yang ditawarkan (waktu yang diperlukan untuk mendapatkan produk tersebut). Daya prediksi berkaitan dengan jaminan bahwa produk dan pelayanan akan tetap sama sepanjang waktu dan di seluruh lokasi. Kontrol berkaitan dengan bagaimana konsumen dengan dibawa suasana yang nyaman dapat digiring pada nilai-nilai pelayanan mereka. Model globalisasi ini merupakan bagian dari cara pandang yang homogen dalam melihat jalannya sistem global ini. Dalam kaitannya dengan olahraga model McDonaldisasi ini masuk pada dimensi daya hitung, di mana pada masa sekarang nilai kuantitas dalam aktifitas fisik lebih diutamakan. 

Sebagai contoh bagaimana para penyelenggara event olahraga kini lebih mengutamakan jumlah peserta yang mendaftar begitu juga dengan para atlit yang lebih dituntut untuk memperbaiki kuantitas waktu baik dari segi latihan, pertandingan, maupun jumlah pengiriman atlit yang dapat diukur dengan berapa jumlah prestasi yang dapat dihasilkan bagi negara, klub, maupun komunitas. Sehingga kualitas atlit pada konsep ini tidk menjadi perhatian yang utama karena lebih mengutamakan kuantitas.

Konsep lain dari globalisasi yang menjadi menarik adalah pandangan dari Arjun Appadurai. Bagi Appadurai, globalisasi bukanlah sekedar berbentuk homogen namun perubahannya tidak berlangsung secara linier, baginya ada respon secara lokal atau beradaptasi secara lokal terhadap bentuk homogen tersebut. 

Respon tersebut kemudian melahirkan heterogenitas yang kemudian menciptakan adaptasi lokal dalam melihat keberagaman satu kebudayaan tersebut. Dalam hal ini globalisasi bukan tentang bagaimana barat mempengaruhi timur (baratisasi) tetapi lebih kepada memperluas ruang yang memiliki efek dalam bentuk metedologis. Bentuk dalam hal ini bukan sekedar secara geografis tetapi lebih kepada psikografis dalam bentuk gaya hidup dalam memandang sesuatu. Proses ini dalam pandangan Appdurai merupakan aktivitas kebudayaan yang bersifat Imaginary atau proses imajinasi sosial, implmentasi dari imajinasi tersebut tercakup dalam lima scape yakni etnoscape, mediascape, technoscape, financescape, dan ideoscape. 

Etnoscape, yaitu sebuah gambaran mengenai perpindahan orang-orang di seluruh dunia di mana kita hidup seperti: wisatawan, imigran, pengungsi, tenaga kerja, dan kelompok-kelompok serta aktivitas individu lainnya tanpa menafikan adanya komunitas yang relatif stabil lewat pola-pola kekerabatan dan atau hubungan pekerjaan. Technoscape, merupakan konfigurasi global di bidang teknologi yang kini bergerak dengan kecepatan tinggi semisal persoalan mekanik atau informasi. Financescape, berarti disposisi modal global yang misterius dan bergerak cepat seperti pasar mata uang, bursa saham, dan berbagai komoditas yang terus bergerak. 

Mediascapes, merujuk pada distribusi kemampuan elektronik untuk memproduksi dan menyebarkan informasi lewat surat kabar, majalah, stasiun televisi, dan studio produksi film, yang sekarang tersedia untuk semakin banyak kepentingan pribadi dan publik di seluruh dunia, serta gambaran dunia yang diciptakan oleh media. Ideoscapes, bagian dari rangkaian gambar, namun mereka sering bernuansa politis dan sering harus melakukannya dengan ideologi suatu negara atau ideologi tandingan (counter-ideology) yang berorientasi untuk menangkap kekuasaan negara atau bagian darinya. Istilah scape ini dipergunakan oleh Appadurai untuk melihat lebih dalam konstruksi perspektif yang ada dalam sejarah, linguistik, dan politik yang semuanya itu diperankan secara berbeda oleh para aktor yang terdapat dalam negara, multinasional, maupun komunitas diaspora. 

Sehingga hubungan kelima scapes tersebut berkaitan dengan terbentuknya dengan suatu imajinasi yang dimana secara tidak langsung mewarnai kehidupan realitas sosial masyarakat. Imajinasi dalam pandangan Appadurai merupakan bagian dari praktik sosial berupa sebuah fantasi yang membuat manusia seakan-akan lari dari dunia yang membentuknya. Imajinasi kemudian menjadi field yang terorganisir dari praktik sosial, bentuk negoisasi antara agen individu dan global. 

Dari pandangan ini dapat dikatakan bahwa aktifitas dari olahraga kini sifatnya sudah menyebar ke seluruh dunia melalui berbagai ruang yang tersedia utamanya media massa. Sebaran tersebut sudah tidak lagi bersifat seragam karena masyarakat di seluruh dunia saat ini tidak saja saling terhubung satu arah namun dapat saling menciptakan imajinasi bersama berdasarkan informasi yang mereka terima. Olahraga misalnya dalam perspektif ini bisa menjadi bentuk imajinasi bersama mengenai wacana tentang kesehatan, masyarakat di perkotaan dengan bentuk mobilitasnya yang mayoritas seperti waktu industri sebagai implementasinya. 

Dengan logika industri tersebut masyarakat dikesankan tidak memiliki waktu luang, hingga pada akhirnya media massa lewat iklan menampilkan promosi=promosi produk kesehatan atau media mengkonstruksikan aktifitas olahraga dengan kebugaran maka secara otomatis masyarakat memiliki konsep imaji yang sama mengenai pentingnya olahraga tersebut. Dari sini kemudian pemaknaan olahraga di komodifikasi dalam berbagai bentuk sehingga berakhir dengan bertumbuhnya konsumerisme.

b).  Budaya Konsumsi.

Kajian mengenai konsumsi pada dasarnya selalu dimulai dari pengakuan atas fakta bahwa konsumsi diproduksi secara massal membentuk dimensi vital bagi ekonomi yang kapitalistik. Konsumsi merupakan mata rantai terakhir dalam rangkaian aktivitas ekonomi tempat berubahnya modal dalam bentuk uang, menjadi bentuk komoditas melalui proses produksi material. 

Berbicara mengenai konsumsi maka kita harus melihat bahwa budaya konsumsi merupakan aktivitas yang bersifat ganda antara konsumsi dan iklan. Ini kemudian menjadi alat untuk membangun identitas individu serta identifikasi sosial kita dalam menempatkan diri kita di kelompok sosial dalam masyarakat, dan mengevaluasi posisi sosial orang lain dengan demikian identitas, melalui konsumsi mendapat respon terhadap pemasaran. David Chaney kemudian menambahkan bagaimana konsumsi itu berkaitan dengan kondisi waktu luang karena konsumsi adalah suatu proses perubahan yang secara historis dikonstruksi secara sosial (2008: 60). 

Budaya konsumen sangat penting dan relevan bila dikaitkan dengan waktu luang karena pada era modern menjadi afiliasi sosial dari gaya hidup. Era baru dari budaya konsumen menurut Chaney adalah ditandai dan dilembagakannya pusat-pusat perbelanjaan. Secara historis Chaney dalam "lifestyle" mengungkapkan bagaimana ruang-ruang publik di Eropa sejak lahirnya revolusi industri dipenuhi dengan aktifitas-aktifitas konsumsi yang terlembagakan dan ini mencapai puncakanya pada abad 20, karena kegiatan konsumsi dikaitkan dengan aktifitas waktu luang. Waktu luang tersebut termanifestasikan dengan pembukaan industri baru hiburan massa antara lain, bioskop, perkembangan radio dan televisi, fotografi populer, musik pop, games, dan lain sebagainya. 

Hal ini kemudian yang mengembangkan budaya konsumsi ke industri waktu luang, karena keduanya sangat berdekatan dan memiliki keterhubungan sebab memperkuat kehadiran masyaraka konsumer. Industri waktu luang karenanya sama saja dengan bentuk-bentuk benda konsumsi lainnya karena mereka memamerkan karakteristik struktural yang sama dalam hal persyaratan standardisasi metropolitan yang dilengkapi dengan konsumsi terprivatisasi, bahkan sering bersifat domestik (2008: 159).

C). Kelas Sosial Bourdieu

Kelas sosial dalam pandangan Pierre Bourdieu tidak bersandar kepada pemikiran -- pemikiran historis atau ekonomi politik semata, melainkan kepada praktek -- praktek kelas yang meliputi selera, cara berpakaian, dan beragam pilihan sosial dalam kehidupan sehari -- hari.  Bagi Bourdieu kelas-kelas sosial khususnya kelas intelektual dan kelas atas melestarikan kehidupan sosialnya secara lintas generasi ke generasi (1984:179). Apabila dirunut dari terminologi Bourdieu seperti yang telah dijelaskan di atas maka bisa ditarik kesimpulan bahwa meski orang-orang boleh jadi berlokasi dalam ruang sosial yang sama, kita mungkin dapat membaca habitus kelas yang beragam dengan merujuk pada gagasan kelas sosial, yakni dengan merujuk pada sejarah individu dan sejarah kelompok.  

Konsep Bourdieu mengenai kelas cenderung mengarah kepada sebuah selera dan status yang dimiliki oleh kelas tertentu dan melalui modal maka kelas tersebut memiliki ketertarikan terhadap sesuatu. Dengan dukungan ranah (field) ketertarikannya tersebut kemudian dapat menjadi sebuah legitimasi bagi kelas teretentu. 

Sebagai contoh, bagaimana selera kelas atas dalam menikmati program televisi di mana mereka cenderung menyimak acara yang bertemakan sastra atau kebudayaan dibanding kelompok kelas bawah yang menonton program televisi hanya sebagai hiburan dan menyukai program yang ringan. Dengan demikian konsep kelas dalam pandangan Bourdieu cenderung kepada modal untuk memandang atau mekonstruksi posisi sosial. 

Pada penelitian ini penulis akan menggunakan kajian Bourdieu tersebut khususnya untuk melihat bagaimana kelompok kelas menengah perkotaan mengkonstruksikan dirinya dalam mengikuti perlombaan lari marathon. Konstruksi dirinya itu berhubungan dengam aksesoris lari yang mereka gunakan dalam event perlombaan marathon.

Lari Marathon antara hobi, gaya hidup, dan konsumsi kelas menengah

16 Desember 2016, sekitar 200 pelari berkumpul di salah satu pusat perbelanjaan di kota Cirebon, Jawa Barat. Mereka berkumpul dalam rangka berlari untuk amal dengan nama 'Nusantara Run Chapter 4' jarak yang ditempuh yakni 145 km dan berakhir di kota Purwokerto, Jawa Tengah. Para peserta ini terdiri dari beberapa komunitas lari yang mayoritas berasal dari Jakarta, dengan konsep beramal untuk membangun sekolah mereka namoak antusian mengikuti kegiatan ini. 

Event ini seperti arena para pecinta lari untuk berkumpul dan menjadi perlombaan terakhir di akhir tahun 2016. Lari untuk amal (charity) adalah event yang mendapat sambutan cukup luas dari para penggemar olahraga ini sekaligus membangkitkan rasa kemanusiaan sesama pelari. Bagi para Runners (sebutan para pecinta lari marathon) olahraga fisik yang mengandalkan ketahanan dan daya tahan tubuh ini telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan.

Sebagai sebuah hobi olahraga lari menjadi pilihan karena aktifitas ini tidak membutuhkan banyak biaya dan dapat dilakukan pada berbagai ruang. Para runners yang menekuni olahraga ini kemudian bergabung pada beberapa komunitas lari sebagai arena mereka bersosialisasi serta meningkatkan performa. 

Komunitas-komunitas lari kemudian mulai berkembang pesat khususnya di daerah perkotaan, para anggotanya sendiri banyak dari kalangan pekerja yang melakukan aktifitas di tengah kota. Berkumpul dalam komunitas sebagai tempat mereka menghabiskan waktu luang dari rutinitas tersebut dan melalui olahraga sebagai bentuk dari aktifitas yang menyehatkan. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Oktober 2016 menunjukkan, enam dari sepuluh responden menyatakan berolahraga minimal seminggu sekali. Sementara itu, hampir sepertiga responden mengaku berolahraga beberapa kali dalam seminggu (Kompas, 2016). 

Sementara itu bentuk olahraga yang paling diminati oleh para masyaraka kota tersebut adalah sekitar 58% menyukai olahraga lari lebih tinggi disbanding senam, futsal, dan lain sebagainya. Sebagai bentuk ekspresi mereka menekuni olahraga lari dari hasil jajak pendapat banyak responden memilih berolahraga bersama-sama (75,3 persen) ketimbang melakukan sendiri (24,7 persen). Meski ini sangat bergantung kepada karakter individu dan preferensi jenis olahraganya, tampaknya berolahraga di dalam kelompok bisa menambah semangat. Maka, bergabung di komunitas olahraga yang disukai bisa menjadi pilihan bagi mereka yang gemar berolahraga dalam kelompok atau komunitas. Berbagai komunitas lari tersebut biasanya hadir untuk menampung para runners yang masih amatir dan ingin meningkatkan kemampuan berlarinya pada saat mengikuti perlombaan lari.

Berawal dari sebuah hobi kemudian ditekuni menjadi sebuah rutinitas kesehatan dengan mengasah kemampuan performa diri dalam perlombaan adalah fernomena yang kini banyak terjadi di masyarakat perkotaan. Merebaknya komunitas lari dari tingkatan yang paling kecil hingga besar telah menjadi ruang bagi masyarakat kota untuk berinteraksi untuk melepaskan diri dari padatnya aktivitas kota yang berjalan dengan logika industri. Dengan adanya komunitas ini maka kegiatsan hobi menjadi terinstitusionalisasi serta sebagai ruang bagi seorang runners untuk menunjukkan kemampuan berlarinya yang berbeda dari masyarakat umum. 

Kebutuhan akan komunitas juga diperkuat dengan banyaknya kegiatan lomba lari yang semenjak tahun 2009 terus meningkat jumlahnya bahkan pada masa kini setiap minggunya sejak awal tahun hingga akhir selalu ada lomba lari. Maraknya lomba dengan berkembangnya komunitas tersebut seperti sebuah kebutuhan lain yang difasilitasi oleh industri. Dengan demikian melahirkan sebuah wacana mengenai gaya hidup sehat sehingga masyarakat mempunyai pandangan bahwa kalau ingin sehat maka kita harus berolahraga. 

Setelah itu olahraga ternyata tidak hanya olahraga melainkan membutuhkan berbagai bentuk konsumsi di dalamnya seperti kebutuhan pakaian yang harus sesuai dengan performa lari, mengikuti perlombaan yang harganya bisa mencapai jutaan, sampai kepada jumlah perlombaan yang diikuti sehingga kita mendapatkan label sebagai seorang pelari sejati. Hal demikian bagi Chaney merupakan bagian dari gaya hidup yang kemudian melahirkan budaya konsumen dalam industri waktu luang pada khususnya.

Membahas lari marathon sebagai kajian konsumsi dan kelas sangat berkaitan dengan fenomena globalisasi yang saat ini sedang berjalan. Globalisasi sebagai sebuah bentuk yang berimplikasi pada hal metodologis sifatnya tidak hanya homogen namun juga heterogen ini sangat berkaitan dengan aktifitas olahraga marathon sekarang. Karena fenomena hobi lari marathon juga telah menjadi tren di seluruh dunia saat ini, lomba lari marathon seperti di kota London, Tokyo, New York, dan lain sebagainya selalu dipenuhi peserta dari seluruh dunia. 

Peserta tersebut tidak hanya seorang atlit profesional melainkan para penggemar olahraga lari jarak jauh yang setiap minggunya rutin berlatih pada berbagai komunitas di masing-masing negaranya. Dalam ranah globalisasi lari marathon menjadi sebuah simbol bagi kelompok kelas menengah perkotaan yang secara umum bekerja di daerah sentra bisnis. Simbol tersebut berkaitan dengan status mereka sebagai pekerja berkerah putih yang sehari-harinya bekerja dengan pola yang sama dengan hari libur sebagai waktu luang yang paling berharga. Kelas menengah menjadikan lari sebagai bentuk selera mereka untuk membedakan diri dengan para kelompok sosial lainnya khususnya kelas bawah. 

Pembedaan tersebut terimplentasikan melalui bentuk konsumsi yang mereka lakukan dan pada kasus lari ini melalui aksesoris yang mereka kenakan serta event lari yang mereka ikuti. Dari fenomena tersebutlah maka lahirlah berbagai bentuk produk olahraga yang khusus salah satunya pada olahraga lari, produk-produk tersebut mulai dari kaos kaki, kaos, celana, sepatu, jam, ikat pinggang, dan hal lainnya yang berkaitan dengan tubuh. Tubuh kemudian menjadi ruang bagi barang konsumsi tersebut sehingga secara tidak langsung kita telah menjadi industri yang berjalan dan melekat pada tubuh.

Jumlah kelas menengah yang meningkat di Indonesia yakni sekitar 56,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2013 (Antara 2012) merupakan suatu tantang tersendiri bagi negara. Pada satu sisi kelompok ini menjadi penopang ekonomi negara namun di sisi lain peningkatan ini dapat menjadi persoalan utamanya pada kesenjangan dengan kelas pekerja atau bawah. Pengeluaran konsumsi yang tinggi pada kelompok menengah ini sangat rawan karena mereka rata-rata lebih banyak mengeluarkan biaya pada sektor yang bersifat konsumsi. 

Lari marathon yang berkembang belakangan di wilayah perkotaan menampilkan gambaran tersebut, meski belum ada hasil survey yang pasti namun mayoritas dari pecinta lari tersebut adalah pekerja-pekerja yang berstatus sebagai marketing, bank, dosen, asuransi, dan lain sebagainya. Ruang publik perkotaan pada akhirnya dipersiapkan untuk menampung keinginan kelompok menengah tersebut misalnya dengan memperbanyak taman-taman yang dilengkapi dengan fasilitas olahraga. 

Lari marathon dengan berbagai macam bentuk perlombaannya di seluruh dunia menjadi referensi utama dari kelompok menengah tersebut untuk ikut mensejajarkan dirinya sebagai bagian dari fenomena globa tersebut. Sementara aksesoris yang mereka kenakan mengambil referensi dari majalah-majalah, media online mengenai olahraga lari tersebut dan untuk memperkuat posisi dalam melestarikan seleranya tersebut para runners dari kelompok menengah tersebut mengikuti perlombaan marathon di manca negara. Globalisasi secara kultural telah masuk pada ranah aktivitas hobi tersebut dengan bentuk-bentuk konsumsi dan selera, sementara bila merujuk pada Arjun Appadurai bahwa model fenomena ini termasuk dalam scape sebagai arena istilah untuk menggambarkan secara lebih dalam konstruksi perspektif yang ada pada sejumlah aktor dalam berbagai konteks.

Bila merujuk pada pandangan Arjun Appadurai khususnya dalam melihat globalisasi bahwa lari marathon sebagai hobi dan konsumsi ini berkaitan dengan tecnoscape dan mediascape. Di mana keduanya memiliki dampak yang cukup signifikan pada cara pandang dan pola konsumsi kelas menengah di Indonesia ketika mengikuti aktifitas olahraga ini. Perkembangan media massa melakui iklan dan majalah-majalah khusus lari internasional menjadi referensi bagi mereka untuk mengkontruksikan diri sebagai ikon pelari. 

Dengan dukungan kemajuan teknologi informasi yakni melalui internet para pecinta lari tersebut saling berinteraksi dan kemudian mencari agenda-ageda lari baik yang bersifat lokal, nasional, dan global untuk mereka ikuti. Dengan demikian kelompok menengah tersebut memiliki imajinasi bahwa dirinya seakan-akan telah menjalani hidup sehat dan telah menjadi bagian dari gerakan hidup sehat di seluruh dunia. Lomba lari marathon dengan citranya sebagai aktifitas yang bersifat global ini kemudian menjadi ikon bagi kelompok menengah untuk meneguhkan dirinya bahwa telah menjadi bagian dari tren global. 

Bagi komunitas lokal fenomena global tersebut dinegoisasikan kedalam beragam bentuk dan wujud. Di Indonesia lari marathon menjadi sebuah event yang dapat diikuti oleh semua pihak dan kalangan masyarakat misalnya dengan membuat lomba gratis dengan peserta dari berbagai kelompok sosial. Selain itu agar eventya bisa sejajar dengan apa yang terjadi di dunia internasional tersebut maka pemerintah biasanya mengadakan event tersebut dengan mengambil lokasi di kota-kota besar dengan memanfaatkan jalan raya utama kota tersebut sebagai jalur lomba lari. 

Bila perlombaan marathon yang bersifat global tersebut diadaptasi oleh lokal menjadi kompetisi yang menampung semua kalangan masyarakat maka konsumsi diadopsi untuk melahirkan produk-produk olahraga yang bersifat lokal. Kemajuan internet dimanfaatkan oleh para pedagang lokal untuk membuat web belanja online yang khusus menjual pakaian dan aksesoris lari. Atau dengan berdirinya outlet-outlet yang secara spesifik menjual kebutuhan akan olahraga ini sehingga para pecinta lari dapat dengan mudah mendapatkan aksesoris yang mereka inginkan dengant idak perlu berpergian jauh ke luar negeri. Lari marathon pada akhirnya melahirkan imajinasi bahwa hal yang bersifat global tersebut dapat menjadi inspirasi bagi lokal untuk mengikuti fenomena tersebut. Namun di sisi lain lari marathon ini melahirkan budaya konsumsi di kalangan kelas menengah yang kemudian melahirkan sebuah gaya hidup masyarakat perkotaan yang lebih condong mengaraha kepada logika industri.

 

Penutup

Lari dan selera konsumsi kelas menengah merupakan logika yang pada masa sekarang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling terkait dalam kehidupan masyarakat perkotaan khususnya di kota-kota besar, globalisasi dengan berbagai bentuknya menjadi inspirasi yang kuat bagi kelompok menengah tersebut untuk mengekspresikan dirinya. Globalisasi tidak saja menjadi ruang yang homogen bagi masyarakat melainkan telah melahirkan bentuk yang beragam di kehidupan sosial masyarakat. Lari marathon telah menjadi fenomena global saat ini dan kemudian di adopsi oleh lokal dengan berbagai bentuk, namun logika industri lebih kuat pada aktifitas ini. Penelitian ini perlu dikembangkan lebih lanjut khususnya berkaitan dengan kajian konsumsi dan waktu luang.

Daftar Pustaka

Appadurai, Arjun, 2006 "Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy," in Media and Cultural Studies: Keywords, eds. Meenakshi Gigi Durham and Douglas M. Kellner. Blackwell Publishing.

Andrew L Davis dkk, "Sport, glocalization and the new Indian middle class" , London, Sage, 2014

  • Barker, Chris, Cultural Studies Teori dan Praktek,Yogyakarta; Kreasi Wacana, 2000

Bourdieu, Pierre, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste,New  York:

                  Routledge, 1984

Bartlett, Gratton, Rolf, Encyclopedia Internatioal Sport Studies. New York

                        Routledge, 2010

Chaney, David, "Lifestyle",Jalasutra, Yogyakarta, 2003

Ritzer, George, McDonaldisasi Masyarakat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013

Rojek, Chris, Leisure Theory,London, Palgrave Macmillan, 2005

Rojek, Chris, The Labour of Leisure,London, Sage, 2010.  

Internet

 

Kompas online " olahraga seru lewat komunitas"

http://print.kompas.com/baca/opini/jajak-pendapat/2016/10/12/Olahraga-Seru-Lewat-Komunitas

 

Antara News, " Populasi Kelas Menengah Meningkat"

http://www.antaranews.com/berita/429636/populasi-kelas-menengah-indonesia-meningkat-tajam

Bisnis online, " Run for charity tren olahraga lari kaum urban"

http://sport.bisnis.com/read/20160131/59/514385/run-for-charity-tren-olahraga-lari-kaum-urban

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun