"Sadiki le kwa torang so mo sampe," lanjut ibu yang satunya lagi menyatakan bahwa sebentar lagi mereka akan turun.
Sebagai balasan, Mei menggeleng sedikit sambil tersenyum ramah dan sinar matanya mengatakan, jika kedua ibu itu belum akan turun pun, baginya tidak masalah.
Bagi Mei, hidup aman, tenteram, dan saling memahami adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan.Â
Baku-baku bae deng baku-baku sayang, begitu orang Manado bilang.
Mei hampir tidak pernah mengeluh dalam hidupnya. Â Bukankah hidup memang begitu. Dia tidak mengenal hal lain.
"Mei, sepatumu sudah robek, Mami tidak memperhatikannya," teringat suara mendiang ibunya saat dia masih sekolah dulu. Â Kemudian Mei akan mengangguk sebagai jawaban tanpa berkata apa-apa.Â
Gadis itu telah belajar untuk tidak meminta. Dia tahu betul bahwa ibunya menyadari bahwa dia butuh sepatu baru, hanya saatnya saja yang belum memungkinkan.Â
Jika ibunya punya cukup uang baru akan dibeli jika tidak maka dia akan menunggu dan saat robekan di sepatunya menjadi lebih besar maka ibunya akan mengambil sepatu pramuka di koperasi sekolah, SMP Negeri 1 Gorontalo, tempat ibunya mengajar kemudian membayarnya saat gajian.
Dia sudah terbiasa sejak dia duduk di bangku sekolah dasar dan dia paham. Â Dia dibesarkan oleh keadaan itu.Â
"Om, Om, di muka jo,"Â Mei berkata kepada sopir angkot untuk menurunkannya.Â
Angkot itu kemudian berhenti di depan pusat perbelanjaan Matahari Dept. Store yang terletak di jalan Sam Ratulangi, jalan sebagai urat nadi ke jantung kota Manado.