Kisah cinta Stef dan Mei pada salah satu episode cinta di tahun ke-3 setelah pandangan pertama.Â
(Manado, medio tahun 1990-an)
Tak nampak rembulan menghiasi malam juga bintang-bintang enggan bertandang. Hanya sisa-sisa gerimis yang ada, tersapu bayu dan hinggap cepat di wajah seorang gadis belia yang sementara duduk dibalik jendela mikrolet yang terbuka.
Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai, berkibar  menebarkan wangi aroma Sun-Silk sedangkan segar- semerbak sabun Biore merebak dari tubuhnya yang sedikit berkeringat.
Gadis itu terpaksa harus membuka sedikit jendela mikrolet  karena hujan lebat sore tadi membuat udara di dalam alat transportasi umum di kota Manado itu pengap.Â
Tak mengapa wangi Sun-Silk-Biore di tubuhku luntur, batin gadis itu sambil melemparkan pandangannya keluar jendela.Â
Mei, begitu nama gadis beraroma Sun-Silk-Biore. Â Dia duduk terhimpit di sudut bangku paling belakang oleh dua ibu paruh baya yang bercerita tentang naiknya harga bahan-bahan pokok.Â
Perlahan-lahan gadis itu, berusaha menarik kakinya yang tertindih barang belanjaan ibu-ibu itu.
"Oh, adoh cewek, maaf ne." Ibu yang duduk disebelahnya meminta maaf.Â
"Oh, nda apa-apa," jawab Mei tersenyum. Baginya, hal seperti itu adalah hal yang sudah biasa.
"Sadiki le kwa torang so mo sampe," lanjut ibu yang satunya lagi menyatakan bahwa sebentar lagi mereka akan turun.
Sebagai balasan, Mei menggeleng sedikit sambil tersenyum ramah dan sinar matanya mengatakan, jika kedua ibu itu belum akan turun pun, baginya tidak masalah.
Bagi Mei, hidup aman, tenteram, dan saling memahami adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan.Â
Baku-baku bae deng baku-baku sayang, begitu orang Manado bilang.
Mei hampir tidak pernah mengeluh dalam hidupnya. Â Bukankah hidup memang begitu. Dia tidak mengenal hal lain.
"Mei, sepatumu sudah robek, Mami tidak memperhatikannya," teringat suara mendiang ibunya saat dia masih sekolah dulu. Â Kemudian Mei akan mengangguk sebagai jawaban tanpa berkata apa-apa.Â
Gadis itu telah belajar untuk tidak meminta. Dia tahu betul bahwa ibunya menyadari bahwa dia butuh sepatu baru, hanya saatnya saja yang belum memungkinkan.Â
Jika ibunya punya cukup uang baru akan dibeli jika tidak maka dia akan menunggu dan saat robekan di sepatunya menjadi lebih besar maka ibunya akan mengambil sepatu pramuka di koperasi sekolah, SMP Negeri 1 Gorontalo, tempat ibunya mengajar kemudian membayarnya saat gajian.
Dia sudah terbiasa sejak dia duduk di bangku sekolah dasar dan dia paham. Â Dia dibesarkan oleh keadaan itu.Â
"Om, Om, di muka jo,"Â Mei berkata kepada sopir angkot untuk menurunkannya.Â
Angkot itu kemudian berhenti di depan pusat perbelanjaan Matahari Dept. Store yang terletak di jalan Sam Ratulangi, jalan sebagai urat nadi ke jantung kota Manado.
Dari depan toko Matahari dia  berjalan ke arah toko buku Gramedia. Biasanya dia akan mengunjungi toko itu, tapi kali ini tujuannya adalah bangunan yang ada di sebelahnya, Green Garden, restoran favorit wisatawan mancanegara yang saat berkunjung ke Manado.
Mei melirik Alba yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Â Kado dari mendiang ibunya saat ulang tahunnya yang ke-16, setengah tahun sebelum ibunya berpulang.Â
Mata gadis itu menyiratkan bahwa dia tidak perlu terburu-buru, masih cukup waktu. Â
Mei melangkah lambat-lambat dalam hiruk-pikuk suasana kota Manado di waktu malam. Â Sesekali dia turun dari bahu jalan menghindari jejalan padat dengan sesama pengguna trotoar.Â
Hingar-bingar musik yang berasal dari mikrolet berbaur menjadi satu.  Ada house music, lagu-lagu melayu Manado, dan lagu rohani. Mei merasa terhibur atas kehadiran mereka.
Ditemani hembusan angin dari teluk Manado, gadis berusia 22 tahun itu menyusuri jalan Sam Ratulangi.
Malam itu pukul 7, Mei punya janji.Â
Seorang berambut pirang gelap dan bermata hijau-kebiruan mengundangnya makan malam.Â
Stef nama lelaki itu.
(bersambung...)Â
Penulis: Meike Juliana MatthesÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H