biar jadi mimpi buruk presiden!Â
(Thukul, 2014: 25)
Ratusan puisi dalam buku ini terbagi menjadi tujuh bab. Bab pertama adalah "Lingkungan Kita si Mulut Besar" dan bab terakhir adalah "Jenderal Marah- Marah". Puisi-puisi di dalam bab satu sampai tujuh sebagian besar berisi perlawanan terhadap pemerintah yang menyuarakan penderitaan rakyat kecil.
Bab ketujuh berjudul "Jenderal Marah-Marah". Puisi-puisi dalam bab ini menceritakan pelarian penyair yang menjadi buronan pemerintah. "Aku sekarang buron/tapi jadi buron pemerintah yang lalim". Walaupun sedang dalam masa buronan, diatetap merasa bebas. "Walau penguasa hendak mengeruhkan/tapi siapa yang mampu mengusik/ketenangan bintang-bintang?". Yang unik dari puisi-puisi di bab ini adalah judul puisinya yang menggunakanangka.
(9)
ujung rambut, ujung kukuÂ
gendang telinga
dan selaput bola matakuÂ
tidak mungkin lupakan kamuÂ
(Thukul, 2014: 222)
Puisi-puisi di dalam buku ini menggunakan diksi yang sederhana dan maknanya pun mudah dipahami. Hal tersebut mungkin memang disengaja oleh sang penyair supaya puisinya bisa diterima dan dipahami oleh semua orang dari berbagai kalangan. Pembaca pun merasakan kemarahan dan kesedihan di dalam puisi-puisinya, seperti puisi keenam dari bab terakhir yang berisi pesan sang penyair selama menjadi buronan kepada anaknya.