Judul buku : Nyanyian AkarRumput
Penulis : Wiji Thukul
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2014
Jumlah halaman : 248 hlm
ISBN : 978-602-03-0289-8
Begitu membuka buku ini, pembaca disambut oleh pengantar dari Wiji Thukul. Dia berkata bahwa penyair seharusnya berjiwa bebas dan aktif. Penyair tidak bergantung kepada siapa pun ketika menulis puisi. Hal itu sama seperti ketika pemilu, pemilih bebas mencoblos siapa saja tanpa ada tekanan. Melalui puisi-puisinya, Wiji Thukul mencatat realita kehidupan di bawah pemerintahan pada masanya, Orde Baru. Dia mewakili golongannya, rakyat kecil, untuk menyuarakan penderitaan yang dialami. Dia penyair yang amat berani pada masanya karena melawan rezim otoriter melalui karya-karyanya. Wiji Thukul pun menghilang bersama lengsernya Orde Baru. Ingatan mengenai Wiji Thukul dan karya-karyanya juga perlahan menghilang dari ingatan bangsa Indonesia. Okky Madasari mengawali ide mengumpulkan karya-karya Wiji Thukul ini supaya dapat dibaca oleh generasi muda Indonesia saat ini.
Seperti judulnya, Nyanyian Akar Rumput, kumpulan puisi ini menyuarakan suara-suara rakyat kecil. Rakyat kecil digambarkan seperti akar rumput. Rakyat digusur dari tanah tempat tinggalnya.
nyanyian akar rumputÂ
jalan raya dilebarkanÂ
kami terusir
mendirikan kampungÂ
digusur
kami pindah-pindahÂ
menempel di tembok-tembokÂ
dicabut
terbuangÂ
kami rumputÂ
butuh tanah
dengar!
ayo gabung ke kami
biar jadi mimpi buruk presiden!Â
(Thukul, 2014: 25)
Ratusan puisi dalam buku ini terbagi menjadi tujuh bab. Bab pertama adalah "Lingkungan Kita si Mulut Besar" dan bab terakhir adalah "Jenderal Marah- Marah". Puisi-puisi di dalam bab satu sampai tujuh sebagian besar berisi perlawanan terhadap pemerintah yang menyuarakan penderitaan rakyat kecil.
Bab ketujuh berjudul "Jenderal Marah-Marah". Puisi-puisi dalam bab ini menceritakan pelarian penyair yang menjadi buronan pemerintah. "Aku sekarang buron/tapi jadi buron pemerintah yang lalim". Walaupun sedang dalam masa buronan, diatetap merasa bebas. "Walau penguasa hendak mengeruhkan/tapi siapa yang mampu mengusik/ketenangan bintang-bintang?". Yang unik dari puisi-puisi di bab ini adalah judul puisinya yang menggunakanangka.
(9)
ujung rambut, ujung kukuÂ
gendang telinga
dan selaput bola matakuÂ
tidak mungkin lupakan kamuÂ
(Thukul, 2014: 222)
Puisi-puisi di dalam buku ini menggunakan diksi yang sederhana dan maknanya pun mudah dipahami. Hal tersebut mungkin memang disengaja oleh sang penyair supaya puisinya bisa diterima dan dipahami oleh semua orang dari berbagai kalangan. Pembaca pun merasakan kemarahan dan kesedihan di dalam puisi-puisinya, seperti puisi keenam dari bab terakhir yang berisi pesan sang penyair selama menjadi buronan kepada anaknya.
Beberapa puisi ditulis menyerupai prosa, misalnya puisi yang berjudul "reportase dari puskesmas" dan "nyanyian abang becak". Wiji Thukul pun menyelipkan percakapan-percakapan di dalam puisi-puisi tersebut.Puisi kesebelas dari bab terakhir pun ditulis dengan sangatunik.
(11)
berhari-hari—ratusanjam—ratusankilometer—puluhankota—bus—colt—truk—angkutan—asaprokok—uapsampah— tengik wc — knalpot terminal — embun subuh — baca koran— omongan penguasa — nonton tivi — omongan penipu — presiden marah-marah — jenderal — jenderal marah-marah — intelektual bayaran ikut-ikutan — sekretariat organisasi aktivis diobrak-abrik— penculikan — penggrebekan — pengejaran — pembenaran dibikin kemudian — semua benar karena semua diam
(Thukul, 2014: 224)
Nyanyian Akar Rumput adalah suatu wujud keberanian seorang penyairyang berasal kalangan kecil melawan pemerintahan yang besar dan sewenang-wenang. Buku ini mengajarkan sejarah yang tidak ditulis di dalam buku pelajaran sekolah. Kata-katanya berhasil membangkitkan kemarahan, kesedihan, dan kemirisan bagi pembaca.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI