Mohon tunggu...
Meike Juliana Matthes
Meike Juliana Matthes Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai alam, budaya, dan olahraga. Menghargai perbedaan dan tertarik akan keanekaragaman dunia

Penulis buku, The Purple Ribbon. Buku tentang kelainan neurologis akibat cacat kongenital tengkorak, diterbitkan oleh Pustaka Obor Indonesia, 2024.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cerbung (Bag. 3/Tamat): Langit Kelabu di Manado

16 Januari 2025   13:13 Diperbarui: 17 Januari 2025   14:12 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Bag. 2: Stef menanti Mei untuk makan malam bersama. Gadis Indonesia yang menjadi alasan baginya untuk datang berkunjung tiga tahun berturut-turut ke negeri gadis itu)

Senyum Stef sumringah melihat Mei datang. Lelaki berambut pirang gelap itu berdiri menyambut sang gadis. Seorang yang selalu hadir dalam mimpinya.  Mei tersenyum ke arahnya. Betapa Stef harus menahan diri untuk tidak menarik gadis itu dalam pelukannya.

"Hai, semoga aku tidak membuatmu menunggu," Mei membuka percakapan.

"Sudah sekitar setengah jam tapi itu sengaja ku lakukan." 

Jawaban Stef membuat Mei tersenyum.

Setelah mengambil tempat di kursi yang di sorongkan Stef untuknya, Mei memperhatikan lelaki di depannya.

"Dibawah lampu bercahaya hangat, kulitmu terlihat lebih merah-kecoklatan. Kalau kamu pulang Jerman, orang pasti langsung tahu bahwa kamu baru habis berlibur di bawah pohon kelapa."

Apa yang dikatakan Mei, selalu membetahkan Stef. 

"Eh, tentang liburanmu. Papiku bilang di kampungnya dulu sering terlihat hiu, apa benar begitu?" tanya Mei. 

"Tapi itu bukan hiu galak. Hiu jinak,"lanjutnya. 

"Eh, apa namanya untuk hiu begitu?" Mei mengingat-ngingat, "Ehm... ehm..."

Setelah beberapa saat, Stef membantu ingatan Mei, "Katzenhaie dalam bahasa Jerman."

"Iya, itu maksudku, yang tidak menggigit," Mei tersenyum lebar.

Pandangan Stef melekat pada Mei. Dia merasa bahagia sekali bisa bercakap-cakap dengan gadis itu saat makan malam. Hal yang sudah diimpikannya sejak lama.

"Ehm...aku pikir, aku harus lebih banyak belajar tentang laut," lanjut Mei. 

"Mei, kamu sangat mencintai alammu. Aku tahu itu dari cara kamu setiap kali menjelaskannya. Kamu beruntung ada di sini. Alam Indonesia yang sangat cantik. Sejak kapan kamu menyukai alam?"

"Sejak masa kanak-kanak, aku banyak menghabiskan waktu di luar rumah, bermain di sawah atau ke pantai juga sering diajak ayahku pergi memancing. Pernah suatu waktu, aku diajak memancing oleh ayahku, tapi kami kami tidak berhasil memancing satu ikan pun. Sebelum kami kembali ke rumah, ayahku mengajakku singgah di pelelangan ikan dekat tempat kami memancing.  Itu adalah tempat pengumpul ikan dari nelayan sebelum didistribusikan. Harganya murah dan ikannya segar-segar.  Sesampainya di rumah kami menggoda ibuku dan mengatakan itu hasil tangkapan. Haha... tentu saja ibu ku tidak percaya. 

Kini, aku banyak melakukan kegiatan di alam terlebih karena bekerja sebagai pramuwisata di sela-sela tugasku sebagai resepsionis dan hal tersebut membuat pengenalanku akan alam menjadi lebih istimewa. 

Aku lebih banyak belajar dan lebih mencintai alam Indonesia. Alam Indonesia memang sangat-sangat indah.  

Danau Linow di Tomohon (dokumentasi pribadi) 
Danau Linow di Tomohon (dokumentasi pribadi) 

Aku mengenal alam Indonesia jauh lebih dalam malah dari orang asing, mataku lebih terbuka untuk menyadari semua itu. Dulu aku tidak betul-betul paham mengapa wisatawan-wisatawan asing datang ke sini,  tapi ternyata setelah aku mengalaminya, melakukannya sendiri maka aku tahu sebenar-benarnya dan dari situlah rasa cintaku tumbuh semakin besar akan alam negeriku: kehidupan bawah laut dengan keenekaragamannya, begitu juga daratan dengan danau, sungai, lembah, gunung, dan perbukitan. Hutan-hutan tropis dan satwa endemik-nya yang banyak hanya dijumpai di Indonesia. 

Tuhan telah mengaruniakan tanah Indonesia begitu subur dan indah. Lihat, kami punya masa bercocoktanam sepanjang tahun, tidak ada musim dingin. Tapi sayang sekali masih banyak rakyat yang kelaparan," raut sedih terpancar dari wajah Mei.

"Stef, negerimu begitu keras alamnya karena musim dingin, tapi kalian sejahtera.  Aku sering berpikir apakah karena alam Indonesia yang sangat memanjakan penduduknya.  Orang tidak punya lauk, pergi saja ke laut atau ke sungai, ada banyak ikan di sana.  Orang mau sayuran masuk saja ke hutan. Disana ada tumbuhan pakis atau sayur rebung. Atau pergi ke parit air dekat sawah, di sana tersedia kangkung. Alam sudah banyak menyediakan. 

Atau adakah hal lain yang membuat masyarakat Indonesia tidak sesejahtera kalian?" begitu banyak yang ingin diucapkan Mei, tapi kemudian hanya helaan napas panjang yang terdengar.

"Semoga suatu waktu negerimu akan lebih maju, Mei." Stef menatap lembut mata gadis di depannya.

"Tapi orang Indonesia ramah-ramah, lho," lanjut Stef.

"Hahaha... kalau itu benar," sebingkai senyum hadir kembali di wajah Mei.  

"Apa semboyan pariwisata di Sulawesi-Utara? Kamu kan sudah tiga kali datang ke sini.  Pasti tahu dong," lanjut gadis itu.

"The land of smiling people," Stef menjawab tanpa keraguan.

Gunung Lokon di Tomohon (dokumentasi pribadi) 
Gunung Lokon di Tomohon (dokumentasi pribadi) 

Mereka berdua tenggelam dalam percakapan tentang banyak hal dan yang paling banyak adalah tentang alam Indonesia yang bagi mereka berdua begitu menakjubkan.

Tak terasa dada tuna bakar rica, udang goreng saus tiram, dan kangkung cah besi panas sudah habis, hanya nasi putih yang tertinggal sedikit di bakul kecil.

Malam merambat seirama deru kendaraan yang kian menyepi.

Desiran angin yang berasal dari kipas-angin besar yang tergantung di langit-langit jelas terdengar.

Stef menatap dalam ke mata Mei.  Dia memberanikan dirinya untuk mengatakan apa yang disimpan di hatinya selama tiga tahun sejak dia pertama kali bertemu gadis itu.

"Mei, tahukah kamu apa alasanku datang ke Manado tiga tahun berturut-turut?" Kemudian Stef melanjutkan perkataannya tanpa menanti jawaban Mei.

"Bukan hanya karena gunung-gunungnya atau pantainya, coral-reef-nya, National Park-nya.  Tapi, karena di Manado ada kamu. Aku bahagia melihatmu, apalagi jika bisa bercakap-cakap denganmu."

"Mei,  aku ingin mengenalmu lebih jauh.  Maukah kamu menjadi teman dekat ku?"

Mei melihat mata lelaki itu, bersinar lembut penuh harap.

Suara kipas-angin yang tergantung di langit-langit, lebih jelas terdengar.

Mei perlu waktu sejenak untuk membalas.

"Stef...," Mei menurunkan perlahan desahan nafasnya kemudian melanjutkan, "Ini sudah kali ketiga kamu ke sini?!"

Stef menangkap maksud gadis itu. 

"Aku takut kau menolakku karena aku masih orang asing bagimu.  Aku tidak ingin kau menganggapku tidak serius. Aku ingin membuktikannya dengan kedatanganku beberapa kali," Stef menjawab perlahan.

"Stef, aku... sudah punya teman dekat sejak tahun lalu.  Kami menjalin hubungan jarak jauh, tapi itu adalah hubungan yang serius. Stef, kita bisa tetap bersahabat," sangat perlahan Mei menjelaskan, berusaha untuk tidak melukai hati lelaki di hadapannya.  Hati yang sudah dia pahami lewat setiap tatap mata lelaki itu kepadanya.

Seperti semuanya senyap dalam kepala Stef, tiada deru yang terdengar dari jalan raya juga suara kipas angin yang berderak-derak tergantung di atas kepalanya.

Betapa bodohnya aku.  Menunggu begitu lama sampai dia telah menjalin hubungan dengan orang lain. 

Sebuah asa yang dibangun terhempas, menyatu dalam malam, meninggalkan kesunyian hati.

Ada yang hangat di kelopak mata Stef, lelaki yang pernah menaklukan Gunung Rinjani  seorang diri dan di puncak sana datang badai yang tidak dia perhitungan sebelumnya.

Haruskah kini, aku menangis di hadapan seorang wanita. 

Lelaki itu tak kuasa.  Dia menundukkan pandangan matanya. Tapi Mei masih bisa melihat mata hijau-kebiruan lelaki itu berkaca.

"Stef, maafkan aku," sambil menaruh tangannya di atas punggung tangan lelaki itu.

Langit Manado yang hitam di malam itu kian pekat.

Besok akan hadir mendung, tak akan ada awan putih yang berarak di langit biru.

Bagi Steve, semua menjadi kelabu. Manado menjadi kelabu. Sulawesi Utara menjadi kelabu. Indonesia menjadi kelabu. 

Adakah rangkaian kata yang akan tercipta di hari esok?

akan asa, 

tentang rasa,

yang bersemayam dalam kesunyian hati?

 ***

Medio 1990-an, kenangan di Manado

Penulis: Meike Juliana Matthes

Catatan penulis: Akhirnya waktu menjawab segalanya: penantian, harapan, dan kekuatan cinta. Empat tahun kemudian Stef dan Mei mengarungi bahtera rumah-tangga. Mei membagi kisah ini karena teringat akan masa muda sekaligus sebagai ajang perkenalan dengan sesama Kompasianer yang sering singgah di Blog-nya.

Salam lestari lingkungan! 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun