Mohon tunggu...
Meilanie Buitenzorgy
Meilanie Buitenzorgy Mohon Tunggu... Dosen - Mantan kandidat PhD, University of Sydney, Australia

Mantan kandidat PhD, University of Sydney, Australia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rocky Gerung Menuju Indonesia Bubar, Sebuah Surat Terbuka untuk Mahfud MD

12 April 2018   14:54 Diperbarui: 13 April 2018   04:59 3169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Kolase Tribunnews)

Assalamu 'alaikum wrwb.

Semoga surat ini menemui Bapak dalam keadaan sehat walafiat dan bahagia.

Perkenalkan Pak, saya Meilanie, seorang anak bangsa lumayan kece yang sekarang sedang resah gelisah. 

Dalam dua minggu terakhir ini telah terjadi 3 kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor atau calon terlapor adalah Sukmawati Soekarnoputri, Ganjar Pranowo dan Rocky Gerung. Ketiga kasus ini berstatus telah dan akan dilaporkan ke kepolisian oleh berbagai elemen nasyarakat.

Tidak bisa dipungkiri, perang laporan penistaan agama ini adalah buah dari keputusan hukum terhadap kasus Ahok. Jika Ahok dipenjara karena menista agama, logikanya Sukmawati, Ganjar dan Rocky juga harus dikirim ke penjara. 

Toh sama-sama menista agama. Seperti itulah logika masyarakat pelapor. Dan tidak ada yang salah dengan logika tersebut karena payung hukumnya ada yaitu Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 dan Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ditambah lagi dengan preseden putusan kasus Ahok.

Sikap MUI melalui ketuanya yang memaafkan Sukmawati membuat kelompok 212 berang. Kemarahan kelompok 212 cukup beralasan. Apa dasar pertimbangan MUI menerbitkan fatwa penista agama kepada Ahok tapi tidak kepada Sukma? Ada inkonsistensi di sini, maka wajar jika kelompok 212 berang.

Terkecuali jika MUI mampu menunjukkan bukti dalil bahwa Rasulullah Muhammad SAW telah benar-benar menghukum orang yang secara spesifik mengatakan "dibohongi pakai Ayat Al Maidah 51" di depan publik. Selama tidak ada bukti dalil itu, maka demi keadilan, semua orang yang dianggap menista agama haruslah diganjar fatwa penista agama oleh MUI sebelum kemudian dikirim ke penjara. Jika MUI tidak melakukannya, maka MUI tidak adil dan tidak konsisten. 

Inilah logika masyarakat pelapor berdasarkan preseden kasus Ahok, dan tidak ada yang salah dengan logika ini.

Lalu terjadilah demo demi demo menuntut para terduga penista agama tersebut dipenjara. Tidak ada yang salah dengan demo sebagai wujud dari penyampaian aspirasi masyarakat. Hari ini mendemo Sukma, besok demo Rocky. Sah-sah saja di sebuah negara demokrasi.

Lalu kita akan tiba pada satu titik dimana pengerahan massa besar-besaran dilakukan oleh kedua kubu yang berseteru sejak Pilpres 2014. Memangnya cuma Novel Bamukmin yang tinggi ghirah Islamnya? Jangan salah, Permadi Arya juga luar biasa ghirah ke-Islam-annya.

"Kitab suci = fiksi, berarti Quran = fiksi, ini penistaan luar biasa terhadap Al-Quran. Firman Tuhan kok dibilang fiksi? Takbir!"

Lalu mereka berhadap-hadapan di jalanan. Dengan membawa kesumat yang terus terpelihara dan dipupuki hoax-hoax ala Saracen dan MCA selama bertahun-tahun.

Lalu...

Dhuarrrrr....

"Kkkk...kita... bisa perang saudara dong..." celetuk gemetar Mukidi yang mengkeret di pojokan.

Dengan "offside" nya Rocky Gerung (lalu entah besok siapa lagi), kita sedang menuju ke titik itu. Titik dhuarrrrrrr...

"Itu bukan suatu hal yang musykil terjadi. Konflik-konflik berdarah di Indonesia banyak yang berawal dari permasalahan yang dianggap sepele. Jika biang masalahnya tak cepat diatasi, lalu dimanfaatkan oleh para conflict-entrepreneur, memang bisa dhuarrrrr..." tegar Dr. Zulfan Tadjoeddin, Indonesianis dan pakar resolusi konflik dari Western Sydney University. Bidang kajian beliau meliputi konflik Ambon, Poso, Aceh hingga Papua, selain juga meneliti di bidang ekonomi-politik, ketenagakerjaan dan ketimpangan di Indonesia. Beliau pun cukup waswas dengan merebaknya perang penistaan tak berkesudahan ini.

Pak Mahfud yang saya hormati,

Masih perlu berapa sampel "penista" lagi sampai kita sudi mengakui betapa konyol dan berbahayanya pasal karet penistaan agama itu?

Indonesia bubar tidak perlu menunggu sampai 2030. Bisa besok, bisa minggu depan, tergantung seberapa besar ghirah keagamaan Permadi, Novel dan kawan-kawan. Tergantung pula seberapa besar sumbangan logistik dari para penumpang gelap seperti dikatakan KH Said Aqil.

Mari kita cermati beberapa kasus:

Dari respon publik maupun aparat serta status hukum contoh-contoh kasus di atas, saya tidak bisa menangkap pola yang jelas alasan seseorang diputus harus masuk penjara dengan pasal penistaan agama.

Apakah tergantung ada atau tidak pihak yang tersinggung?

Apakah tergantung ada atau tidak kelompok sumbu pendek dalam masyarakat?

Apakah tergantung ada yang melapor ke polisi atau tidak?

Apakah tergantung berapa banyak yang demo? Lalu ukuran "banyak" itu berapa? 7 ratus? 7 juta? Bagaimana kalau 699 orang? Atau 6.9 juta orang?

Apakah tergantung NU dan Muhammadiyah memaafkan atau tidak?

Apakah tergantung 212 marah atau tidak?

Apakah tergantung FPI marah atau tidak?

Apakah tergantung sedang ada pilkada atau tidak?

Apakah tergantung pada penyebutan spesifik ayat atau tidak? Jadi kalau cuma menyebut kitab suci tidak masalah?

Apakah tergantung bingkainya: puisi atau pidato?

Apakah tergantung event-nya: pertunjukan seni atau temu masyarakat?

Apakah tergantung tempatnya: Kepulauan Seribu atau panggung ILC?

Apakah tergantung siapa pelakunya: Prabower atau Jokower?

Apakah tergantung agama yang dianut pelaku?

Apakah berlaku hanya pada pembaca puisi saja, berhubung penulis puisinya dibela Banser?

Mari kita akui dengan besar hati bahwa pasal penistaan agama itu mengakibatkan ketidakpastian hukum. Pasal karet inilah yang menjadi biang masalah perang laporan dan demo penistaan agama belakangan ini. Sekonyol apa pun alasan dan penafsiran yang diberikan pihak pelapor, tidak bisa dinafikan secara hukum karena hukumnya sendiri tidak definitif. Sekonyol apa pun kesaksian para pelapor di pengadilan, para hakim toh tetap merinding dibayang-bayangi demo 7 juta ummats.

Tidak bisakah pasal itu dibuat lebih definitif dengan definisi-definisi teknis yang jelas? Kita juga tidak ingin melihat orang nekad menginjak-injak Al Quran, merobek Al-Kitab atau membakar Gereja. 

Maka tidak bisakah definisi penistaan agama yang berujung kurungan penjara dibatasi pada tindakan/aksi fisik saja, bukan perkataan? Karena tindakan/aksi fisik itu lebih definitif, sedangkan perkataan spektrumnya sangat luas, pun bergantung pada konteks dan maksud dari si pembicara.  

Sebagai rakyat jelata, hanya ini yang dapat saya lakukan. Menulis surat kepada Bapak. Juga menandatangani petisi usul penghapusan pasal penistaan agama yang digagas Amnesty International Indonesia. Sudah beribu-ribu yang ikut menandatangani petisi ini Pak.

Tetapi Anda Pak, sebagai mantan Ketua MK, Anda bisa berdiri paling depan mendesak Pemerintah untuk segera merevisi pasal karet penistaan agama. Pengaruh Anda jauh lebih besar daripada jeritan ribuan kami, yang cuma remahan rengginang melempem dalam kaleng biscuit Khong Guan.

Padamu kami berharap Pak, sebelum Indonesia benar-benar BUBAR.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun