"Aku takut kau menolakku karena aku masih orang asing bagimu. Â Aku tidak ingin kau menganggapku tidak serius. Aku ingin membuktikannya dengan kedatanganku beberapa kali," Stef menjawab perlahan.
"Stef, aku... sudah punya teman dekat sejak tahun lalu. Â Kami menjalin hubungan jarak jauh, tapi itu adalah hubungan yang serius. Stef, kita bisa tetap bersahabat," sangat perlahan Mei menjelaskan, berusaha untuk tidak melukai hati lelaki di hadapannya. Â Hati yang sudah dia pahami lewat setiap tatap mata lelaki itu kepadanya.
Seperti semuanya senyap dalam kepala Stef, tiada deru yang terdengar dari jalan raya juga suara kipas angin yang berderak-derak tergantung di atas kepalanya.
Betapa bodohnya aku. Â Menunggu begitu lama sampai dia telah menjalin hubungan dengan orang lain.Â
Sebuah asa yang dibangun terhempas, menyatu dalam malam, meninggalkan kesunyian hati.
Ada yang hangat di kelopak mata Stef, lelaki yang pernah menaklukan Gunung Rinjani  seorang diri dan di puncak sana datang badai yang tidak dia perhitungan sebelumnya.
Haruskah kini, aku menangis di hadapan seorang wanita.Â
Lelaki itu tak kuasa. Â Dia menundukkan pandangan matanya. Tapi Mei masih bisa melihat mata hijau-kebiruan lelaki itu berkaca.
"Stef, maafkan aku," sambil menaruh tangannya di atas punggung tangan lelaki itu.
Langit Manado yang hitam di malam itu kian pekat.
Besok akan hadir mendung, tak akan ada awan putih yang berarak di langit biru.