Di kantor, di universitas, dan di sekolah, semua sudah didigitalisasi. Bukankah mata kita perlu waktu untuk beristirahat dari pancaran sinar monitor, menjauhkan diri kita sebentar dari kabel dan pengisi daya.Â
Disamping itu, bayangkan pengalaman apa yang bisa didapatkan lewat: pergi ke toko buku, melihat-lihat buku di rak, membaca sinopsis, membolak-balik halamannya bisa sampai berjam-jam, bercengkrama dengannya sebelum akhirnya memutuskan untuk membelinya. Kemudian membawanya pulang ke rumah, mengadakan me-time bersamanya, kemudiannya meletakkannya di rak atau bisa meminjamkannya kepada sahabat kita, yang juga menghargai buku itu seperti kita menghargainya.Â
Bukankah ini suatu pengalaman yang indah?
Buku sebagai sahabat
Buku bisa menyertai kita, ke mana pun kita pergi, ke tempat yang tidak terjangkau internet sekalipun.Â
Dia memahami kita, bayangkan saat kita membaca, secara tak sengaja, kopi atau teh tumpah membasahi buku tersebut. Dia memahami kelemahan kita, bukan?
Kita membeli buku di toko buku baru atau di pasar loak, buku memiliki bau tersendiri. Dia unik.
Pernahkan kita ke perpustakaan?! Atmosfer apa yang kita dapatkan. Ada perasaan yang hadir, seperti 'merasa berpengetahuan' meskipun kita belum mebaca buku-buku itu, selanjutnya rasa yang timbul adalah keingintahuan.
Buku adalah kawan yang bisa diajak berjelajah bersama, berpetualang ke suatu dunia baru. Dalam skenario terbaik, buku adalah bagian yang kita cintai yang bisa bersama kita seumur hidup.
Di saat Natal, banyak orang-tua, kakek-nenek atau paman dan bibi yang memilih kado buku bagi anak-anak mereka.Â
Membaca buku bisa menjadi sangat mengasyikan dalam melewati masa libur Natal sekolah selama dua minggu. Bagi anak-anak Taman Kanak-kanak atau anak-anak Sekolah Dasar, ini bisa menjadi kegiatan bersama antara mereka dan orang tua atau bersama kakek dan nenek mereka.